Sengketa bangunan yang mengemuka di Uttar Pradesh, India, tidak hanya mencerminkan perselisihan atas kepemilikan fisik, tetapi juga menyoroti perpecahan mendalam antara komunitas Hindu dan Muslim. Seorang pemuda Muslim berusia 21 tahun dari distrik Shamli ditangkap karena mengumandangkan azan di bangunan tua yang menjadi pusat perselisihan tersebut.

Beberapa penduduk setempat mempercayai bangunan itu adalah masjid. Sedangkan yang lainnya bersikeras bahwa itu adalah bekas benteng milik penguasa Hindu sebelum penaklukan oleh Mughal dan Afghan.

Penangkapan pemuda tersebut dan pembebasannya dengan jaminan menyoroti ketegangan antarkomunitas. Sementara itu, klaim sejarah yang saling bertentangan memperumit upaya pencarian keadilan dan rekonsiliasi.


Omar Qureshi
Omar Qureshi Mengumandangkan Azan di Sebuh Bangunan ‘Masjid’ tua di Uttar Pradesh (Poster Tinta Emas)

Pemuda Muslim Ditangkap Karena Melantunkan Azan di Bangunan Sengketa

 

Bangunan itu terletak di desa Ahata Gausgarh di blok Thana Bhawan distrik Shamli di bagian barat Uttar Pradesh. Pada Jumat, 5 Januari, polisi membuat laporan terhadap Umar Qureshi, seorang penduduk kota Jalalabad yang berjarak 5-6 km dari lokasi.

Pihak berwajib menangkap seorang pemuda Muslim berusia 21 tahun di distrik Shamli, Uttar Pradesh (UP). Alasan penangkapannya karena mengumandangkan azan di sebuah bangunan tersebut. Pihak berwajib kemudian membebaskannya dengan jaminan setelah menuduhnya menciptakan permusuhan antar komunitas.

Penduduk setempat menganggap tindakan Umar Qureshi yang melakukan azan di lokasi itu melanggar kesepakatan bersama. Kesepakatan itu dibuat pada era Inggris antara umat Hindu dan Muslim.

Kesepakatan tersebut mencakup bahwa tidak ada komunitas yang akan menggunakan tempat tersebut untuk tujuan-tujuan religius. Selain itu, tidak ada yang dapat mengubah status quo-nya, kata Neeraj Kumar, suami kepala desa setempat, yang melaporkan kejadian tersebut.

Pihak berwajib menjatuhkan Qureshi dengan Pasal 505 (2) KUHP (pernyataan yang menciptakan atau mempromosikan permusuhan, kebencian, atau kebencian antar golongan) dan Pasal 67 Undang-Undang Teknologi Informasi.

Kumar mengatakan beberapa orang setempat menyebut bangunan sengketa itu sebagai Raja ka Quila. Tetapi ia tidak tahu harus menyebutnya apa – masjid atau benteng – dan mengakui bahwa ia tidak tahu pasti apa nilai historisnya.

Namun, yang pasti bagi Kumar adalah bahwa struktur bangunan tersebut tidak ada yang boleh merusaknya. “Bade log (leluhur) kami telah mencapai pemahaman bersama bahwa tidak ada Hindu yang akan melaksanakan puja di sini dan tidak ada Muslim yang akan melaksanakan salat di sini. Itu saja,” kata Kumar, menekankan bahwa dia ingin menghindari kontroversi komunal atas masalah ini.

Sejarah Bangunan Tua Yang Menjadi Sengketa

Sebagian warga Muslim setempat meyakini bahwa bangunan itu adalah masjid. Komunitas Hindu menyatakan bahwa dahulu merupakan benteng milik penguasa Hindu sebelum penaklukan oleh Mughal dan Afghan. Namun, tidak ada yang dapat secara independen memverifikasi usia perkiraan bangunan tersebut. Pihak terkait mengklaim, tanpa bukti dokumen, bahwa struktur itu berusia 250-300 tahun.

Sedikit yang mengetahui tentang sejarah sebenarnya dari situs itu. Lembaran resmi distrik Muzaffarnagar, yang termasuk Shamli hingga 2012, yang terbit pada tahun 1980. Perwira Inggris H.R. Nevill menulis edisi yang jauh lebih tua pada tahun 1903. Dalam lembaran tersebut memang merujuk pada benteng di Ghausgarh, tempat Zabita Khan menempati bangunan tersebut. Zabita Khan adalah putra kepala suku Afghan Najib-ud-Daula, yang berasal dari tahun 1785.

Namun, tidak dapat dengan mudah memverifikasi bangunan sengketa tersebut. Apakah itu adalah bangunan yang sama yang menjadi sengketa saat ini atau ada bangunan yang berdiri sebelumnya.

Bhanu Pratap Singh, seorang profesor bidang teknik sipil di Universitas SRM di Ghaziabad dan sekretaris kelompok Manahar Kheda Durg Kalyan Samiti, mengklaim bahwa struktur Gos Garh adalah bagian dari kerajaan Hindu Manahar Kheda yang ada di Jalalabad saat ini. Menurutnya, Mughal merebutnya pada era Aurangzeb, dan desa Gos Garh berada di wilayah Manahar Kheda.

