Perang Tellumpoccoe (1582-1611), sebuah persaingan antara Kerajaan Gowa-Tallo dan Aliansi Tiga Kerajaan Bugis di Semenanjung Sulawesi Selatan pada abad ke-16. Konflik ini merupakan klimaks dari ambisi dominasi antara Gowa dan Bone yang masing-masing bersuku bangsa Makassar dan Bugis.
Sebagai hasil dari persatuan antara Gowa dan Tallo pada tahun 1528, Kerajaan Gowa-Tallo menguatkan kekuasaannya dengan menerapkan prinsip “dua raja satu rakyat”, di mana raja Gowa memegang peran sebagai kepala negara dan pemimpin tertinggi, sementara Raja Tallo menjadi tumabbicara atau perdana menteri yang mengurus pemerintahan.

Perang Tellumpoccoe: Rivalitas 29 Tahun
Pada abad ke-16, persaingan perebutan kuasa memuncak di jazirah Sulawesi Selatan. Semenanjung itu menjadi medan perang bagi negara-negara tempatan, khususnya Kerajaan Gowa dari bagian barat dan Kerajaan Bone dari bagian timur. Dua negara tersebut, masing-masing bersuku bangsa Makassar dan Bugis, berlomba-lomba mendominasi jazirah itu. Satu persatu negara-negara di sekeliling mereka dicaplok atau ditaklukkan sebagai bawahan.
Gowa menguat setelah ia berhasil “menyatu” dengan negara tetangga sekaligus negara satu trahnya, Tallo. Lahirlah Kerajaan Gowa-Tallo pada tahun 1528, sebagai penyatuan dari Gowa yang agraris dengan Tallo yang bercorak maritim. Mereka menerapkan prinsip rua karaeng se’re ata atau “dua raja satu rakyat”, di mana raja Gowa menjadi kepala negara dan pemimpin tertinggi, sedangkan Raja Tallo menjadi tumabbicara atau perdana menteri, kepala pemerintahan.
Ekspansi Gowa-Tallo dilancarkan ke segala penjuru. Ia segera dapat menguasai kawasan luas hingga sejauh Toli-Toli di utara, Kepulauan Liukang di barat, Sinjai di timur, dan Kepulauan Selayar di tenggara. Aliansi-aliansi yang telah dibangun oleh sejumlah negeri di kawasan tersebut, seperti Pitu Ba’bana Binanga di Mandar, Limae Ajatappareng di Pinrang dan Sidrap, serta Tellulimpoe di Sinjai, tak berhasil membendung gerakan-gerakan ekspansionis Gowa-Tallo. Mereka ditundukkan baik dengan cara damai ataupun perang.
Kekuasaan Gowa-Tallo yang semakin besar mengkhawatirkan rival utama sekaligus mantan sekutunya, Bone. Dua kerajaan itu pernah bersekutu pada dekade 1520an dan 1530an, untuk menghadapi ancaman Luwu dari utara. Kedatuan Luwu adalah negara paling dituakan di Sulawesi Selatan, yang juga pernah menjadi penguasa utama di jazirah tersebut. Pada awal abad ke-16, ia berupaya memulihkan klaim lamanya itu. Namun, aliansi Gowa-Bone sukses menghentikannya, dan memerdekakan sejumlah negara taklukannya seperti Wajo, Soppeng, Lamuru, dan Sidenreng.
Tepat setelah itu, hubungan Gowa-Bone mulai memburuk. Perebutan pengaruh di bekas-bekas taklukan Luwu menjadi pemantiknya. Permusuhan akhirnya pecah dengan kalahnya Gowa dalam pertandingan sabung ayam melawan Bone, yang mengharuskan Gowa untuk menyerahkan tiga negeri taklukannya di Sinjai (Aliansi Tellulimpoe) kepada Bone. Namun, raja Gowa enggan melakukannya, dan akhirnya menyerang Bone.
Perang antara Gowa-Tallo dan Bone pecah dua kali, yaitu pada tahun 1559-1564 dan 1565. Selama itu, dua raja Gowa, Karaeng Tunipallangga dan Tunibatta, mangkat. Tunipallangga mangkat setelah ia sakit keras akibat luka yang didapatnya di medan tempur, sedangkan Tunibatta tewas dipenggal ketika menyerang Bone, 20 hari setelah pelantikannya. Raja yang baru, Tunijallo, mengakhiri perang dan berusaha memperbaiki hubungannya dengan Bone.
