Perang Dingin Iberia-Austronesia di Kamboja 1596-1600, Sebuah Reaksi Berantai Perang Tiga Segi di Asia Tenggara Daratan

Perang dingin Iberia-Austronesia di Kamboja menggambarkan reaksi berantai konflik 1596–1600 ketika Uni Iberia (Spanyol–Portugal) dan aliansi Johor–Champa memperebutkan pengaruh atas kerajaan Khmer yang rapuh pascakejatuhan Longvek (1594): dimulai dari undangan bantuan Kamboja yang berujung intervensi militer Diogo Veloso–Blas Ruiz, pengangkatan Barom Reachea II sebagai raja boneka Iberia, lalu bangkitnya pemberontakan diaspora Melayu–Cham yang dipimpin Po Rat dan seorang Laksamana Johor hingga penaklukan Phnom Penh dan Longvek serta pembunuhan sang raja; kekuasaan pun berayun di antara faksi Iberia, Austronesia, dan elite Khmer (Barom Reachea III, Kaev Brah Phloen), sebelum Siam di bawah Naresuan menutup huru-hara (1602–1603) dan kedua kubu asing menggeser kembali fokus konflik ke Selat Melaka—sebuah potret Asia Tenggara Kurun Niaga di mana perdagangan, aliansi, dan perang saling mengikat nasib negara-bangsa.

Perang dingin Iberia-Austronesia di Kamboja

Kamboja dalam Kurun Niaga

Reaksi berantai adalah sebuah hal yang cukup lumrah dalam jaringan kejadian sejarah, terlebih sejarah geopolitik. Sebagai sebuah melting pot, Asia Tenggara menjadi kawasan yang perjalanan sejarahnya begitu dipengaruhi oleh dinamika relasi antarbangsa. Apabila suatu kelompok lokal bermusuhan dengan kelompok lokal lain, dan kedua kelompok memiliki sekutu non-tempatannya masing-masing, maka di situlah reaksi berantai tampil.

Kerajaan Kamboja, atau Kambujadesa, atau Khmer, merupakan salah satu negara besar di Asia Tenggara pada abad ke-16. Ia terletak di Asia Tenggara Daratan alias Indocina, bagian “benua utama” dari kawasan Asia Tenggara. Seperti tetangga-tetangganya, Kamboja menjadi pemain yang cukup aktif dalam jaringan perdagangan regional ataupun global yang berkembang saat itu, selama berlangsungnya periode yang disebut oleh Reid (2014: xxxii) sebagai Age of Commerce atau Kurun Niaga (1450-1680). Perdagangan ini bisa mendatangkan keuntungan, bisa juga kerugian. Tergantung bagaimana masing-masing pemain memainkan permainannya. Bagaimana mereka menempatkan diri, memanfaatkan situasi, dan mencari celah untuk kepentingan masing-masing.

Mereka yang bermain dengan baik, akan memperoleh keuntungan, kecil ataupun besar. Yang untung besar akan menjadi yang paling dikenal, yang paling disegani, yang paling banyak dikerubungi, dikunjungi oleh para pedagang antarbangsa. Sebaliknya, yang bermain buruk, tentu akan memetik kerugian. Kota-kotanya mungkin menjadi sepi, bergeliat dengan malas dan tanpa semangat, lesu. Atau bahkan lebih buruk lagi. Ia akan dirundung. Digiring ke sana kemari. Ditarik oleh kelompok ini, lalu direbut oleh kelompok yang lain. Menjadi arena perebutan pengaruh. Ia kehilangan kehormatannya. Ia kehilangan kemerdekaannya.

Sialnya, pada periode ini, tahun 1596-1600, Kamboja bermain buruk. Akibatnya, ia mengalami nasib yang “bahkan lebih buruk lagi” itu tadi. Kamboja dipimpin oleh raja-raja yang lemah. Raja-raja yang rela melakukan apapun demi mendapatkan takhta. Raja-raja boneka. Raja-raja yang tidak merdeka. Mereka pun dengan segera dimanfaatkan oleh para pemain lain. Tetangga-tetangganya yang bermain dengan baik. Tetangga-tetangga yang – sialnya bagi Kamboja – sedang saling bermusuhan. Saling berebut pengaruh. Saling mencari sekutu untuk memperkuat kedudukannya masing-masing. Adalah dua kelompok utama, Spanyol-Portugal dan Melayu-Champa, para tetangga yang saling bermusuhan itu.

