Syekh Muhammad Al-Kalali, pendiri Al-Imam, pelopor majalah Islam di Nusantara yang menyebarkan gagasan pembaruan, persatuan, dan modernisasi Islam.
Syekh Muhammad Al-Kalali: Tokoh Literasi dan Pembaruan Islam di Nusantara
Literasi merupakan kemampuan seseorang dalam mengolah, memahami, dan menginterpretasikan informasi melalui proses membaca dan menulis. Kemampuan ini memiliki peran penting dalam meningkatkan pengetahuan serta wawasan individu maupun masyarakat. Dengan literasi, seseorang dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan analitis dalam mengkaji berbagai persoalan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Kemampuan literasi yang baik juga memungkinkan seseorang memiliki wawasan luas dalam memahami berbagai aspek keilmuan.
Salah satu tokoh yang memiliki kontribusi besar dalam bidang literasi di dunia Melayu-Indonesia adalah Syekh Muhammad bin Salim Al-Kalali, atau lebih dikenal sebagai Syekh Muhammad Al-Kalali. Meski sosoknya dalam dunia literasi kurang dikenal, ia merupakan sosok penting dalam perkembangan media cetak Islam di Nusantara.

Peran Syekh Muhammad Al-Kalali dalam Dunia Literasi
Syekh Muhammad Al-Kalali merupakan pendiri majalah Al-Imam, yang pertama kali terbit di Singapura pada 1 Jumadil Akhir 1324 H (23 Juli 1906 M). Majalah ini dicetak di Percetakan Melayu Tanjung Pagar dan menggunakan bahasa serta aksara Arab Melayu (Jawi). Al-Imam dikenal sebagai majalah Islam pertama di Asia Tenggara dan menjadi salah satu tonggak kebangkitan serta pembaruan Islam di kawasan Nusantara.
Melalui Al-Imam, Syekh Al-Kalali dan para intelektual Muslim lainnya berupaya menyebarkan gagasan pembaruan Islam, membangun kesadaran intelektual, serta mendorong modernisasi dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam. Majalah ini menjadi media penting bagi penyebaran pemikiran reformis yang dipengaruhi oleh gerakan pembaruan di dunia Islam, seperti yang dikembangkan oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir.
Syekh Muhammad Al-Kalali adalah sosok luar biasa yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang. Ia dikenal sebagai ulama, pejuang, guru, saudagar, serta pelopor gerakan literasi. Perannya dalam berbagai aspek kehidupan menjadikannya figur penting dalam sejarah intelektual dan sosial Islam di Nusantara.
Gerakan Tajdid dan Pendidikan Islam
Sebagai seorang ulama, Syekh Al-Kalali dikenal sebagai pendukung gerakan tajdid (pembaruan Islam) yang menolak takhayul, bid’ah, dan khurafat. Ia berafiliasi dengan organisasi Al-Irsyad, sebuah gerakan pendidikan Islam yang didirikan oleh Syekh Ahmad Soorkati, seorang cendekiawan asal Sudan. Al-Irsyad memiliki misi yang sejalan dengan Muhammadiyah, yaitu menyerukan umat Islam untuk meninggalkan praktik taklid buta dan kembali kepada Al-Qur’an dan hadis sahih.
Melalui organisasi ini, Syekh Al-Kalali berusaha mendorong umat Islam untuk mengutamakan akal sehat dan dalil yang kuat dalam memahami agama, serta membangun sistem pendidikan Islam yang lebih maju. Pandangannya ini sering kali berseberangan dengan kaum tua, yaitu kelompok yang ingin mempertahankan tradisi lama tanpa mempertimbangkan pembaruan dalam pemikiran Islam.
Asal-Usul dan Kehidupan Pribadi
Syekh Muhammad Al-Kalali lahir pada tahun 1846 di Singapura dalam keluarga keturunan Arab Hadramaut, Yaman. Marga Al-Kalali (Kulali) sendiri merupakan salah satu keluarga Hadhrami yang berasal dari daerah Tubalah, Shihr.