Namun, Arumpone (raja Bone) tetap waswas. Pada tahun 1582, ia akhirnya mengajak dua raja tetangganya, Datu Soppeng dan Arung Matoa Wajo, untuk bertemu di Timurung, di dekat perbatasan tiga kerajaan itu. Setelah bermusyawarah bersama para penasihat dan pengiring mereka, ketiga raja Bugis itu – Arumpone La Tenrirawe, Datu La Mappaleppe, dan Arung Matoa La Mungkace – akhirnya sepakat untuk saling bersekutu. Maka lahirlah Tellumpoccoe, aliansi militer antara tiga negara Bugis itu, yang dibentuk untuk menghadapi ekspansi Gowa-Tallo dan pihak-pihak lain yang mengancam mereka.
Tentu saja, Gowa-Tallo bereaksi dengan cepat. Baru setahun semenjak pembentukan Tellumpoccoe, Karaeng Tunijallo melancarkan serangan pertamanya terhadap aliansi itu. Pasukannya menyerang Wajo. Soppeng dan Bone mengirim pasukan bantuan ke Wajo, dan berhasil memukul mundur para penyerang. Dua tahun kemudian, Tunijallo kembali memberangkatkan ekspedisi militer. Kali ini ke Bone. Namun, sebelum sampai di perbatasan, ia menarik kembali pasukannya, tanpa alasan yang jelas.
Pada tahun 1588, Gowa-Tallo kembali mengirim pasukan ke Bone. Kali ini ia benar-benar menggempurnya. Namun, setelah tujuh bulan, pasukan Makassar dipukul mundur. Dua tahun kemudian, Tunijallo sendiri berangkat memimpin satu serangan lagi dengan tujuan yang sama. Namun, raja Gowa itu harus kehilangan nyawanya dalam ekspedisi ini. Pada tanggal 28 September 1590, Tunijallo dibunuh oleh I Lolo Tammakkana, seorang pengikut sekaligus sepupunya sendiri. Kematian sang raja yang tiba-tiba membuat moral pasukan Makassar turun. Akibatnya, mereka kembali dipukul mundur dari Bone. Tellumpoccoe sekali lagi muncul sebagai pemenang.
Kemenangan ini benar-benar dimanfaatkan oleh aliansi tersebut. Mereka melancarkan serangan balik. Pada tahun 1590-1591, Soppeng berturut-turut merebut Lamuru, Sidenreng, dan Rappang. Direbutnya dua daerah yang disebut terakhir cukup berpengaruh bagi keseimbangan geopolitik di kawasan itu. Sidenreng dan Rappang merupakan anggota dari Limae Ajatappareng, sebuah konfederasi antara lima negara Bugis di Pinrang dan Sidrap yang telah tunduk kepada Gowa-Tallo sejak tahun 1556. Dengan “menyeberang”-nya Sidenreng dan Rappang ke kubu Tellumpoccoe, persekutuan Ajatappareng menjadi goyah, yang berpengaruh pula terhadap atasan mereka, Gowa-Tallo. Dan sang atasan sendiri juga sedang mengalami krisis.
Pasca kematian Tunijallo, tahta Gowa menjadi kosong selama beberapa waktu. Para petinggi istana, di bawah Dewan Bate Salapang dan tumabbicara I Sambo (ratu Tallo, janda Tunijallo), akhirnya mengangkat putra sulungnya, Karaeng Tunipasulu, sebagai penggantinya. Raja baru ini masih sangat muda, baru belasan tahun, sehingga ia jelas masih kurang cakap dalam memerintah. Namun, kekurangcakapannya itu, saat digabungkan dengan kekuasaan tertinggi yang diberikan kepadanya, rupanya berbuah buruk.
