Perang Herero – Jerman (1904-1908)

Perang Herero (1904-1908) merupakan sebuah aksi genosida Jerman yang menghancurkan suku Herero, konflik ini meninggalkan jejak kelam dalam sejarah kolonialisme Jerman di Afrika.

Perang Herero dan Kolonialisme Jerman di Afrika Barat Daya

Perang Herero adalah konflik kolonial yang terjadi antara Kekaisaran Jerman dan suku Herero di wilayah Afrika Barat Daya Jerman, yang kini dikenal sebagai Namibia, selama periode 1904 hingga 1908. Perang ini, yang juga dikenal sebagai Perang Jerman-Herero 1904–07, berujung pada kehancuran besar-besaran, dengan sekitar 75 persen populasi Herero tewas. Banyak sejarawan mengklasifikasikan peristiwa ini sebagai salah satu contoh awal genosida.

Suku Herero adalah masyarakat penggembala yang menghuni wilayah tengah dan utara Afrika Barat Daya. Di bawah kepemimpinan tokoh-tokoh seperti Jonker Afrikaner, yang wafat pada 1861, dan Samuel Maharero, mereka berhasil menundukkan suku Nama dan Orlam dalam sejumlah konflik yang melibatkan senjata api yang diperoleh dari pedagang Eropa.

Awal Penjajahan Jerman di Afrika Barat Daya

Pada awal tahun 1880-an, Otto von Bismarck, negarawan Jerman yang sebelumnya menentang ekspansi kolonial, mengadopsi kebijakan imperialisme. Pada tahun 1882, ia memberikan izin kepada Adolf Lüderitz untuk mengakuisisi tanah yang nantinya akan berada di bawah “protektorat” Kekaisaran Jerman, dengan syarat bahwa sebuah pelabuhan harus dibangun di wilayah tersebut dan tanah yang diambil memiliki status “hak milik yang jelas.” Lüderitz kemudian membeli tanah di Angra Pequena (yang kelak dinamai Teluk Lüderitz) dari Joseph Fredericks, seorang kepala suku Orlam, dengan imbalan 200 senapan, 2.500 mark Jerman, dan beberapa tentara mainan dari timah (merujuk pada mainan berbentuk tentara yang terbuat dari timah, sebuah bahan logam yang sering digunakan untuk membuat mainan atau figur-figur kecil pada zaman itu. Mainan ini umumnya berbentuk patung atau figur tentara dalam pose perang, dan digunakan sebagai hadiah atau barang barter dalam perjanjian tersebut). Ia pun mendirikan pelabuhan di wilayah itu.

Pengakuan resmi atas klaim Jerman memerlukan waktu di tengah persaingan antarnegara Eropa. Inggris awalnya ragu untuk merespons permintaan Jerman terkait batas wilayah, tetapi pada April 1884, kanselir Jerman Otto Von Bismarck memerintahkan konsul Jerman untuk menyatakan bahwa wilayah “Lüderitzland” berada di bawah perlindungan Kekaisaran Jerman. Lüderitz kemudian memperluas pengaruh Jerman di wilayah tersebut, dan pada 1885 hanya suku Witbooi yang belum menandatangani perjanjian dengan Jerman.

Meskipun misionaris Rhenish, pedagang, dan orang Eropa lainnya telah hadir di wilayah itu sejak 1830-an, pemukiman Jerman secara signifikan baru dimulai setelah klaim resmi Jerman atas Afrika Barat Daya. Pada tahun 1903, sekitar 4.682 orang Eropa tinggal di lokasi itu, termasuk hampir 3.000 orang Jerman yang kebanyakan menetap di kota Lüderitz, Swakopmund, dan Windhoek. Kedatangan pemukim Jerman dalam jumlah besar memicu perubahan besar dalam perlakuan terhadap suku Herero dan Namaqua, termasuk diskriminasi hukum yang semakin parah serta perampasan tanah untuk mendukung pemukiman Eropa.