Dalam kehidupan pribadinya, Syekh Muhammad Al-Kalali memiliki dua istri dan dikaruniai sembilan anak, yang terdiri dari lima anak laki-laki dan empat anak perempuan. Anak-anaknya tersebar di berbagai wilayah, baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Anak laki-lakinya:
- Asad (meninggal di Cirebon)
- Abdul Muin (meninggal di Irak)
- Abdul Hamid (meninggal di Irak)
- Ahmad (meninggal di Jeddah)
- Umar (meninggal di Jeddah)
Anak perempuannya:
- Rukaiyah (meninggal di Pekalongan, Jawa Tengah)
- Fatimah (meninggal di Lhokseumawe, Aceh)
- Hamidah (meninggal di Jawa Barat)
- Aisyah (meninggal di Pekalongan)
Hijrah ke Aceh dan Peran di Dunia Pendidikan
Sebelum menetap di Aceh, Syekh Al-Kalali tinggal di Singapura. Istri pertamanya berasal dari Penang dan bergelar Syeikha, sebuah gelar bangsawan keturunan Arab yang umum digunakan di Yaman, Arab Teluk dan Arab Semenanjung. Setelah berhijrah ke Aceh dan menetap di Lhokseumawe, Syekh Al-Kalali kemudian melanjutkan perjalanannya ke Pulau Jawa, tepatnya ke Cirebon.
Di Cirebon, ia menikah dengan seorang perempuan dari daerah Plered, meskipun nama istrinya tersebut tidak banyak diketahui. Selama berada di Cirebon, Syekh Al-Kalali turut mendirikan sekolah Al-Irsyad bersama para ulama dan cendekiawan Muslim lainnya. Al-Irsyad menjadi salah satu lembaga pendidikan yang berperan dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan pemikiran modern di kalangan umat Islam.
Setelah sekian lama di Cirebon, Syekh Al-Kalali akhirnya kembali ke Lhokseumawe, tempat di mana ia menghabiskan sisa hidupnya hingga wafat pada tahun 1946 dalam usia 100 tahun.
Majalah Al-Imam dan Pengaruhnya dalam Pembaruan Islam di Nusantara
Keberadaan media massa dengan visi dan misi tertentu seolah tidak pernah benar-benar lenyap. Jika satu media menghilang, maka akan muncul media lain yang mengusung semangat serupa, bahkan berkembang lebih luas. Prinsip “Esa hilang dua terbilang” menggambarkan bahwa keyakinan yang mendasari suatu media memungkinkan pemikirannya untuk terus berkembang tanpa mengenal batas ruang dan waktu. Fenomena inilah yang terjadi pada majalah Al-Imam, sebuah media yang menjadi tonggak penting dalam sejarah pers Islam di Nusantara.

Al-Imam: Majalah Islam Pertama di Asia Tenggara
Al-Imam merupakan majalah Islam pertama di Asia Tenggara, yang pertama kali terbit di Singapura pada Jumadil Akhir 1324 H (Juli 1906 M). Majalah ini menggunakan bahasa Melayu dengan aksara Arab-Melayu (Jawi) dan dicetak di Mathba’ah Melayu Tanjung Pagar, Singapura. Kendati hanya bertahan selama tiga tahun hingga awal 1909, Al-Imam telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam perkembangan pemikiran Islam modern di kawasan ini.
Sebagai sebuah media, Al-Imam tidak sekadar menyajikan berita atau informasi keagamaan, tetapi juga berperan dalam mendorong pemikiran reformis di kalangan umat Islam. Majalah ini terinspirasi oleh Al-Manar, sebuah majalah Islam reformis yang diterbitkan oleh Rasyid Ridha di Mesir. Pemikiran yang berkembang dalam Al-Manar, yang merupakan kelanjutan dari gagasan Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, kemudian diserap dan disebarluaskan oleh Al-Imam di Malaya dan Hindia-Belanda.
Tokoh-Tokoh Kunci di Balik Penerbitan Al-Imam
Penerbitan Al-Imam tidak terlepas dari peran sejumlah tokoh penting yang memiliki latar belakang pendidikan dan pemikiran reformis. Dalam bukunya “Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, The Umma Below the Winds” (2002), sejarawan Michael Laffan mencatat bahwa beberapa figur utama di balik majalah ini adalah:
- Sayyid Ahmad Al-Hadi
- Anak angkat dari Raja Ali Kelana bin Raja Ahmad Riau.
