Sofronius dari Yerusalem dan Khalifah Umar bin Khattab

Sofronius I dari Yerusalem atau juga dikenal Sophronius si Sophist, adalah Patriark Yerusalem dari tahun 634 hingga kematiannya. Dia mendapatkan penghormatan sebagai orang suci (Santo) di Gereja Ortodoks Timur dan Katolik. Sebelum menduduki jabatan utama di keuskupan Yerusalem, ia adalah seorang biarawan dan teolog. Ia juga merupakan tokoh utama ajaran ortodoks dalam kontroversi doktrinal tentang sifat esensial Yesus dan tindakan kehendak-Nya. Dia juga terkenal karena negosiasi penyerahan Yerusalem kepada Khalifah Islam Umar bin Khattab.

Sofronius meninggal tak lama setelah jatuhnya Yerusalem ke tangan khalifah Umar pada tahun 637. Tetapi sebelumnya ia sudah merundingkan pengakuan hak sipil dan kebebasan beragama bagi umat Kristiani dengan imbalan upeti. Ini merupakan sebuah perjanjian yang terkenal dengan sebutan Perjanjian Umari.

Khalifah sendiri datang ke Yerusalem, dan bertemu dengan sang patriark di Gereja Makam Suci. Sophronius mengundang Umar untuk shalat dan berdoa di sana. Namun Khalifah Umar menolak, karena takut membahayakan status Gereja sebagai tempat ibadah umat Kristen.

Sofronius dari Yerusalem
Poster: Instagram/@tintaemasnet

Perjalanan Hidup Sofronius

Sofronius lahir di Damaskus sekitar tahun 560. banyak yang menganggapnya sebagai keturunan Yunani Bizantium atau Suriah. Sebagai seorang guru retorika, Sofronius menjadi seorang pertapa di Mesir sekitar tahun 580. Ia kemudian memasuki gereja Santo Theodosius di dekat Betlehem.

Sofronius juga bepergian ke pusat-pusat biara di Asia Kecil (Anatolia), Mesir, dan Roma. Ia juga menemani penulis sejarah Bizantium, Santo Yohanes Moschus, yang mendedikasikan risalahnya yang terkenal tentang kehidupan religius, Padang Rumput Spiritual atau Spiritual Meadow. Hari rayanya dalam Ritus Bizantium, 11 Maret atau 24 Maret dalam penanggalan gaya lama, bersamaan dengan hari raya Sofronius.

Pada saat kematian Moschus di Roma pada tahun 619, Sophronius mengiringi jenazahnya kembali ke Yerusalem untuk dimakamkan di biara. Dia melakukan perjalanan ke Aleksandria, Mesir, dan Konstantinopel pada tahun 633. Perjalanannya bertujuan untuk membujuk para patriark gereja masing-masing untuk meninggalkan Monoenergisme.

Monoenergisme adalah sebuah ajaran heterodoks yang menganut energi ilahi yang tunggal di dalam Kristus dan mengesampingkan kemampuan manusia untuk memilih. Kecuali surat sinodalnya untuk Konsili Konstantinopel Ketiga, tulisan-tulisan Sophronius yang panjang lebar mengenai masalah ini banyak yang hilang.

Baca Juga: Abdul Malik Bin Marwan dan Dinamika Politik Umayyah – Tinta Emas

Monoenergisme dan Pertentangan Gagasan Dalam Ajaran Kristen Ortodoks

Monoenergisme adalah sebuah gagasan dalam teologi Kristen abad pertengahan awal, yang mewakili kepercayaan bahwa Kristus hanya memiliki satu “energi”. Ajaran tentang satu energi tersebar selama paruh pertama abad ketujuh oleh Patriark Sergius I dari Konstantinopel.

Penentangan terhadap dyoenergisme, tandingannya, akan terus berlanjut hingga dyoenergisme dianut sebagai Ortodoksi pada Konsili Ekumenis Keenam. Dalam hal ini, monoenergisme ditolak, karena dianggap sebagai bid’ah dan atau ajaran sesat.

Setelah kegagalan Kaisar Yustinianus I dan Konsili Konstantinopel Kedua untuk memperbaiki perpecahan Khalsedon dan menyatukan komunitas-komunitas Kristen utama di dalam Kekaisaran Bizantium melalui sebuah Kristologi tunggal.

Kompromi dan Perpecahan Ajaran Upaya-upaya yang sama diperbarui oleh Heraclius (610-641), yang berusaha menyelesaikan perpecahan antara kelompok Khalsedonisme Ortodoks Timur yang bersifat Diofisitisme dengan kelompok Ortodoksi Timur yang bersifat Miafisitisme, yang menyarankan kompromi monoenergisme.