Tunipasulu menjadi pemimpin yang sewenang-wenang. Ia kerap menyalahgunakan kekuasaannya. Ia merebut tahta Tallo dari ibunya, sebagai upaya untuk mengakhiri prinsip rua karaeng se’re ata dan menjadi penguasa tunggal di negaranya. Keadaan ini dibenci oleh rakyat dan para petinggi istana. Pada tahun 1593, mereka akhirnya mengudeta Tunipasulu dan membuangnya dari kerajaan.
Lalu bagaimana dengan Tellumpoccoe? Selain Soppeng, apakah Bone dan Wajo juga memanfaatkan instabilitas yang sedang dialami oleh musuh mereka? Tentu saja. Pada tahun yang sama dengan kudeta di Gowa, aliansi Tellumpoccoe merebut Cenrana, sebuah daerah pesisir yang telah bertahun-tahun menjadi exclave milik Luwu. Bisa dibilang, ketidakstabilan di Gowa-Tallo membuat mereka merasa aman, sehingga memutuskan untuk merebut kembali daerah kekuasaan mereka dari suatu negara lain yang juga dilihat sebagai musuh, Luwu. Cenrana lalu dikendalikan oleh Bone.
Jelas bahwa selama Tunipasulu berkuasa di Gowa-Tallo (1590-1593), ketiga anggota Tellumpoccoe sama-sama memetik keuntungan. Soppeng-lah yang paling untung, di mana kekuasaan dan pengaruhnya mengalami perluasan yang cukup signifikan. Bone berhasil memulihkan kekuasaannya terhadap satu daerah yang telah bertahun-tahun lepas dari kendalinya. Dan Wajo, meski tak melancarkan ekspansi seperti dua sekutunya, ia ikut menikmati periode tersebut dengan hidup dalam keadaan damai.
Namun, dua tahun pasca kudeta di Gowa, salah satu anggota Tellumpoccoe juga mengalami kudeta. Arumpone La Inca (1584-1595) dilengserkan oleh rakyat Bone dan Dewan Matoa Pitu, kurang lebih karena alasan yang sama dengan rakyat Gowa-Tallo yang mengudeta Tunipasulu. Namun, La Inca mengalami nasib yang lebih malang. Tunipasulu “hanya” dibuang dari negerinya, sementara La Inca dibunuh. Itupun terjadi karena ulahnya sendiri. Setelah ia dikudeta, La Inca mengamuk. Ia baru dapat dihentikan setelah ia kelelahan. Saat beristirahat di tangga rumahnya, ia ditusuk sampai mati oleh seorang kerabatnya sendiri. Tahta Bone lalu diserahkan kepada La Pattawe, seorang kerabat lain La Inca.
Sementara itu, di Gowa-Tallo, tahta kerajaan kembar itu masing-masing diambil alih oleh I Mangarangi dan Karaeng Matoaya. Masing-masing merupakan adik dan paman dari Tunipasulu. I Mangarangi jelas masih sangat muda, bahkan bocah, namun Matoaya telah berusia cukup matang. Sebagai raja Tallo dan tumabbicara, tokoh inilah yang kemudian memegang kendali pemerintahan negara Gowa-Tallo dan akhirnya berhasil membawa kerajaan itu ke “puncak kejayaan”-nya.
Selama satu dekade berikutnya, pada tahun 1595-1605, seluruh daratan Sulawesi Selatan tidak mengalami pergolakan yang berarti. Gowa-Tallo dan Tellumpoccoe berada dalam suatu keadaan stalemate, di mana keduanya berhenti bertikai dengan tetap mempertahankan kekuasaannya masing-masing. Namun, apabila Tellumpoccoe tetap bersikap defensif, maka Gowa-Tallo tetap melancarkan ekspansi. Hanya saja, tidak di Sulawesi, namun jauh di seberang laut. Di Nusa Tenggara Timur.
Pada tahun 1596-1602, Karaeng Matoaya bersama seorang panglimanya, Dom João Juang, memimpin ekspedisi militer ke Flores, Solor, dan Timor. Dengan alasan yang belum diketahui dengan jelas, Gowa-Tallo menyerang pulau-pulau yang didominasi oleh Portugis itu. Mereka berhadapan dengan negara Iberia tersebut beserta sekutu-sekutu lokalnya, seperti Larantuka dan Sikka. Setelah enam tahun, usaha ekspansi ini berakhir dengan kegagalan. Matoaya dan sisa armadanya kembali ke Sulawesi.