- Seorang intelektual yang turut mengembangkan pemikiran modern dalam Islam.
- Bersama rekannya, ia dikirim ke Kairo, Mesir, pada tahun 1890 untuk menuntut ilmu dan mendalami pemikiran Islam reformis.
- Syekh Muhammad Taher bin Muhammad Jalaluddin Al-Azhari
- Ulama muda Minangkabau, kerabat dari Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860–1916), seorang ulama besar di Makkah.
- Memiliki latar belakang pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, tempat ia banyak berinteraksi dengan pemikir reformis Mesir.
- Salah satu tokoh yang berperan dalam memperkenalkan gagasan pembaruan Islam di Nusantara.
Selain kedua tokoh di atas, Al-Imam juga didukung oleh beberapa nama penting lainnya, antara lain:
- Sayyid Muhammad bin Aqil bin Yahya
- Pendiri sekolah Islam Al-Iqbal di Singapura pada 1907, sebuah lembaga pendidikan yang didukung oleh Raja Ali Haji.
- Haji Abbas bin Muhammad Thaha (1885)
- Berasal dari keluarga Minangkabau yang lahir di Singapura.
- Menghabiskan sebagian besar masa mudanya di Makkah, yang memungkinkannya menyerap wawasan Islam yang luas.
- Encik Abdallah bin Abdul Rahman
- Berperan sebagai penghubung dalam membawa majalah Al-Manar dari Mesir ke Singapura sebagai sumber referensi utama bagi Al-Imam.
Peran Syekh Al-Kalali dalam Pembiayaan dan Pengelolaan Al-Imam
Dalam bukunya “Ayahku” (1950), Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) menegaskan bahwa penerbitan majalah Al-Imam sepenuhnya dibiayai oleh Syekh Muhammad Salim Al-Kalali. Selain berperan sebagai penyandang dana utama, Syekh Al-Kalali juga bertindak sebagai mudir atau direktur majalah tersebut. Dukungan finansialnya memungkinkan Al-Imam bertahan selama beberapa tahun, meskipun menghadapi berbagai tantangan.
Bersama dengan Sayyid Muhammad bin Aqil dan Sayyid Ahmad Al-Hadi, Syekh Al-Kalali bahkan membantu mendirikan edisi khusus dari majalah ini. Dengan modal awal dua puluh ringgit, mereka mencoba memperluas cakupan pembaca di tengah masyarakat Muslim di Nusantara.
Keputusan untuk menerbitkan Al-Imam bukan sekadar upaya jurnalistik, tetapi juga bagian dari gerakan intelektual dan reformasi Islam yang bertujuan membangunkan umat dari kemunduran, ketidaktahuan, dan ketertinggalan pendidikan.

Bahasa Melayu yang Berorientasi Modern
Dalam aspek kebahasaan, Hamka menilai bahwa bahasa yang digunakan dalam Al-Imam mengalami penyempurnaan. Jika sebelumnya bahasa Melayu dalam publikasi keagamaan masih sangat terikat dengan struktur bahasa Arab, maka Al-Imam mulai menggunakan bahasa Melayu yang lebih halus dan mudah dipahami.
Pendekatan ini memungkinkan majalah tersebut menjangkau berbagai kalangan, dari ulama hingga masyarakat awam yang mulai tertarik pada isu-isu keislaman dan kebangsaan. Selain itu, gaya bahasa yang lebih fleksibel menjadikan Al-Imam sebagai sarana efektif dalam menyampaikan gagasan pembaruan Islam.
Tak heran jika majalah ini mendapatkan perhatian khusus dari ulama-ulama yang sejalan dengan pemikiran reformis, seperti para pengikut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Jaringan Al-Imam di Berbagai Wilayah Nusantara
Untuk memperluas jangkauan distribusinya, Al-Imam memiliki jaringan perwakilan di berbagai daerah. Nama-nama mereka dicantumkan pada bagian dalam sampul majalah (omslag II). Beberapa wakil yang terkenal antara lain:
- Said Muhammad bin Abdurrahman bin Syahab di Batavia.
- Haji Abdullah bin Haji Ahmad di Padang Panjang.
- Haji Abdul Karim bin Syekh Kisaiy di Danau Maninjau.