Kompromi ini mengadopsi kepercayaan Diofisitisme Khalsedon bahwa Kristus adalah Logos (Firman) Allah yang berinkarnasi, berasal dari dan dalam dua kodrat. Ajaran ini mencoba mengatasi keraguan Miafisitisme non-Kalsedon dengan pandangan bahwa Kristus memiliki satu “energi”, sebuah istilah yang definisinya sengaja dibuat samar-samar. Monoenergisme diterima oleh para Patriark Konstantinopel, Antiokhia, dan Aleksandria, serta oleh orang-orang Armenia.

Monoenergisme sendiri tidak dikritik secara jelas oleh Paus Honorius I dari Roma dalam suratnya pada tahun 635. Namun, hal itu ditolak oleh Athanasius I Gammolo dan oposisi kuat dari Patriark Sophronius dari Yerusalem memenangkan dukungan yang luas. Hal ini membuat Heraclius meninggalkan ajaran tersebut pada tahun 638 (meskipun masih mengutuk dyoenergisme). Ia berusaha untuk menegakkan doktrin monothelitisme, yang ditentang terutama oleh Maximus sang Pengaku Iman. Hal ini pun gagal menyelesaikan perpecahan dan menyatukan kekaisaran secara teologis.

Baik monoenergisme maupun monotelitisme dikutuk sebagai ajaran sesat oleh Konsili Ekumenis Keenam, yang diadakan di Konstantinopel pada tahun 680-681.

Apa itu Dyoenergisme?

Dyoenergisme (berasal dari bahasa Yunani yang berarti “dua energi”) adalah sebuah doktrin Kristologis yang mengajarkan adanya dua energi (ilahi dan manusiawi) di dalam pribadi Yesus Kristus.

Secara khusus, dyoenergisme menghubungkan kekhasan dua energi dengan keberadaan dua kodrat yang spesifik (ilahi dan manusiawi) di dalam pribadi Yesus Kristus (dyophysitisme), dan menolak monoenergisme.

Oleh karena itu, dyoenergisme mengajarkan bahwa Yesus Kristus bertindak melalui dua energi, ilahi dan manusiawi. Konsili Ekumenis Keenam pada tahun 680-681 menegaskan kembali dyoenergisme sebagai doktrin gereja.

Sofronius Diangkat Sebagai Patriark Yerusalem

Meskipun tidak berhasil dalam misinya untuk mengutuk Monoenergisme, Sofronius terpilih sebagai patriark Yerusalem pada tahun 634. Segera setelah penobatannya, ia meneruskan surat sinodisnya yang terkenal kepada Paus Honorius I dan para Patriark atau Imam gereja di Timur, yang menjelaskan kepercayaan ortodoks akan dua kodrat, manusiawi dan ilahi, dari Kristus, yang bertentangan dengan Monoenergisme, yang ia lihat sebagai bentuk halus dari Monofisitisme yang sesat (yang menyatakan bahwa hanya ada satu kodrat ilahi bagi Kristus).

Selain itu, ia menyusun sebuah Florilegium (Antologi atau Bunga Rampai) yang terdiri dari sekitar 600 teks dari para Patriark Gereja Mula-mula yang mendukung ajaran Kristen tentang Dyothelitisme (yang menempatkan kehendak manusiawi dan ilahi di dalam Kristus).

Ajaran dan Karya Sofronius

Dalam khotbah Natalnya pada tahun 634, Sofronius lebih mementingkan agar para pendeta tetap sejalan dengan pandangan Chalcedonian tentang Tuhan, hanya memberikan peringatan yang paling konvensional tentang kemajuan Saracen di Palestina, dengan berkomentar bahwa Saracen telah menguasai Betlehem. Sofronius, yang memandang kendali Saracen atas Palestina sebagai “perwakilan tak disadari dari hukuman Tuhan yang tak terelakkan atas orang-orang Kristen yang lemah dan bimbang”.

Selain polemik, tulisan Sofronius juga memuat encomium tentang Cyrus dan Yohanes yang merupakan martir Aleksandria sebagai ucapan terima kasih atas kesembuhan luar biasa atas kegagalan penglihatannya. Dia juga menulis 23 puisi Anacreontic (metrum klasik) dengan tema-tema seperti pengepungan Yerusalem oleh umat Islam dan berbagai perayaan liturgi.

Puisi tersebut menggambarkan rangkaian lengkap di seluruh tempat suci terpenting di Yerusalem pada akhir abad ke-6, yang menggambarkan zaman keemasan Kekristenan di Tanah Suci. Sofronius juga menuliskan Kehidupan Santa Maria dari Mesir, yang dibacakan pada hari Kamis Prapaskah kelima dalam Ritus Bizantium.

