Rijsttafel mulai terbentuk dari interaksi antara kelas yang berbeda pada masa kolonial. Kolonialisme memberi pengaruh besar dalam pola hidup masyarakat jajahan. Persentuhan antara golongan superior dan inferior, melahirkan budaya makan baru.
Indonesia memiliki berbagai macam kuliner dengan beragam ciri khas. Cita rasa yang melimpah juga menandakan bahwa dulu Indonesia pernah menyandang sebagai negeri rempah. Namun akibat semakin pesatnya ekspansi bangsa Barat ke Indonesia, menandakan awal mula praktik kolonialisme berjalan.
Sejak abad ke-16, persentuhan budaya antara bangsa Barat dan pribumi telah terjadi, dan semakin erat pada abad ke-19. Pengaruh kolonialisme yang telah menjamur tersebut, menyebabkan bangsa Eropa memposisikan diri sebagai golongan kelas sosial yang tinggi dan terpandang.
Dominasi bangsa Eropa bukan hanya dalam aspek struktural semata, tapi pada aspek kultural pun mereka memberi warna baru terhadap budaya pribumi. Mereka enggan sejajar dengan pola budaya pribumi yang telah ada. Termasuk dalam mempersoalkan hidangan makanan.

Tradisi Makan Pribumi
Secara tradisi, masyarakat pribumi memiliki cara makan sederhana. Mereka menghidangkan makanan dengan piring kayu atau daun. Sebelum makan, mereka terlebih dahulu mencuci tangan kanan, kemudian mereka duduk di lantai dan makan menggunakan jari tangan kanan, dengan lauk pauk sederhana.
Kultur kesederhanaan yang melekat dalam pola kehidupan pribumi ini, berasal dari sisi agama yang mereka anut. Kadang pula adanya ritual keagamaan menjadi ucapan rasa syukur terhadap makanan yang mereka peroleh.
Meskipun cara makan pribumi yang terbilang sederhana, terdapat pula perbedaan hidangan makan ketika bersinggungan dengan kaum priyayi. Perbedaan tersebut terletak pada varian hidangan yang beraneka ragam, selain itu, tradisi feodal juga digunakan sebagai pembeda antara rakyat biasa dengan mereka yang mempunyai kedudukan.
Cara tersebut kemudian lambat laun terkikis oleh pengarung kolonialisme. Budaya makan barat yang cenderung glamor mempengaruhi tata cara makan masyarakat pribumi.
Rijsttafel: Lahirnya Budaya Makan Baru
Persentuhan budaya bangsa Barat dengan pribumi semakin terbentuk pada masa kolonialisme Belanda. Orang Belanda yang kala itu mulai jenuh, kemudian kawin dengan orang pribumi. Persilangan antara pria Belanda dan wanita pribumi telah melahirkan kebudayaan baru bernama kebudayaan Indis.
Mayoritas dari para wanita pribumi yang telah kawin dengan pria Belanda, memiliki profesi sebagai pengurus rumah tangga, atau biasa disebut dengan nyai. Penyesuaian budaya pun terjadi seiring laju rumah tangga yang mereka lalui.
Proses pembentukan budaya baru dalam tata cara makan terjadi ketika orang Belanda merasa enggan untuk mengikuti tradisi makan pribumi, tapi di sisi lain, ia juga harus terbiasa memakan nasi serta hasil olahan wanita pribumi. Maka istilah budaya makan baru muncul bernama ritjsttafel. Rijst berarti nasi atau beras dan tafel yang berarti meja, namun diumpamakan sebagai hidangan.
Budaya rijsttafel merupakan akulturasi budaya makan Barat dan pribumi, meski hidangan yang tersaji adalah makanan pribumi, seperti nasi dan lauk pauk hasil olahan pribumi, tapi hidangan tersebut tersaji dengan pelayanan yang mewah oleh para nyai.
Terdapat pula buku-buku panduan berumah tangga berbahasa Belanda pada masa kolonial, seperti Makanlah Nasi! (Eet Rijst!) De Indische Rijsttafel (voor Holland) yang terbit tahun 1922, dan Het Gehim van de Rijsttafel pada tahun 1934. Buku-buku tersebut menjelaskan bagaimana struktur keluarga indis berjalan.
Di sisi lain, perilaku orang Belanda yang merasa memiliki status sosial tinggi, menginginkan hidangan tersebut harus tersaji dengan tata krama bangsa Barat, yang terkesan mewah. Sehingga terdapat pula alat-alat makan seperti sendok dan garpu. Hidangan makan pun tertata rapi di meja makan.
Ketenaran Rijsttafel
Pada abad ke 19, budaya ini semakin terkenal di kalangan pejabat kolonial, opsir Tionghoa, dan pangreh praja pribumi. Banyak dari mereka yang menyesuaikan diri terhadap tata cara makan. Seperti kelompok elit pribumi yang kemudian menata ulang meja makan agar terkesan mewah.
Meskipun begitu, para wanita pribumi sangat berpengaruh terhadap hadirnya budaya Rijsttafel ini. Banyak dari mereka yang pandai memasak dengan beragam racikan resep makanan. Lambat laun, orang Belanda juga menyesuaikan diri terhadap cita rasa di tanah jajahannya, meskipun terdapat pula modifikasi dalam resep makanan, agar sesuai dengan lidah bangsa Barat. Tapi lewat pengaruh para wanita pribumi, bangsa Belanda rela memakan nasi, dan lauk pauk pribumi.
Baca Juga: KH. Abdul Halim: Ulama dan Pejuang dari Majalengka – Tinta Emas
Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
+ There are no comments
Add yours