Dengan adanya perwakilan ini, distribusi Al-Imam menjadi lebih luas dan memungkinkan gagasan reformis tersebar ke berbagai pelosok Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya.
Pembaruan Rubrik dan Tantangan yang Dihadapi
Pada edisi kedua yang terbit pada Agustus 1906, Al-Imam mulai mengembangkan formatnya dengan menambahkan berbagai rubrik interaktif. Salah satu rubrik yang cukup populer adalah “Tanya Jawab”, di mana pembaca bisa mengajukan pertanyaan yang kemudian dijawab oleh redaksi.
Namun, seiring popularitasnya, Al-Imam mulai menghadapi berbagai tantangan. Ejekan dan kritik tajam datang dari kalangan yang tidak sepaham dengan pemikiran reformis yang diusung oleh majalah ini. Bahkan, serangan terhadap Syekh Muhammad Taher menjadi salah satu bentuk perlawanan terhadap ide-ide pembaruan yang disuarakan Al-Imam.
Menghadapi berbagai tekanan ini, Syekh Al-Kalali tidak tinggal diam. Ia segera merespons kritik dengan tegas. Pada edisi ke-12 Jilid II (1 Jumadil Awwal 1326 H/Juni 1908), Al-Imam menegaskan sikapnya dalam melawan bid’ah dan takhayul. Pernyataan yang termuat dalam majalah tersebut berbunyi:
“Al-Imam adalah musuh yang amat bengis bagi sekalian bid’ah dan khurafat (karut-karut) serta ikut-ikutan dan adat yang dimasukkan orang pada agama.”
Ungkapan ini menunjukkan bahwa Al-Imam berdiri tegak sebagai media reformis yang melawan praktik-praktik agama yang dianggap menyimpang.
Tujuan Penerbitan Al-Imam: Menghidupkan Kesadaran Umat
Seorang sejarawan asal Inggris, William R. Roff, dalam bukunya “The Origin of Malay Nationalism” (1967), mengutip pernyataan Syekh Al-Kalali mengenai misi utama Al-Imam. Dalam tulisan pembuka majalah tersebut, Al-Kalali menyatakan bahwa:
“Al-Imam bertujuan untuk mengingatkan mereka yang telah lupa, membangkitkan mereka yang sedang tertidur, membimbing mereka yang tersesat, dan memberikan suara kepada mereka yang berbicara dengan kebijaksanaan (hikmah).”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Al-Imam tidak sekadar hadir sebagai media informasi, tetapi juga sebagai instrumen perubahan sosial dan kebangkitan intelektual Islam.
Hamka, dalam artikelnya di majalah Panji Masyarakat No. 201 (15 Juni 1976), turut menjelaskan motivasi Syekh Al-Kalali dalam mendirikan Al-Imam. Menurut Hamka, Syekh Al-Kalali menulis dalam pendahuluan majalahnya bahwa rasa cintanya kepada tanah air menjadi alasan utama penerbitan Al-Imam.
“Rasa cintanya kepada wathan (tanah air) itulah yang mendorong beliau untuk menerbitkannya.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa penerbitan Al-Imam juga memiliki dimensi nasionalisme Islam. Syekh Al-Kalali melihat bahwa umat Islam di Nusantara harus bangkit dari kemunduran dan berperan dalam membangun peradaban yang lebih maju.
Al-Imam Sebagai Pilar Reformasi Islam di Nusantara
Keberadaan Al-Imam dalam sejarah pers Islam di Nusantara tidak hanya menandai lahirnya majalah Islam pertama di Asia Tenggara, tetapi juga menjadi salah satu sarana utama dalam penyebaran pemikiran reformis di dunia Melayu-Indonesia.
Dengan dukungan penuh dari Syekh Muhammad Salim Al-Kalali, Al-Imam mampu bertahan selama tiga tahun (1906–1909) dan meninggalkan pengaruh besar dalam perkembangan pemikiran Islam, pendidikan, dan kebangkitan intelektual di kawasan ini.
Meskipun mendapat banyak tantangan dan kritik, Al-Imam tetap berpegang teguh pada misinya, yaitu membangkitkan kesadaran umat Islam, menentang kebodohan, serta melawan bid’ah dan takhayul yang menghambat kemajuan umat.