Kunjungan Khalifah ke Yerusalem

Saat penaklukan pasukan Islam di Kota Suci, Panglima Romawi dan Patriark Sofronius meminta agar perjanjian penyerahan Kota Yerusalem itu ditandatangani langsung oleh Khalifah Umar bin Khattab, Uskup Sophronius tidak mau menyerahkan kota suci itu kecuali langsung kepada Khalifah sendiri.

Uskup Sophronius menyampaikan Permintaan itu kepada Amirul Mukminin di Madinah dan langsung berangkat menuju Yerusalem. Awalnya, permintaan tersebut ditolak oleh Abu Ubaidah dan Khalid bin Walid juga pasukan Muslim lainnya.

Namun, dengan kebijaksanaannya, Khalifah Umar bin Khattab menyetujui permintaan tersebut. Baik pembesar-pembesar Muslim maupun Romawi dan pemimpin Kristen siap menyambut kedatangan Khalifah Umar dari Madinah.

Pertemuan Sofronius dengan Umar dan Penyerahan Kunci Yerusalem

Setelah melihat kedatangan Khalifah Umar, pembesar Romawi dan tokoh-tokoh pemimpin Kristen terkejut karena sang khalifah menaiki unta tanpa pengawalan yang ketat. Bahkan Khalifah Umar naik unta secara bergantian dengan seorang pengawalnya, Aslam.

Mereka tidak menyangka, seorang khalifah yang namanya menggetarkan setiap lawan, yang para panglimanya menaati setiap perintahnya dengan kepatuhan penuh, ternyata hanya seorang laki-laki dengan penampilan yang sangat sederhana. Uskup Sophronius semakin takjub lantaran Umar berjalan kaki, bersama seekor unta yang justru ditunggangi oleh pengawalnya yang kemudian dikira sebagai Khalifah.

Sama seperti Sofronius, orang-orang Kristiani yang turut menyaksikan kedatangan Umar ikut takjub. Di depan pengikutnya itu, Sofronius berucap dengan suara gemetar penuh takzim, “Lihatlah, sungguh ini adalah kesahajaan dan kegetiran yang telah dikabarkan oleh Danial Sang Nabi ketika ia datang ke tempat ini.” (Mustafa Murrad, Kisah Hidup Umar ibn Khattab (2009) hal. 95).

Setelah menyerahkan kunci gerbang Yerusalem kepada Umar bin Khattab, Uskup Sophronius kemudian mengajak khalifah Umar berkeliling kota dan memasuki kompleks Gereja Makam Kudus.

Perjanjian Umari dan Kenangan Sofronius dengan Khalifah Umar

Tepat siang hari, saat tibanya waktu Salat Dzuhur. Uskup Sophronius pun mempersilakan Umar untuk menunaikan Salat di dalam gereja. Namun, Umar menolak dengan halus. Khalifah Umar mempunyai alasan yang jelas dan tegas terkait perihal ini. “Jika saya mendirikan salat di dalam gereja ini, saya khawatir orang-orang Islam nantinya akan menduduki gereja ini dan menjadikannya sebagai masjid,” demikian alasan Umar (Murrad, 2009, hal. 96).

Umar menilai Gereja Makam Kudus sangat sakral bagi orang-orang Nasrani. Umat Kristiani percaya bahwa di situlah tempat Yesus disalibkan dan dibangkitkan, sehingga tempat itu menjadi tujuan ziarah sejak abad ke-4 Masehi.

Kepada Uskup Sofronius, Umar memintanya agar menunjukkan lokasi reruntuhan Kuil Sulaiman atau Kuil Herodes. Sophronius kemudian mengantarkan Umar ke tempat yang terletak di seberang Gereja Makam Kudus.

Setelah membersihkan tempat yang sangat tidak terurus itu, Khalifah Umar menunaikan Salat Dzuhur. Di kawasan ini pula, nantinya berdiri masjid yang bernama Masjid Umar (pembangunannya terjadi tahun 1193 oleh Al Afdal, putra Shalahuddin Al Ayyubi).

*Sebagian kalangan yang berpendapat bahwa lokasi pembangunan Masjid Umar berbeda dengan tempat di mana Umar bin Khattab menunaikan salat. Masjid ini terletak di sebelah selatan Gereja Makam Suci. Sementara prasasti bekas reruntuhan Kuil Herod tempat Umar salat berada di sebelah timur gereja.

Baca Juga: Gencatan Senjata Natal: Fenomena Indah Ditengah Perang Berdarah – Tinta Emas


Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Avatar photo

Tinta Emas

Selamat datang di Tinta Emas! Kami menjadi sumber berita arus utama yang memotret berbagai peristiwa di seluruh belahan dunia dengan kecermatan, keadilan dan integritas.

Dari Penulis

Kematian Sultan Abdul Aziz I: Bunuh Diri atau Dibunuh?

Perjanjian Umari: Jaminan Khalifah Umar Kepada Penduduk Yerusalem

Tinggalkan Balasan