  • Hendrik Witbooi
  • Samuel Maharero

Afrika Barat Daya Jerman: Koloni Pemukim dan Awal Konflik

Afrika Barat Daya Jerman secara resmi berada di bawah penjajahan Jerman antara tahun 1884 hingga 1890. Wilayah semi-gersang ini memiliki luas dua kali lipat Jerman, tetapi hanya dihuni oleh sekitar 250.000 orang. Tidak seperti koloni Afrika lainnya, wilayah ini tidak menawarkan potensi besar untuk eksploitasi mineral atau pertanian berskala besar. Sebaliknya, Afrika Barat Daya menjadi satu-satunya koloni Jerman yang berfungsi sebagai koloni pemukiman. Pada tahun 1903, sekitar 3.000 pemukim Jerman, sebagian besar tinggal di dataran tinggi tengah, telah menetap di wilayah tersebut. Kehadiran para pemukim ini, meskipun jumlahnya relatif kecil, mengganggu keseimbangan sosial dan ekonomi lokal serta memicu ketegangan.

Akar utama konflik, selain perlawanan antikolonial, adalah perebutan sumber daya seperti tanah, air, dan ternak. Konflik paling besar terjadi dengan suku Herero, sebuah masyarakat pastoral yang sebelumnya telah mengadopsi berbagai elemen modern, termasuk penggunaan kuda dan senjata api, dalam kehidupan mereka.

Pemberontakan Herero 1904 dan Awal Konflik Bersenjata

Pada tahun 1903, beberapa suku Khoi dan Herero melancarkan pemberontakan yang menewaskan sekitar 120-150 pemukim Jerman. Banyak dari korban mengalami penyiksaan dan mutilasi sebelum dibunuh. Pasukan dari Jerman dikirim untuk memulihkan ketertiban, tetapi mereka hanya berhasil membubarkan kelompok perlawanan yang dipimpin oleh Kepala Suku Samuel Maharero.

Pertempuran besar pertama dimulai pada 12 Januari 1904 di Okahandja, pusat pemerintahan suku Herero di bawah kepemimpinan Samuel Maharero. Meskipun tidak jelas siapa yang memulai tembakan, pada siang hari, para pejuang Herero telah mengepung benteng Jerman. Dalam beberapa minggu berikutnya, pertempuran meluas ke seluruh dataran tinggi tengah. Untuk menjaga moral dan etika perang, Maharero mengeluarkan aturan yang melarang kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Namun demikian, serangan ini menewaskan 123 pemukim dan tentara Jerman, termasuk setidaknya empat perempuan.

Mayor Theodor Leutwein, komandan militer sekaligus gubernur koloni, memimpin upaya tanggapan Jerman. Menyadari bahwa suku Herero memiliki persenjataan yang cukup baik dan jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan garnisun kolonial Jerman, Leutwein mengusulkan penyelesaian konflik melalui negosiasi. Namun, usulan ini ditentang oleh Staf Umum di Berlin yang mendesak penggunaan solusi militer untuk mengakhiri pemberontakan.

Strategi Von Trotha dan Awal Pengepungan Waterberg dalam Perang Herero

Pada 13 April 1904, pasukan yang dipimpin oleh Mayor Leutwein mengalami kekalahan dan dipaksa mundur. Akibatnya, Leutwein dicopot dari komando militer, dan Kaisar Wilhelm II menunjuk Letnan Jenderal Lothar von Trotha sebagai penggantinya. Von Trotha adalah seorang veteran berpengalaman dalam perang kolonial di Afrika Timur Jerman dan Pemberontakan Boxer di Tiongkok.

Von Trotha tiba di Afrika Barat Daya pada 11 Juni 1904, di tengah jeda pertempuran selama dua bulan. Suku Herero telah mundur ke dataran tinggi terpencil di Waterberg, di tepi gurun Kalahari, untuk menghindari konfrontasi langsung dengan pasukan Jerman dan menjauh dari jalur pasokan mereka. Strategi mereka adalah menunggu kemungkinan negosiasi damai atau, jika diperlukan, mempersiapkan pelarian ke Bechuanaland Inggris (sekarang Botswana).

Selama periode ini, von Trotha menggunakan waktu untuk menyusun strategi dan secara bertahap mengepung suku Herero. Pemindahan pasukan Jerman menuju dataran Waterberg merupakan tantangan besar, mengingat keterbatasan peta Jerman untuk wilayah tersebut. Pasukan harus menyeberangi medan yang sulit sambil membawa persediaan air dan artileri berat yang diperlukan untuk melancarkan serangan besar. Von Trotha merencanakan “pukulan serentak” untuk menghancurkan suku Herero dalam satu serangan besar.