Di masa berikutnya, gagasan yang diusung oleh Al-Imam turut menginspirasi lahirnya berbagai gerakan Islam modern di Indonesia dan Malaysia, termasuk Muhammadiyah, Sarekat Islam, dan Persatuan Islam (Persis).
Sebagai sebuah media reformasi, Al-Imam bukan hanya sebuah majalah, tetapi juga simbol kebangkitan intelektual dan kesadaran umat Islam di Nusantara. Warisan pemikirannya terus hidup dan menjadi bagian penting dalam sejarah perkembangan Islam di Asia Tenggara.
Al-Imam dan Semangat Kemerdekaan Islam
Michael Laffan mencatat bahwa Al-Imam tidak hanya berfungsi sebagai media reformasi Islam, tetapi juga memiliki misi politik yang lebih luas. Salah satu tujuan utamanya adalah mewujudkan kemerdekaan bagi wilayah-wilayah yang berada di bawah penjajahan Belanda dan Inggris. Dalam membangun kesadaran kebangsaan, Al-Imam tidak mendasarkan identitasnya pada batas-batas geografis yang dibuat oleh kolonialisme. Sebaliknya, majalah ini menyatukan komunitas-komunitas yang tertindas dalam satu kesatuan, yaitu Islam.
Konsep wathan (tanah air) yang diusung oleh Al-Imam tidak merujuk pada konsep nasionalisme dalam pengertian modern, melainkan melekat pada identitas bangsa atau umat Melayu. Hal ini tercermin dalam penggunaan istilah-istilah khas dalam tulisan-tulisan majalah ini, seperti “umat Timur”, “umat Melayu”, “umat Islam kita di sini”, atau “umat kita sebelah sini”.
Salah satu pernyataan Al-Imam yang mengungkapkan keprihatinan mendalam terhadap kondisi tanah-tanah Muslim yang terjajah dimuat dalam Vol. 1, No. 3, 19 September 1906:
“Apa yang kita lihat di sekitar kita? Di sebelah Barat Daya, tanah Sumatra berada dalam cengkeraman Belanda. Di sebelah Tenggara terbentang tanah Jawa, juga dalam cengkeraman Belanda. Di sebelah Timur adalah Borneo, juga dibedah oleh kaum itu. Di seberang laut Timur terletak Manado dan Kepulauan Sulu juga di bawah ras itu. Di seberang lautan Barat terdapat tanah Semenanjung Melayu, yang disajikan sebagai hidangan untuk dinikmati Inggris. Apakah semua ini tidak membuat hati seseorang menjadi berat atau bahkan melukainya?”
Pernyataan ini mencerminkan kesadaran politik yang berkembang di kalangan intelektual Muslim Nusantara saat itu. Al-Imam melihat penjajahan sebagai ancaman utama bagi umat Islam, baik di Hindia Belanda maupun di Semenanjung Melayu.

Perbedaan Kontras antara Al-Imam dengan Bintang Hindia
Dalam membahas konsep wathan, Al-Imam mengambil posisi yang berbeda dengan Bintang Hindia, sebuah media yang terbit sejak tahun 1902. Bintang Hindia secara terbuka menyatakan kesetiaannya kepada tanah air Hindia Belanda, yaitu wilayah yang berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda.
Sebaliknya, Al-Imam tidak mengakui batas-batas kolonial sebagai penentu identitas kebangsaan Melayu. Bagi Al-Imam, Melayu bukanlah sekadar penghuni Hindia Belanda, melainkan bagian dari umat Islam yang lebih luas. Hal ini membuat Al-Imam tidak dapat atau tidak mau secara spesifik menentukan letak geografis wathan orang Melayu.
Michael Laffan dalam bukunya mencatat:
“Namun, tidak seperti Bintang Hindia yang dengan jelas menyatakan kesetiaan pada tanah air Hindia Belanda, Al-Imam tidak dapat menjelaskan secara spesifik di mana tepatnya letak wathan orang Melayu…”
Pernyataan ini menegaskan bahwa Al-Imam mengusung konsep kebangsaan berbasis agama, yang berbeda dari nasionalisme modern berbasis teritorial seperti yang mulai berkembang di Eropa dan beberapa bagian Asia pada saat itu.
