Ketika saya ditanya manuskrip Melayu mana yang paling penting di British Library, tidak ada jawaban sederhana. Haruskah saya menyebut dua naskah Sejarah Melayu atau Malay Annals (Or 14734 dan Or 16214) yang kami miliki, yang mengisahkan pendirian kerajaan Melaka abad ke-15 dan barangkali merupakan teks Melayu paling terkenal? Atau naskah tertua yang diketahui dari babad sejarah paling awal dalam bahasa Melayu, yakni Hikayat Raja Pasai, atau Chronicle of the Kings of Pasai (Or 14350)? Atau salah satu manuskrip Melayu beriluminasi terindah yang pernah dikenal, sebuah salinan Taj al-Salatin, The Crown of Kings, yang ditulis di Penang pada 1824 (Or 13295)? Yang tak boleh absen dari daftar karya-karya agung penulisan Melayu adalah Adat Aceh, The Statecraft of Aceh (MSS Malay B.11), sebuah kompendium adat, peraturan, dan praktik istana dari kesultanan Muslim terbesar di Asia Tenggara pada abad ke-17.

Adat Aceh disusun dengan latar perebutan takhta Aceh pada 1815 hingga 1819 antara dua pesaing: Sultan yang sedang berkuasa Jauhar al-Alam Syah, yang telah mengumpulkan banyak musuh internal; dan pilihan yang disukai para bangsawan Aceh, Sultan Syarif Saiful Alam, putra seorang saudagar kaya yang bermukim di Penang, yang menurunkan garis dari para sultan Arab Aceh terdahulu. Kedua kubu memiliki pendukung Inggris yang berbeda, dan otoritas serta komunitas niaga East India Company di Penang terlibat erat dalam perkara ini. Tanggal-tanggal terakhir yang ditemukan dalam Adat Aceh adalah penobatan Saiful Alam sebagai Sultan pada 12 Zulhijah 1230 (15 November 1815), dan pelarian Jauhar al-Alam berikutnya ke Penang pada 1 Muharam 1231 (3 Desember 1815). Namun pada akhirnya Jauhar al-Alam yang menang, dan dengan dukungan T. S. Raffles ia dipulihkan ke takhta Aceh pada 1819. [Untuk periode ini dalam sejarah Aceh, lihat Lee 1995.]
Naskah Adat Aceh di British Library ditulis di atas kertas Inggris ber-watermark ‘W Balston 1815’, dan sangat mungkin disalin tak lama setelah tahun tersebut. Dedikasi pada halaman pertama menunjukkan bahwa buku itu dipersembahkan oleh W. E. Phillips “kepada sahabatnya yang dihargai” Sir Robert Townsend Farquhar (1776–1830). Phillips bertugas di Penang dari 1800 hingga 1824, pada masa akhir menjabat sebagai Gubernur, sementara Farquhar adalah Letnan Gubernur pulau tersebut dari 1804 hingga 1805.

Naskah Adat Aceh memuat sejumlah teks yang berbeda. Dua halaman pertama (ff. 2v–3r) berisi catatan tentang lamanya usia dunia: Pasal pada menyatakan umur dunia tatkala turun Nabi Allah Adam sampai kepada hari kiamat iaitu tujuh ribu tahun lamanya, yang berarti “pasal tentang umur dunia, sejak turunnya nabi Allah Adam hingga hari kiamat, yaitu selama tujuh ribu tahun”. Setelah itu menyusul bagian utama pertama, berjudul dalam bahasa Arab Mābain al-salāṭīn dan dalam bahasa Melayu Perintah segala raja-raja, “Peraturan bagi raja-raja” (ff. 3v–26v), yang dinisbahkan kepada Ismail bapa (ayah dari) Ahmad. Berisi nasihat bagi raja, teks ini dibagi menjadi 31 majlis atau bagian; bagian akhir majlis 5 hingga bagian awal majlis 24 jelas hilang pada sumber yang lebih tua yang darinya Adat Aceh disalin pada 1815.
Bagian kedua Adat Aceh membahas sejarah kesultanan. Daftar 37 penguasa Aceh disajikan pada empat halaman (ff. 28r–29v), disusul pada ff. 31r–47v oleh uraian kronologis berjudul Silsilah segala raja-raja yang jadi kerajaan dalam Aceh bandar Darussalam, yang memuat ringkasan sejarah dinasti Aceh sejak Islamisasi awal hingga awal abad ke-19, berujung pada penobatan Sultan Saiful Alam seperti disebutkan di atas.
Bagian ketiga dari naskah (ff. 48r–102v) adalah Adat majlis raja-raja, “Adat dan peraturan raja-raja”, yang berisi uraian rinci protokol bagi penguasa dan pejabat istana, termasuk peraturan untuk upacara bulan puasa, untuk dua hari raya utama, untuk melakukan sembah kepada raja, untuk perarakan raja ke masjid pada hari Jumat, untuk pesta mandi raja pada Rabu terakhir bulan Safar (mandi Safar), dan untuk malam berjaga Lailatulkadar di bulan Ramadan, dan ditutup dengan penjabaran para pembesar istana (ff. 103v–111r). Bagian keempat sekaligus terakhir yang panjang (ff. 111r–176r) adalah uraian rinci peraturan untuk pelabuhan Aceh.