Pada tahun 1605, Sulawesi Selatan memasuki sebuah era baru. Raja Gowa dan raja Tallo memeluk agama Islam. Mereka diislamkan oleh Datuk Tallua, tiga orang ulama Minangkabau yang datang dari Giri (Gresik, Jawa Timur), yaitu Dato ri Bandang, Dato ri Pattimang, dan Dato ri Tiro. Dua tahun sebelumnya, mereka telah terlebih dahulu singgah di Luwu dan mengislamkan rajanya, Datu La Pattiware, serta mantan raja Gowa, Tunipasulu, yang sedang menjalani masa pembuangannya di sana. Dengan masuk Islam-nya tiga di antara raja-raja paling berpengaruh di jazirah tersebut, mereka pun lambat laun ikut menyebarkan agama baru mereka.
Dalam sumber lokal yang dikutip oleh Leonard Y. Andaya (2004:42), yang menurutnya disisipkan setelah proses Islamisasi selesai dengan sukses, disebutkan bahwa raja-raja di Sulawesi Selatan pernah mengadakan suatu kesepakatan bahwa jika “siapa saja yang menemukan jalan lebih baik, harus memberitahu penguasa-penguasa lain”. “Jalan” ini diartikan sebagai “agama” atau “kepercayaan”. Dalam konteks ini, Gowa-Tallo dan Luwu memandang Islam sebagai “jalan yang lebih baik” daripada kepercayaan sebelumnya, yaitu agama-agama Patuntung dan Tolotang, dua kepercayaan monoteis yang masing-masing memuja Tu Rie A’rakna dan Dewata SeuwaE.
Pada 9 November 1607, Islam akhirnya diresmikan sebagai agama negara di Gowa-Tallo. Peresmian ini ditandai dengan diadakannya salat Jum’at pertama di kerajaan itu, yang dilaksanakan di Tallo. Setelah itu, para raja mengganti gelar resmi mereka. I Mangarangi menjadi Sultan Alauddin, sementara Matoaya menjadi Sultan Abdullah. Para vasal dan taklukan Gowa-Tallo segera mengikuti atasan mereka, seperti Selayar, Sawitto, Suppa, dan negeri-negeri Mandar. Penerimaan mereka terhadap Islam antara lain didorong oleh kemiripannya dengan agama sebelumnya, yang sama-sama bersifat monoteis.
Namun, penolakan tentu ada. Lontara bilang mencatat tentang adanya perang di Tamappalo, sebuah daerah di Bulukumba, di ujung tenggara jazirah Sulawesi Selatan. William Cummings (2010:4) menduga bahwa perang ini berkaitan dengan penyebaran Islam oleh Gowa-Tallo yang dilakukan dengan kekerasan. Bulukumba adalah tempat tinggal bagi orang Kajang. Sebagian dari mereka kini bertahan sebagai komunitas adat yang mempertahankan agama Patuntung.
Tradisi lisan Kajang, yang telah dicatat oleh Hasan dan Hasruddin Nur (2019:187), mengonfirmasi dugaan Cummings dengan menyatakan bahwa penduduk Kajang Dalam di Ammatoa memang menolak memeluk Islam. Jika demikian, maka perang Tamappalo merupakan reaksi dari Gowa-Tallo terhadap penolakan tersebut. Orang Kajang memberontak dan menjadi masyarakat tanpa negara, sampai akhirnya ditaklukkan kembali oleh negara Gowa-Tallo pada akhir tahun 1607. Hanya orang Kajang di Ammatoa yang dapat bertahan.
Namun, penolakan terkuat terhadap ajakan masuk Islam datang dari Tellumpoccoe. Mereka menolak karena melihat bahwa agama baru itu hanyalah alat baru yang sedang digunakan oleh Gowa-Tallo untuk mendominasi dan akhirnya menaklukkan mereka. Raja Soppeng, Datu Beoe, lalu mengirim sebuah gulungan kapas dan roda putar kepada penguasa Gowa, Sultan Alauddin. Dua benda ini menyimbolkan sifat perempuan. Artinya, Datu Beoe sedang mengejek kejantanan Sultan Alauddin.
