Wajah Cirebon dari Wilayah Kumuh Hingga Upaya Menjadi Kota Modern era Kolonial

Pada era kolonial, Cirebon terkenal sebagai kota kumuh karena populasi penduduk yang terus meningkat. Akibatnya pemerintah kota mencanangkan wajah baru kota yang lebih modern. 

Kantor Gemeente Cheribon. (Sumber: KITLV)

Menurut catatan Tome Pires ketika berkunjung ke Cirebon tahun 1513, melihat bahwa Cirebon memiliki pelabuhan yang ramai dengan aktivitas perdagangan. Akibatnya pelabuhan menjadi titik sentral pembangunan penduduk kota. 

Pergeseran kekuasaan wilayah oleh Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1681, menyebabkan urusan politik dan ekonomi berada di bawah kendali kompeni. Sejak abad ke-18 VOC mulai mengatur pembangunan kota Cirebon. 

VOC membangun kota Cirebon hanya berdasarkan kepentingan ekonomi semata dan tidak memperhatikan kondisi lingkungan. Pemukiman penduduk semakin padat di sekitar pelabuhan. Semasa itu pula, pusat kota bergeser dari Keraton ke Pelabuhan. 

Baca Juga: KH. Abdul Halim: Ulama dan Pejuang dari Majalengka – Tinta Emas

Populasi Meledak dan Kondisi Kota Semakin Suram

Menurut Raffles dalam bukunya The History of Java, menerangkan pada tahun 1805-1815 terjadi peningkatan penduduk Cirebon dari 160.100 jiwa menjadi 216.001 jiwa. Keterangan lain dari Imas Emalia Sejarawan UIN Jakarta, menyatakan antara tahun 1840-1880, Cirebon mengalami peningkatan populasi sebanyak 10.000-30.000 jiwa per tahun. 

Populasi penduduk meningkat dari tahun ke tahun, keadaan kota terutama wilayah pelabuhan menjadi semakin padat. Para pendatang mendirikan perkampungan-perkampungan kumuh di pinggiran kota. Akibat kehidupan kota yang keras menimbulkan angka kemiskinan baru. 

Wijkenstelsel

Pada tahun 1826, pemerintah kolonial mengeluarkan undang-undang bernama wijkenstelsel (Sistem Distrik). Sistem tersebut membagi penduduk kota berdasarkan golongan, yaitu Distrik Eropa (Europeesche Wijk), Distrik Timur Asing (Chinezen Wijk dan Vreemde Osterlingen), dan Distrik Pribumi. Akibat pembagian wilayah ini, Orang Eropa di Cirebon memiliki rumah besar dan nyaman. 

Distrik Timur Asing yang berasal dari Arab dan Cina tinggal di Panjunan, Pasuketan, Pekalipan, Karanggetas, Pagongan, Kanoman, dan Perujakan. Wilayah perdagangan tersebut memiliki citra kotor dan padat penduduk. Baik orang Arab maupun Cina membuat jamban yang tersambung ke sungai. Selain itu, penduduk gemar membuang limbah rumah ke sungai. Akibatnya sungai tercemar dan menyebabkan wabah penyakit, salah satu sungai kala itu bernama Kali Bacin.

Penduduk Distrik Pribumi memiliki wilayah yang memprihatinkan. Selain dari keluarga Kesultanan dan masyarakat menengah ke atas, kondisi pribumi hidup dengan kemiskinan. Rumah orang pribumi berada di sekitar Kanggraksan, Kejaksan, dan Cangkol. Rumah-rumah terbuat dari bambu, tanpa ventilasi dan saluran pembuangan yang memadai.

Majalah kolonial bernama Weekblad voor Indie memberitakan kondisi Cirebon pada awal abad ke-19 merupakan kota yang jorok. Tata kelola kota tidak teratur, kotor, becek, penuh lumpur dan comberan, serta tidak mempunyai saluran pembuangan air limbah rumah tangga. Kondisi semakin parah kala banjir melanda rumah warga ketika musim hujan tiba. 

Pada tahun 1914, surat kabar Bintang Tjirebon memberitakan penyebab utama malaria di Cirebon ialah kepadatan penduduk dan kondisi permukiman yang kumuh. Karena kondisi kesehatan penduduk semakin menurun, pemerintah kota mulai memikirkan langkah terbaik untuk menata permukiman di wilayah kerjanya. 

Lambang Gemeente Cheribon tahun 1927. (Sumber: KITLV) 

Upaya Cirebon Menjadi Kota Modern

Pada tanggal 1 April 1906, pemerintah pusat kolonial mengubah status Cirebon menjadi gemeente (kotamadya). Gemeente Cirebon membuat kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk mengubah kondisi

dan citra kota. Dengan semboyan “per aspera ad astra” (Dari jerih payah menuju Bintang) yang tertera di dalam lambangnya memberikan petunjuk arah kebijakan pembangunan kota Cirebon. 

Gemente Cirebon melakukan perbaikan dan pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan kondisi dan citra kota, meliputi prasarana air bersih, kesehatan dan penerangan jalan. Gemeente Cirebon secara simultan menciptakan tata kelola baru melalui pembuatan saluran air, penghilangan genangan air limbah dan hujan, pembuangan sampah dan kotoran, dan pembuatan kakus dan pemandian umum.

Pada tahun 1915, pemerintah kota Cirebon berencana memulai kebijakan kampongverbetering. Kampongverbetering adalah kebijakan untuk menata pemukiman kumuh yang ada di wilayah kerja pemerintah kota. Namun perbaikan pemukiman hanya dapat menjangkau perbaikan jalan saja. Pada tahun 1928, pemerintah kota mulai memberlakukan kebijakan Kampongverbetering di Kota Cirebon. 

Karena kurangnya kas kota untuk mengerjakan kampongverbetering, pada tahun 1930 perbaikan perkampungan hanya dilakukan dengan memperbaiki jalan,

membangun saluran pembuangan, dan mengeringkan lumpur. Kebijakan ini tersendat seiring dana yang terbatas dari pemerintah pusat.

Dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut, upaya gemeente untuk menyelesaikan berbagai permasalahan kota Cirebon mulai menunjukkan hasilnya. Banjir sudah mulai berkurang, Demikian halnya dengan limbah rumah tangga dan genangan air hujan telah dialirkan melalui parit-parit bawah tanah. Meski alam praktiknya pembenahan pemukiman tidak selalu mendapat respon positif, misalnya ratusan rumah penduduk pribumi yang dihancurkan tanpa dibangun kembali. 


Baca Juga:

Masalah RSS: https://tintaemas.net/feed is invalid XML, likely due to invalid characters. XML error: Unknown at line 282, column 1

Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Avatar photo

Irvan Fatchurrohman

Irvan Fatchurrohman (Wakil Pemimpin Umum) adalah lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dari program studi Sejarah dan Peradaban Islam. Pernah bertugas di Museum Kasepuhan Cirebon. Memiliki minat mendalam pada kajian sejarah dan budaya, serta berkomitmen dalam penelitian yang berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan pelestarian warisan sejarah.

Dari Penulis

Bashar Al-Assad Ternyata Akali Syarat Usia Demi Menjadi Presiden Suriah

Dianggap Vulgar, Pameran Lukisan Karya Yos Suprapto Mendadak Dibatalkan