Pengaruh Pemikiran Politik Islam dari Timur Tengah
Michael Laffan juga melihat bahwa konsep identifikasi wilayah dan umat yang diperjuangkan Al-Imam memiliki kemiripan dengan gagasan yang berkembang di dunia Islam saat itu, khususnya dengan pemikiran yang muncul dari Partai Ummah (Hizb al-Umma) di Mesir.
Partai Ummah didirikan pada 1907 oleh Ahmed Lutfi el-Sayed, seorang intelektual Mesir yang kemudian menjadi tokoh penting dalam pergerakan nasionalisme Mesir. Partai ini dikenal sebagai organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan Mesir dari dominasi Inggris, sekaligus berusaha membangun kesadaran nasional di kalangan masyarakat Muslim Mesir.
Paralel antara perjuangan Al-Imam dan Hizb al-Umma menunjukkan bahwa majalah ini tidak hanya berorientasi pada isu-isu lokal, tetapi juga terhubung dengan dinamika intelektual dunia Islam yang lebih luas.
Masa Kejayaan dan Tantangan yang Dihadapi Al-Imam
Meskipun memiliki pengaruh besar dalam menyebarkan gagasan reformasi Islam dan nasionalisme berbasis Islam, kejayaan Al-Imam tidak berlangsung lama. Seiring berjalannya waktu, majalah ini menghadapi berbagai kesulitan, terutama dalam hal keuangan atau pendanaan.
Salah satu tokoh penting dalam penerbitan majalah ini, Sayyid Muhammad bin Aqil, berupaya mencari tambahan modal ke Mesir, berharap mendapatkan dukungan dari para intelektual dan dermawan Muslim di sana. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil yang diharapkan.
Situasi finansial yang semakin sulit akhirnya menyebabkan Al-Imam harus menghentikan penerbitannya pada awal tahun 1909. Hamka dalam Ayahku mencatat peristiwa ini dengan kalimat singkat namun penuh makna:
“Sehingga permulaan tahun 1909 M berhentilah terbit majalah yang menjadi pelopor pembaharuan Islam itu.”
Dukungan Logistik dalam Perang Aceh
Dalam sejarah Perang Aceh, Syekh Al-Kalali memainkan peran penting dalam mendukung perjuangan rakyat Aceh melawan kolonialisme Belanda. Ia tidak terjun langsung ke medan pertempuran, tetapi menjadi penyokong logistik bagi para pejuang Aceh dari Pulau Pinang. Perannya ini menunjukkan bahwa perjuangan melawan penjajahan tidak hanya dilakukan dengan senjata, tetapi juga melalui jalur ekonomi dan diplomasi.
Sebagai seorang saudagar sukses, ia memanfaatkan jaringan perdagangannya di Singapura, Cirebon, Pulau Pinang, dan Lhokseumawe untuk menyediakan sumber daya yang dibutuhkan oleh para pejuang Aceh. Kontribusinya dalam aspek ini menegaskan bahwa perlawanan terhadap kolonialisme dapat dilakukan melalui berbagai cara, termasuk dengan memperkuat kemandirian ekonomi umat.
Mendidik Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy: Mewariskan Semangat Pembaruan
Di antara murid-muridnya, Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy adalah salah satu yang paling menonjol. Syekh Al-Kalali memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran Hasbi, terutama dalam menekankan pentingnya mempelajari karya-karya ulama reformis seperti Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Ibn Taimiyyah, dan Ibn Qayyim.
Kesadaran intelektual yang ditanamkan Syekh Al-Kalali kepada Hasbi membentuk pemikirannya yang kemudian menjadi salah satu pelopor fikih Indonesia. Selain itu, Syekh Al-Kalali juga mendorong Hasbi untuk melanjutkan pendidikan di Madrasah Al-Irsyad di Jawa di bawah bimbingan Syekh Ahmad Soorkati, yang semakin memperdalam pemahaman Hasbi tentang pembaruan Islam.