Sebagai pengakuan atas signifikansi sejarah yang luar biasa dari isinya, khususnya bagian ketiga dan keempat yang tampaknya terutama berasal dari abad ke-17, salinan British Library dari Adat Aceh, MSS Malay B.11, menjadi salah satu manuskrip Melayu pertama yang diterbitkan dalam bentuk faksimili pada 1958. Mungkin mencerminkan keterbatasan teknis masa itu, tetapi juga apresiasi yang saat itu lebih rendah terhadap nilai kodikologis paratekstual, faksimili tersebut memasukkan catchwords dan beberapa koreksi teks, namun tidak memuat anotasi marjinal penanda paragraf baru (Drewes & Voorhoeve 1958: 8), yang kini baru dapat dilihat dalam versi digital dari manuskrip tersebut.
Sebagaimana dibahas dalam tulisan blog sebelumnya tentang Mir’āt al-ṭullāb oleh Abdul Rauf dari Singkel, penggunaan kata Arab maṭlab (bagian, seksi) dan baḥth (pembahasan, tentang) di pinggiran halaman buku-buku Melayu untuk menandai topik baru tampaknya unik bagi Aceh, dan dapat melibatkan kelihaian artistik yang cukup besar dalam penyajiannya. Sementara rambu marjinal dalam Adat Aceh ini tidak memiliki hiasan dekoratif, ia disajikan secara kaligrafis dengan anggun menggunakan tinta merah, miring terhadap teks.



Berdasarkan catatan dalam naskah Adat Aceh lain di Leiden yang dikumpulkan oleh Snouck Hurgronje (Cod.Or. 8213), Voorhoeve menyimpulkan bahwa Adat Aceh mungkin disusun pada akhir 1815 oleh salah satu pejabat istana paling senior, Teuku Ne’ dari Meurasa, dari dokumen-dokumen dalam arsip kerajaan Aceh. Sebuah salinan (B) dibawa ke Penang pada akhir 1815 atau 1816, yang darinya manuskrip BL MSS Malay B.11 sekarang disalin. Pada saat penerbitan katalog manuskrip Indonesia di Britania Raya pada 1977, Voorhoeve telah mengetahui bahwa (B) tersimpan di Perpustakaan Universitas Edinburgh sebagai Or. MS 639, dan bahwa hlm. 25 dan 26 dari manuskrip itu tidak ada dalam BL MSS Malay B.11. Kekosongan itu terjadi pada f. 14r naskah BL dan dua halaman teks yang hilang itu kini dapat dipenuhi dari manuskrip Edinburgh yang tampaknya ditulis oleh juru tulis yang sama. Unduh Transliterasi EUL Or MS 639 hlm. 25–26


Adat Aceh adalah gudang informasi tentang negara, tata negara, dan perdagangan di Aceh abad ke-17, dan pentingnya telah diakui bahkan tak lama setelah penyusunannya. Meskipun naskah kami tidak memuat judul, teks ini dinamai Adat Achi oleh T. J. Newbold—salah satu sarjana awal penulisan Melayu yang paling jeli—dalam sebuah artikel yang terbit pada 1836 di Madras Journal of Literature and Science, dan pada 1838 Newbold menyerahkan naskah karyanya sendiri kepada Madras Literary Society.
Terjemahan bahasa Inggris atas bagian-bagian Adat Aceh, barangkali berdasarkan naskah (B), diterbitkan oleh Th Braddell di Journal of the Indian Archipelago pada 1850–1851. Publikasi faksimili oleh Drewes dan Voorhoeve pada 1958 memberikan akses yang lebih luas terhadap karya ini, dan dua transliterasi beraksara Latin telah diterbitkan di Indonesia (Lamnyong 1976 dan Harun & Gani 1985). Adat Aceh menjadi topik disertasi doktoral penting oleh Takashi Ito (1984), dan Ito (2015) juga baru-baru ini menerbitkan dua jilid catatan kontemporer abad ke-17 VOC tentang Aceh, yang memberi kesempatan untuk membandingkan sumber-sumber Melayu dan Belanda mengenai Aceh dari periode yang sama.
Diterjemahkan dari artikel asli berjudul “Glimpses of Malay manuscript ‘Adat Aceh’, a 17th century guide to statecraft from a great sultanate” Oleh: Annabel Teh Gallop.
Artikel ini pertama kali terbit di blog Asian and African Studies milik British Library.
Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.