Pertempuran Waterberg: Kekalahan Herero dan Awal Tragedi Kalahari

Pada pagi hari 11 Agustus 1904, Letnan Jenderal von Trotha memimpin 1.500 pasukan Jerman untuk menyerang sekitar 40.000 orang Herero di Pegunungan Waterberg. Dari jumlah tersebut, hanya 5.000 orang Herero yang bersenjata. Jerman mengandalkan elemen kejutan dan keunggulan senjata modern mereka, termasuk artileri dan senapan mesin. Strategi ini berhasil, dengan serangan artileri yang terus-menerus memaksa para pejuang Herero melakukan serangan balasan yang putus asa. Pada sore hari, pasukan Herero mengalami kekalahan telak.

Namun, kelemahan di sisi tenggara pertahanan Jerman memungkinkan sebagian besar komunitas Herero melarikan diri ke gurun Kalahari. Ribuan pria, wanita, dan anak-anak Herero tewas kehausan selama pelarian ini, menandai awal dari bencana kemanusiaan yang mengerikan.

Sementara itu, Samuel Maharero, pemimpin suku Herero, berusaha membangun aliansi dengan suku-suku lain, termasuk suku Namaqua di bawah Hendrik Witbooi. Dalam suratnya yang terkenal, Maharero menyerukan persatuan dan perlawanan dengan kalimat, “Lebih baik kita mati berjuang!” Suku Herero kemudian melancarkan perang gerilya, menggunakan taktik serangan cepat dan bersembunyi di medan yang mereka kuasai, sehingga mengurangi efektivitas senjata berat Jerman.

Pertempuran Waterberg menjadi pertempuran penentu dalam perang ini. Meskipun Maharero berharap keunggulan jumlah enam banding satu dapat membawa kemenangan, Jerman mampu memanfaatkan senjata berat mereka untuk mengatasi perlawanan tersebut. Pertempuran ini menyebabkan kerugian besar di kedua belah pihak, tetapi pasukan Herero terpencar dan akhirnya kalah. Peristiwa ini menandai akhir perjuangan besar suku Herero di dataran tinggi tengah dan menjadi awal genosida tragis mereka.

Perintah Pemusnahan dan Kamp Konsentrasi: Babak Kelam Genosida Herero dan Namaqua

Dalam bulan-bulan setelah Pertempuran Waterberg, von Trotha terus mengejar suku Herero ke gurun Kalahari. Mereka yang menyerah atau tertangkap sering kali langsung dieksekusi. Namun, pada awal Oktober 1904, pengejaran dihentikan karena pasukan Jerman mengalami kelelahan dan kekurangan pasokan. Sebagai gantinya, patroli dikerahkan untuk mencegah suku Herero kembali ke wilayah kolonial Jerman. Pada 3 Oktober 1904, von Trotha mengumumkan kebijakan baru yang dikenal sebagai “perintah pemusnahan” (Vernichtungsbefehl) di Ozombu Zovindimba.

Pada bulan yang sama, komunitas Namaqua di wilayah selatan juga melancarkan pemberontakan melawan Jerman. Akhirnya, seperti halnya suku Herero, mereka dipaksa masuk ke kamp-kamp konsentrasi, dengan sebagian besar tahanan dikirim ke Kamp Pulau Shark di dekat Lüderitz. Di kamp ini, kondisi hidup yang mengerikan menyebabkan hingga 80 persen tahanan meninggal dunia.

Jenderal von Trotha pada Oktober 1904 mengeluarkan perintah brutal untuk membunuh semua pria Herero dan mengusir wanita serta anak-anak ke padang pasir. Meskipun berita tentang kebijakan ini sampai ke Jerman dan memicu kecaman, von Trotha awalnya mengabaikan perintah pencabutan dari Berlin. Ketika kebijakan pemusnahan akhirnya dihentikan pada Desember 1904 atas perintah Kaisar Wilhelm II setelah tekanan dari Kanselir Bernhard von Bülow, kebijakan baru diperkenalkan. Mengikuti contoh Inggris di Afrika Selatan, orang Herero dan Nama, baik kombatan maupun warga sipil, dikurung di kamp-kamp konsentrasi (Konzentrationslager). Kamp-kamp ini didirikan di kota-kota besar untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja lokal.

Dalam tiga tahun berikutnya, para tahanan, terutama wanita dan anak-anak, dipaksa bekerja sebagai buruh untuk bisnis lokal dan proyek infrastruktur pemerintah. Kondisi kerja yang keras, kekurangan gizi, dan perlakuan buruk menyebabkan lebih dari setengah tawanan meninggal dalam tahun pertama. Peristiwa ini mencerminkan salah satu babak paling gelap dalam sejarah kolonial Jerman dan menjadi salah satu contoh awal genosida modern.