Gerakan Literasi yang Komprehensif
Syekh Al-Kalali tidak hanya sekadar mendirikan majalah. Ia juga menunjukkan dedikasi tinggi terhadap gerakan literasi dalam berbagai bentuk. Menurut Baihaqy (2021), setiap kali Syekh Al-Kalali memasuki suatu negeri, ia selalu menyelidiki sejarah, adat istiadat, dan perkembangan agama masyarakat setempat.
Perilaku ini menunjukkan bahwa ia memiliki pemahaman mendalam tentang literasi perpustakaan, yaitu kemampuan memahami informasi hingga dapat menghasilkan karya tulis berdasarkan penelitian. Ia tidak hanya membaca, tetapi juga mengolah dan mendokumentasikan pengetahuannya dalam bentuk tulisan.
Selain itu, Syekh Al-Kalali juga berkontribusi dalam literasi media, dengan memahami bagaimana memanfaatkan majalah sebagai alat edukasi dan penyebaran gagasan. Majalah Al-Imam menjadi platform untuk mendebat ide-ide keagamaan, terutama dalam menentang pemahaman kaum tua yang cenderung mempertahankan tradisi lama tanpa kritik.
Keahlian Syekh Al-Kalali dalam Epigrafi dan Epitaf
Syekh Al-Kalali juga memiliki keahlian dalam bidang epigrafi dan epitaf. Ia dikenal mahir dalam membaca dan menafsirkan tulisan-tulisan kuno pada batu nisan.
Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang terkenal dengan studinya tentang Islam di Nusantara, bahkan pernah meminta bantuan Syekh Al-Kalali untuk menganalisis inskripsi pada nisan Sultan Aceh dan Samudera Pasai.
Kemampuannya dalam membaca prasasti dan tulisan kuno menunjukkan bahwa ia memiliki pemahaman yang mendalam tentang literasi visual. Ia tidak hanya mampu membaca teks sejarah, tetapi juga menginterpretasi dan memberikan makna dari informasi yang berbentuk gambar atau visual.

Mengabadikan Warisan Syekh Muhammad Al-Kalali: Inspirasi bagi Gerakan Literasi dan Pengusulan sebagai Pahlawan Nasional
Melihat kiprah besar Syekh Muhammad Al-Kalali dalam berbagai bidang, mulai dari pendidikan Islam, bisnis ekspor-impor, hingga literasi media dan literasi visual, maka sangat tepat untuk menyebutnya sebagai perintis gerakan literasi di Aceh. Peran dan pemikirannya telah memberikan dampak signifikan terhadap perkembangan intelektual Islam, tidak hanya di Aceh, tetapi juga di tingkat regional, terutama melalui Majalah Al-Imam yang ia dirikan.
Majalah Al-Imam bukan sekadar media cetak biasa, tetapi menjadi instrumen perubahan sosial dan intelektual yang menggerakkan semangat pembaruan Islam di Asia Tenggara. Gagasan yang disebarluaskan melalui majalah ini berkontribusi terhadap perkembangan pemikiran Islam modern, terutama dalam menumbuhkan kesadaran anti-taklid, pro-kemandirian berpikir, serta penguatan pendidikan berbasis Al-Qur’an dan hadis sahih.
Mengingat besarnya pengaruh Syekh Al-Kalali dalam dunia literasi dan jurnalistik Islam, banyak pihak yang menginginkan agar nama beliau diabadikan sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan intelektualnya. Penghormatan ini bisa berupa menjadikan nama Syekh Muhammad Al-Kalali sebagai anugerah atau penghargaan bagi para pegiat literasi di Aceh, khususnya bagi mereka yang aktif dalam bidang media massa, pendidikan, dan penelitian sejarah Islam.
Syekh Muhammad Al-Kalali Layak Diusulkan Sebagai Pahlawan Nasional ?
Beberapa pihak menganggap Syekh Muhammad Al-Kalali layak diusulkan sebagai Pahlawan Nasional. Kontribusinya yang luas dan multidimensional dapat disejajarkan dengan tokoh pergerakan Islam lainnya, seperti Haji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam (SI) yang berperan dalam membentuk kesadaran nasionalisme dan kebangkitan Islam di Indonesia.