Ambisi, Ekspansi, dan Invasi Uni Iberia

Spanyol dan Portugal adalah dua bangsa Eropa yang telah begitu aktif dan berambisi untuk memperluas hegemoni di Asia Tenggara. Dua bangsa ini sejak tahun 1581 telah “bergabung” menjadi satu imperium global besar, Uni Iberia. Kala itu, Spanyol telah memiliki pusat kolonial yang cukup mapan di Filipina, sementara Portugal bercokol di Melaka. Sudah beberapa dekade mereka berada di sana, sebuah waktu yang cukup untuk “melebur” menjadi pemain regional. Mereka rajin mengintervensi percaturan politik di seantero Asia Tenggara. Intervensi untuk mengejar ambisi, ekspansi untuk memperluas imperium.

Ekspansi Spanyol-Portugal tentu saja ditentang oleh banyak pemain regional yang telah terlebih dahulu berpapan dengan nyaman di kawasan ini. Di antara pemain-pemain itu ialah bangsa Melayu, yang kala itu terdiri dari beberapa negara. Johor, Perak, Patani, dan Brunei adalah beberapa di antaranya. Di antara mereka, Johor dan Brunei-lah yang paling aktif menentang ekspansi orang-orang Iberia. Johor berperang dengan Portugis di Selat Melaka, sementara Brunei melawan Spanyol di Filipina. Di tengah-tengah peperangan dua medan itulah, Spanyol dan Portugal menyatu menjadi Uni Iberia. Penyatuan ini sedikit banyak dapat menekan desakan-desakan dari kekuatan-kekuatan Melayu di Selat Melaka ataupun Filipina.

Sekarang, mari tinggalkan kedua medan itu. Kita kembali ke Asia Tenggara Daratan. Pada tahun 1596, wilayah ini terbagi menjadi beberapa negara. Dari timur ke barat, negara-negara itu adalah Dai Viet (Dinasti Mac), Tonkin (Dinasti Trinh), Annam (Dinasti Nguyen), Champa, Kamboja, Lan Xang, Burma (Dinasti Toungoo), dan Siam (Ayutthaya). Ada dua pemain tempatan yang cukup agresif saat itu, yaitu Annam dan Siam. Selama tahun-tahun sebelum 1596, Kamboja menjadi target perundungan dari dua negara itu. Raja Siam, Naresuan Agung, adalah perundung yang paling aktif. Ia baru saja menang perang melawan Burma dan masih berapi-api oleh api ekspansi. Ia bahkan sempat menaklukkan Kamboja pada tahun 1594, menghancurkan ibukotanya, Longvek. Siam menjajah Kamboja selama enam bulan, Januari-Juli 1594. Beruntung sekali raja Kamboja, Preah Ram I, bisa mengusir pasukan Siam dan membebaskan kembali negaranya (Sotheavin, 2016: 89). Namun, ia tetap waswas. Tak kuat menghadapi tekanan, sang raja akhirnya memutuskan untuk mencari sekutu. Ia meminta bantuan ke seberang laut, menuju Manila dan Melaka. Ia mendekati Uni Iberia.

Tentu saja, Uni Iberia menyambut permintaan bantuan itu dengan bersemangat. Kamboja adalah salah satu target dalam rencana penaklukan Asia yang dirancang oleh Uskup Melaka, Dom João Ribeiro Gaio, pada 11 April 1595. Kamboja diincar bersama Aceh, Johor dan negara-negara Melayu, Siam, Cochinchina (Vietnam), Cina, dan Jepang sebagai target penaklukan Spanyol-Portugal (Pinto, 2012: 71). Tentu ini menjadi kesempatan emas untuk mewujudkan rencana itu. Bulan April 1596, sepasukan tentara Spanyol-Portugis berangkat dari Manila ke Kamboja, dipimpin oleh dua orang conquistador yang begitu bergairah, Diogo Veloso dan Blas Ruiz. Namun, sesampainya di sana, raja yang meminta bantuan telah dikudeta. Raja baru Kamboja yang menyingkirkannya, Brah Rama, menolak kehadiran orang-orang Iberia itu. Perang pun tak dapat dihindari.