Ejekan tersebut ternyata membuat sang sultan tersinggung dan marah. Ia merasa bahwa siri’ atau harga dirinya telah dinodai, sehingga ia membalas dengan mengumumkan perang kepada Tellumpoccoe. Pada tahun 1608, perang pamungkas antara Gowa-Tallo dan Tellumpoccoe, yang dalam historiografi Makassar ataupun Bugis dinamakan sebagai “Perang Islam” (Musu’ Asellenge atau Bundu’ Kasalanga), dimulai. Gowa-Tallo, yang bersekutu dengan Luwu (atas alasan politis dan religius), bersiap menyerang Tellumpoccoe.
Sebagai pihak yang memantik perang, Soppeng menjadi negeri pertama yang diserang oleh Gowa-Tallo. Sultan Alauddin dan Karaeng Matoaya memimpin langsung ekspedisi militer ke negeri itu. Mereka memasuki Soppeng melalui Sawitto, menggempurnya dari utara. Pasukan Makassar bergerak ke selatan, menyisir wilayah Rappang dan Sidenreng. Di Pakenya (tepi Sungai Sadang), mereka dihadang oleh pasukan Bugis. Pertempuran pecah selama tiga hari, dan dimenangkan oleh kubu Tellumpoccoe. Karaeng Matoaya hampir terbunuh, sementara pasukan yang dipimpin oleh Sultan Alauddin juga dikalahkan di dekat sebuah empang. Pasukan Gowa-Tallo dan dua raja mereka pun mundur.
Tiga bulan pasca Pertempuran Pakenya, kemungkinan masih pada tahun 1608, Gowa-Tallo dan Luwu menyerang Wajo. Dalam serangan ini, mereka mendapatkan bantuan dari tiga palili atau bawahan Wajo yang membelot, yaitu Akkotengeng, Keera, dan Sakkoli. Dua kota penting di Wajo, yaitu Peneki dan Tosora (ibukota), dikepung. Namun, para penyerang dapat diusir oleh pasukan Wajo dan sekutunya. Sekali lagi, Tellumpoccoe menang. Walau demikian, ini adalah kemenangan terakhir mereka.
Pada akhir tahun 1608, Kedatuan Rappang bergabung kembali dengan Gowa-Tallo. Sultan Alauddin lalu membangun sebuah benteng di negeri ini. Pada awal tahun berikutnya, Rappang dan Sawitto diserang oleh Tellumpoccoe. Pasukan tiga kerajaan bergerak maju hingga mencapai pantai barat di Padang-Padang (Parepare saat ini). Di sini, mereka dihadang oleh pasukan Limae Ajatappareng dan Gowa-Tallo. Pasukan Tellumpoccoe dikalahkan. Mereka mundur ke pegunungan dan membangun pertahanan di sana.
Selanjutnya, masih pada tahun 1609, Gowa-Tallo melancarkan serangan balik. Ia menggempur Sidenreng dan berhasil merebutnya. Soppeng yang merasa terancam, membalas dengan menggempur Tanete, namun mengalami kekalahan. Pasukan Makassar lalu bergerak ke ibukota Soppeng, Watansoppeng, dan segera mengepungnya. Kota itu jebol setelah satu bulan pengepungan. Menurut Andi Palloge (1990:63), kekalahan Soppeng disebabkan oleh tidak datangnya bala bantuan dari Wajo dan Bone. Kedatuan Soppeng pun menjadi anggota Tellumpoccoe pertama yang jatuh. Datu Beoe memeluk Islam dan menjadi vasal Gowa-Tallo.
Beberapa waktu kemudian, pada 10 Mei 1610, Wajo menyusul sebagai anggota Tellumpoccoe selanjutnya yang takluk kepada Gowa-Tallo. Seperti Soppeng, ia juga dijadikan vasal dan masuk Islam. Rajanya, Arung Matoa La Sangkuru, mengambil sebuah gelar Islam, Sultan Abdurrahman. Raja ini wafat pada tahun yang sama, beberapa waktu setelah ia menjadi Muslim. La Sangkuru lalu menjadi Arung Matoa Wajo pertama yang mayatnya dikuburkan, tidak dibakar seperti para pendahulunya.