Tragedi Herero dan Nama: Genosida yang Dilupakan dalam Sejarah

Setelah perjuangan panjang, Jerman baru berhasil memulihkan kendali atas wilayah tersebut pada tahun 1908. Selama periode itu, puluhan ribu penduduk asli Afrika tewas, baik akibat konflik langsung maupun kelaparan dan kehausan saat melarikan diri. Diperkirakan sekitar 65.000 dari 80.000 orang Herero dan 10.000 dari 20.000 orang Nama kehilangan nyawa mereka akibat kampanye brutal ini.

Pada puncak operasi militer, Jerman mengerahkan sekitar 19.000 tentara. Sementara itu, penemuan berlian di wilayah tersebut sempat membawa harapan akan kemakmuran baru. Namun, peristiwa ini tidak bertahan lama karena pada tahun 1915, selama Perang Dunia I, pasukan Inggris di Afrika Selatan merebut wilayah tersebut dalam Kampanye Afrika Barat Daya. Kemudian, pada tahun 1920, wilayah ini secara resmi menjadi mandat di bawah kendali Afrika Selatan.

Genosida terhadap Herero dan Namaqua baru mendapatkan perhatian ilmiah pada tahun 1966, ketika sejarawan Jerman Horst Drechsler pertama kali menyebut tindakan Jerman sebagai genosida. Secara keseluruhan, sekitar 75 persen populasi Herero dan 50 persen populasi Nama tewas, menjadikannya salah satu genosida paling mematikan dalam sejarah dunia.

Permintaan Maaf dan Kompensasi Jerman atas Genosida Herero dan Namaqua

Satu abad setelah perang, pada 16 Agustus 2004, pemerintah Jerman secara resmi menyampaikan permintaan maaf atas kekejaman yang terjadi. Heidemarie Wieczorek-Zeul, Menteri Bantuan Pembangunan Jerman saat itu, menyatakan, “Kami orang Jerman menerima tanggung jawab historis dan moral kami serta rasa bersalah yang ditanggung oleh orang Jerman pada masa itu.” Ia juga secara terbuka mengakui bahwa peristiwa tersebut setara dengan genosida.

Pengakuan resmi bahwa pembantaian tersebut merupakan genosida baru diumumkan kembali pada tahun 2015, diikuti dengan permintaan maaf lanjutan pada tahun 2016. Suku Herero pun membawa kasus ini ke pengadilan melalui gugatan kelompok terhadap pemerintah Jerman. Pada tahun 2021, sebagai bagian dari langkah rekonsiliasi, Jerman mengumumkan pemberian ganti rugi sebesar €1,1 miliar kepada Namibia sebagai bagian dari upaya penyelesaian masalah ini.

Representasi Perang Herero dalam Budaya Populer

Perang Herero dan pembantaian yang mengikutinya diabadikan dalam karya sastra, salah satunya dalam novel V. karya Thomas Pynchon yang diterbitkan pada 1963. Kisah tragis genosida terhadap Herero dan Namaqua juga diangkat dalam novel Gravity’s Rainbow karya Pynchon yang lebih dikenal pada tahun 1973. Dampak mendalam dari genosida ini terhadap individu dan budaya Herero digambarkan dalam Mama Namibia, sebuah novel sejarah yang ditulis oleh Mari Serebrov pada 2013.

Selain itu, perang dan pembantaian ini juga mendapat sorotan melalui The Glamour of Prospecting, sebuah catatan kontemporer oleh Frederick Cornell. Dalam buku ini, Cornell menceritakan pengalamannya saat mencari berlian di wilayah tersebut, termasuk pengamatannya terhadap kamp konsentrasi di Pulau Shark dan berbagai aspek kelam lainnya dari konflik yang berlangsung.

Lihat Juga: Pertempuran Ghunib: Perlawanan Terakhir Imamah Kaukasus – Tinta Emas



Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Avatar photo

Amrullah

Amrullah (Founder Tinta Emas)

Dari Penulis

Bencana Kebakaran Belum Padam, Trump: Pejabat California Tak Kompeten

Penahanan Yoon Suk Yeol dan Ketegangan Politik di Korea Selatan

Tinggalkan Balasan