Gempuran pasukan Iberia berusaha ditahan oleh pasukan Kamboja yang dibantu oleh tentara bayaran dari Cina dan Champa. Pasukan Iberia dapat merangsek ke istana dan mengepungnya. Upaya mereka untuk merebut istana gagal. Namun, beberapa orang Iberia berhasil memasuki istana dan membunuh raja (Ibrahim & Putranto, 2016: 122; Sotheavin, 2016: 90). Setelah memastikan bahwa sang raja benar-benar mati, Veloso dan Ruiz menarik mundur pasukan mereka, meninggalkan Kamboja. Saat itu bulan Mei 1596. Mereka telah berada di sana selama satu bulan. Satu bulan di negara yang ternyata tidak menerima mereka. Moral mereka lemah. Mereka harus pergi dari sana. Mereka perlu menghimpun kekuatan yang lebih besar.

Tepat satu tahun kemudian, pada Mei 1597, Uni Iberia kembali menyerang Kamboja. Kali ini, mereka datang dengan moral yang lebih kuat dan kekuatan yang lebih besar. Beruntung pula bagi mereka, keadaan Kamboja juga sedang kacau. Negara itu tengah dilanda krisis suksesi yang timbul akibat terbunuhnya raja mereka dalam perang tahun 1596. Pasukan Iberia pun dengan mudah menaklukkan negara itu. Seorang raja boneka, Cau Bana Tan alias Barom Reachea II, dinobatkan, memerintah sebagai bawahan Kekaisaran Spanyol-Portugal. Sebagai pemenang perang, Uni Iberia juga mengambil dua wilayah kekuasaan Kamboja di sisi timur dan barat Sungai Mekong, dan membangun benteng dengan biaya yang dibebankan kepada Kamboja. Maka, dimulailah periode penjajahan Spanyol-Portugal di Kamboja.

Periode pertama penjajahan Uni Iberia atas Kamboja berlangsung pada tahun 1596-1599. Dua tahun lamanya, Kamboja merana. Pihak yang awalnya didekati sebagai sekutu, rupanya malah berbalik menjadi penakluk. Permintaan bantuan untuk melawan penjajah, ternyata malah berujung mendatangkan penjajah lain. Ia baru saja selesai menghadapi sebuah perang dan belum pulih darinya, namun kini harus menanggung beban lebih dari sebuah perang lain. Sebuah perang yang bukan hanya menimbulkan korban jiwa, namun juga biaya. Kamboja harus membiayai pembangunan benteng untuk penjajah barunya. Namun, derita Kamboja rupanya terus berlanjut.

Aliansi Johor-Champa dan Intervensinya

Bulan Juli 1599, Kamboja kembali mengalami krisis. Diaspora Melayu dan Cham di negara itu – dua di antara sekian banyak komunitas multietnis yang tinggal di Kamboja selama periode Kurun Niaga – melancarkan pemberontakan (Sotheavin, 2016: 90). Mereka tak menyukai kekuasaan Spanyol-Portugis di negara itu. Ini karena negara-negara asal dari kedua komunitas itu sedang bermusuhan dengan mereka. Adalah Kesultanan Johor, negara utama bangsa Melayu saat itu, serta Kerajaan Champa. Sejak tahun 1594, kedua negara itu telah saling bersekutu (Ibrahim & Putranto, 2016: 122). Tujuan utamanya jelas, untuk memerangi Uni Iberia. Namun, Johor juga memiliki satu musuh lain. Musuh yang juga dimusuhi oleh Uni Iberia. Musuh ini adalah Aceh, satu negara besar lain yang juga sedang gencar-gencarnya memperluas pengaruh di Asia Tenggara. Walau demikian, sejauh yang diketahui Aceh tak benar-benar punya masalah dengan Champa, sehingga musuh utama dari aliansi Johor-Champa tetaplah Uni Iberia.