Jika HOS Cokroaminoto dikenal sebagai “Guru Para Pendiri Bangsa”, maka Syekh Al-Kalali dapat disebut sebagai “Pionir Literasi Islam di Nusantara”. Ia tidak hanya bergerak dalam dakwah dan pendidikan, tetapi juga dalam ekonomi dan media, yang semuanya menjadi fondasi utama dalam pembangunan masyarakat Islam yang maju dan mandiri.
Keberpihakan Syekh Al-Kalali terhadap pendidikan Islam berbasis pemikiran rasional, kebangkitan ekonomi umat, serta perlawanan terhadap kolonialisme melalui jalur intelektual dan bisnis menjadi bukti nyata bahwa ia telah memberikan kontribusi besar bagi bangsa dan umat Islam di Nusantara.
Warisan Pemikiran Al-Imam
Meskipun hanya terbit selama kurang lebih tiga tahun (1906–1909), Al-Imam memberikan kontribusi besar bagi perkembangan pemikiran Islam dan nasionalisme di Nusantara. Lebih dari sekadar media reformasi Islam, majalah ini menjadi salah satu pelopor dalam menyuarakan persatuan Islam sebagai identitas bersama di tengah penjajahan. Dalam kurun waktu singkat, Al-Imam berhasil menanamkan semangat intelektualisme Islam modern, memperkenalkan konsep pembaruan, menyerukan persatuan umat, mengkritisi kebijakan kolonial yang menindas, serta menyoroti ketertinggalan pendidikan di kalangan Muslim. Warisannya terus menginspirasi pemikiran Islam di Nusantara hingga masa kini.
Konsep wathan yang diusung oleh Al-Imam menunjukkan bahwa pada awal abad ke-20, kesadaran kebangsaan di Nusantara belum terikat sepenuhnya pada batas-batas negara kolonial. Sebaliknya, pemikiran kebangsaan masih berkelindan dengan identitas keagamaan yang lebih luas, yaitu umat Islam di Kepulauan Nusantara.
Meskipun majalah ini tidak lagi terbit setelah 1909, gagasan-gagasan yang disebarluaskannya terus menginspirasi pergerakan intelektual dan politik Islam di Indonesia dan Malaysia.
Tidak hanya itu, pemikiran yang dimuat dalam Al-Imam juga menginspirasi munculnya berbagai gerakan reformis dan organisasi Islam di Indonesia. Beberapa organisasi yang dipengaruhi oleh pemikiran Al-Imam antara lain:
- Sarekat Islam (SI) di Indonesia, yang berdiri pada 1912 sebagai organisasi ekonomi-politik yang memperjuangkan kepentingan umat Islam.
- Muhammadiyah, yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912, dengan gagasan Islam modern dan pembaruan pendidikan.
- Persatuan Islam (Persis), yang lahir pada 1923 dengan orientasi pemurnian Islam dan peningkatan pendidikan Islam.
Dalam konteks pers Islam, Al-Imam juga membuka jalan bagi munculnya berbagai media Islam lain yang mengusung semangat reformasi.
Sebagai bagian dari sejarah pers Islam di Nusantara, Al-Imam tetap dikenang sebagai pelopor pemikiran modern yang melampaui zamannya. Meskipun usianya singkat, pengaruhnya tetap terasa dalam perkembangan Islam dan kebangsaan di Asia Tenggara.
Warisan dan Peninggalan Al-Kalali
Syekh Muhammad Al-Kalali meninggal di Hagu Selatan, Lhokseumawe, dan dimakamkan di kompleks makam wakaf keluarga Al-Kalali. Setelah kepergiannya, rumah serta tanahnya di Lhokseumawe diwakafkan oleh anaknya dan kemudian dijadikan panti asuhan Muhammadiyah. Panti asuhan ini hingga kini menjadi tempat pengasuhan bagi anak-anak yatim dan merupakan bagian dari warisan kebaikan yang ditinggalkannya.
Kontribusi besar Syekh Muhammad Al-Kalali dalam dunia literasi dan pendidikan Islam di Nusantara menjadikannya salah satu tokoh yang patut dikenang. Perannya dalam mendirikan Al-Imam sebagai media pembaruan Islam telah memberikan dampak signifikan dalam perkembangan pemikiran Islam modern di kawasan Melayu-Indonesia.

Baca Juga: La Galigo: Karya Sastra Bugis Terpanjang di Dunia – Tinta Emas
Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.