Singh mengatakan, bahwa selama era Inggris terjadi perselisihan antara Hindu dan Muslim di sana mengenai identitas bangunan dan peribadatan. Namun tidak ada bukti yang jelas mengenai pernyataannya tersebut.

Pada tahun 1940, kedua belah pihak mengadakan keputusan bersama bahwa Hindu tidak akan merusak bangunan tersebut. Sementara itu, Muslim tidak akan beribadah di sana, kata Singh, yang pernah mengunjungi desa itu.

Kelanjutan Status Bangunan Sengketa

Fakta bahwa sebagian besar fasad bangunan masih ada saat ini menjadi bukti bahwa penduduk setempat mempertahankan janji mereka untuk tidak merusaknya. Singh menambahkan, bahwa ia telah beberapa kali menulis kepada Archaeological Survey of India (ASI).

Singh meminta ASI untuk mengambil alih bangunan tersebut dan melestarikannya karena nilai historisnya. Ia khawatir bahwa jika terus membiarkannya dalam keadaan saat ini, bangunan tersebut bisa menjadi sumber perselisihan baru antara Hindu dan Muslim. “Ini bisa menjadi masalah besar di masa depan.”

Pada tahun 2013, distrik Muzaffarnagar dan Shamli menjadi saksi kekerasan komunal massal. Kekerasan tersebut menyebabkan setidaknya 60 orang tewas dan ribuan lainnya mengungsi.

Tahun lalu, pada bulan Maret, wilayah tersebut kembali muncul dalam berita setelah Manahar Kheda Durg Kalyan Samiti mengajukan petisi kepada administrasi distrik Shamli. Mereka menuntut kepala menteri Adityanath, agar mengubah nama benteng Jalalabad menjadi benteng Manahar Kheda dan menyerahkannya kepada ASI.

Samiti mengklaim bahwa Jalal Khan telah merampas Benteng Jalalabad. Jalal Khan adalah seorang komandan Mughal Afghanistan, setelah meracuni raja Hindu Rajput pada abad ke-17.

Perselisihan Tak Berujung dan Komitmen Antar Komunitas

Benteng tersebut saat ini dihuni oleh Arshad Ali Khan, anggota dewan Rashtriya Lok Dal dari Thana Bhawan, dan keturunan Jalal Khan. Arshad Ali Khan mengatakan bahwa mereka memiliki dokumen resmi untuk membuktikan hak mereka atas tanah tersebut.

Mengenai bangunan sengketa di Gos Garh, Arshad Ali Khan mengatakan bahwa karena desa tersebut kehilangan populasi Muslim, seiring waktu ‘masjid’ tersebut menjadi terbengkalai.

Hingga 20-25 tahun yang lalu, orang-orang dari Jalalabad bahkan pergi ke sana untuk melaksanakan salat dan tarawih sesekali, katanya. “Ini adalah masjid 100%,” kata Arshad Ali Khan, meskipun menambahkan bahwa dia akan menyediakan referensi dokumen nanti.

Dalam artikel berjudul ‘Hindutva eyes a Muslim fort in UP’ yang ditulis tahun lalu, wartawan senior Ajaz Ashraf mendokumentasikan sejarah Benteng Jalalabad di tengah tuntutan untuk mengubah namanya.

Ashraf menghubungkan tuntutan untuk mengubah nama Benteng Jalalabad dengan politik saat ini: “Dengan pemilihan Lok Sabha 2024 setahun lagi, penargetan terhadap benteng Jalalabad adalah hasil dari Hindutva yang selalu menciptakan simbol-simbol nasional, regional, dan mikro untuk memperluas jurang antara Hindu dan Muslim. Jalalabad mungkin adalah contoh pertama Hindutva yang mengincar properti milik Muslim.”

Inspektur Polisi Shamli Abhishek mengatakan bahwa secara historis, tidak ditemukan pelaksanaan fungsi keagamaan di bangunan yang rusak tersebut, yang “mungkin saja dulunya merupakan benteng”.

Inspektur Polisi juga meminta pihak-pihak yang terkait dalam masalah ini untuk mengajukan permohonan ke pengadilan sipil atau departemen pendapatan untuk mendapatkan penanganan terkait struktur bangunan yang hancur.

Menurut Kalian bangunan tersebut Masjid atau Benteng Guys ?

Baca Juga: Pelayaran Samudera Atlantik Kekaisaran Mali – Tinta Emas


Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinta Emas https://tintaemas.net

Selamat datang di Tinta Emas! Kami menjadi sumber berita arus utama yang memotret berbagai peristiwa di seluruh belahan dunia dengan kecermatan, keadilan dan integritas.

Mungkin Kamu Juga Menyukai

Lainnya dari Penulis

+ There are no comments

Add yours

Tinggalkan Balasan