Dengan jatuhnya Soppeng dan Wajo, maka Bone menjadi satu-satunya negara Tellumpoccoe yang tersisa. Ia tak lagi mempunyai sekutu, kecuali daerah-daerah taklukannya sendiri. Mestinya, keadaan yang semakin membuat moral turun inilah, yang mendorong Arumpone We Tenrituppu (putri dan pengganti La Pattawe, naik tahta pada tahun 1602) untuk berkunjung ke Sidenreng. Ia menemui Datu Sidenreng, La Pattiroi, yang telah menjadi seorang Muslim. Dari sang datu, We Tenrituppu mulai mempelajari agama Islam. Ahmad Ridha (2013:6-7) bahkan menyebutkan adanya klaim bahwa ratu Bone tersebut kemudian memeluk agama itu, meskipun belum sepenuhnya jelas.
Pada awal tahun 1611, We Tenrituppu mangkat di Sidenreng. Tahta Bone diserahkan kepada seorang kerabat jauhnya, La Tenriruwa, yang sebelumnya menjabat sebagai Arung Palakka atau raja daerah di Palakka. Tiga bulan setelah naik tahtanya La Tenriruwa, Bone mulai digempur oleh Gowa-Tallo. Pasukan Makassar, di bawah pimpinan Sultan Alauddin dan Karaeng Pettung, menyerang Bne dari pantai timur. Mereka dapat menduduki daerah-daerah Pallette dan Cellu, lalu membangun kubu pertahanan di sana.
Dari daerah pendudukannya, Sultan Alauddin mengirim surat kepada Arumpone, yang disebutkannya berkedudukan di Lalebbata atau Watampone. Di dalam surat ini, sultan Gowa mengajak Arumpone dan seluruh rakyatnya untuk masuk Islam, agar perang dapat segera diakhiri. Ajakan ini diterima oleh La Tenriruwa. Ia menjadi Muslim dan mengganti nama gelarnya menjadi Sultan Adam.
Namun, ketika menyeru rakyatnya untuk mengikutinya masuk Islam, La Tenriruwa mendapatkan tentangan keras. Rakyat Bone menolak mengikutinya, bahkan akhirnya melengserkannya. Sepupunya, La Tenripale yang menjabat sebagai Arung Timurung, diangkat sebagai Arumpone yang baru. La Tenriruwa meninggalkan Watampone dan menyingkir ke Pattiro. Di sini pun ia diburu oleh rakyatnya. Mantan Arumpone itu akhirnya menyeberang ke kubu Gowa-Tallo. Sultan Alauddin bersedia membantunya. Ia mengirim Karaeng Pettung dan pasukannya ke Pattiro untuk merebut tempat itu dan menjemput La Tenriruwa. Namun, meski telah mendapatkan sekutu yang membelot dari pihak musuh, Gowa-Tallo tetap tidak berhasil menaklukkan Bone selama sebagian besar tahun 1611.
Pada 23 November 1611, Bone akhirnya jatuh. Pasukan Makassar membakar Kota Watampone dan sekitarnya. Sebagai pemenang perang, raja-raja Gowa-Tallo mengizinkan La Tenripale untuk tetap menjabat sebagai Arumpone. Seperti dua raja sekutunya sebelumnya, ia menjadi vasal Gowa-Tallo dan memeluk Islam.
Dengan jatuhnya Bone, maka perang panjang antara Kerajaan Gowa-Tallo dan Aliansi Tellumpoccoe pun berakhir. Gowa-Tallo menjadi kekuatan paling dominan di Sulawesi Selatan. Di bawah kepemimpinan dwitunggal Sultan Alauddin dan Karaeng Matoaya, jangkauan kuasa dan hegemoni, serta jaringan diplomasi dan ekonomi negara itu, akan semakin meluas. Pada pertengahan abad ke-17, Gowa-Tallo menjadi begitu kuat dan sukses, hingga akhirnya ia menjadi negara paling berpengaruh di Indonesia Timur.
Konten ini merupakan kolaborasi antara Lazardi Wong Jogja dan Tinta Emas
Lihat Juga: Perang Tiga Segi (1511-1641): Gejolak konflik Aceh-Portugis-Johor – Tinta Emas
Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.