Aceh, Uni Iberia (Spanyol-Portugal, khususnya Portugal), dan Johor (Dinasti Melaka). Tiga kerajaan. Tiga kekuatan. Tiga kubu. Tiga segi. Ketiganya saling bersaing dalam suatu konflik lintas generasi selama 130 tahun. Perang Tiga Segi, 1511-1641. Sebuah palagan perebutan kuasa dan hegemoni yang penuh darah, memperebutkan kendali atas Selat Melaka, salah satu jalur laut terpenting sedunia. Medan laga utama perang ini adalah Semenanjung Melayu, Sumatra, dan Kepulauan Riau, terutama di daerah-daerah berpelabuhan besar seperti Aceh, Aru (Sungai Deli), Kedah, Perak, Melaka, Johor alias Ujung Tanah (ujung tenggara Semenanjung Melayu), Singapura, Bintan, Pahang, dan Patani. Namun, satu medan laga baru muncul pada dekade 1590an. Kamboja.

Status Kamboja sebagai vasal Uni Iberia tentu menimbulkan reaksi keras dari Johor dan sekutunya, terlebih Champa yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Kamboja. Sementara bagi Johor, keberadaan daerah kekuasaan Spanyol-Portugis di seberang utaranya jelas merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan. Ia telah berkali-kali diancam dan diserang oleh benteng Melaka Portugis yang terletak di barat laut ibukotanya. Kini ia juga harus menghadapi sebuah benteng Iberia dari arah lain. Johor dikepung dari utara dan barat laut. Sebelum ancaman itu menjadi semakin mengkhawatirkan, Johor dan Champa memutuskan untuk mendahului menyerang. Mereka pun melakukan intervensi politik dengan memerintahkan kaki tangan mereka, diaspora Melayu-Cham di Kamboja, untuk melancarkan pemberontakan pada tahun 1599.

Orang Besar Cempa, Sang Laksamana Johor

Otoritas Johor dan Champa dalam intervensi di Kamboja diwakili oleh dua orang tokoh militer yang menjadi pemimpin pemberontakan. Mereka adalah Po Rat atau Chora, seorang panglima Champa, dan Laksamana, seseorang yang berasal dari Johor (Reid, 2004: 49). Siapakah si “Laksamana” ini? Laksamana adalah gelar resmi bagi pemimpin angkatan laut dalam tubuh kerajaan-kerajaan Melayu. Orang yang menyandang jabatan ini adalah orang nomor tiga di kerajaan, alias tangan kiri sultan. Johor mewarisi gelar itu dari pendahulunya, Kesultanan Melaka. Sepanjang sejarah Dinasti Melaka – keluarga yang memerintah negara Melaka dan Johor sejak 1400 sampai 1699 –, ada setidaknya enam orang yang pernah bergelar Laksamana. Mereka adalah Hang Tuah, Khoja Hassan, Hang Nadim, Orang Besar Cempa, Tun Abdul Jamil, dan Megat Seri Rama.

Selama berlangsungnya Perang Tiga Segi, ada tiga orang laksamana yang berperan, yaitu Hang Nadim, Orang Besar Cempa, dan Tun Abdul Jamil. Mari fokus ke nama kedua dalam daftar ini, Orang Besar Cempa. Tidak banyak yang diketahui dari sosok ini, termasuk siapa nama aslinya. Kronik resmi Dinasti Melaka, Sulalatus Salatin atau Sejarah Melayu,hanya memberikan informasi yang sangat singkat tentang pengangkatannya sebagai laksamana yang menggantikan Hang Nadim:

Bermula Laksamana Hang Nadim pun telah hilang, peranakan orang besar Cempa pula dijadikan Laksamana, dan cicit Laksamana Hang Nadim bernama Tun Isap digelar Maharaja Diraja, ayah Tun Muhammad dan Tun Kuri” (Ahmad, 1979: 310).

Penulis berpendapat bahwa Hang Nadim wafat pada tahun 1551, dalam sebuah pertempuran laut melawan armada Portugis di Melaka. Kemungkinan besar, ia adalah “laksamana Johor yang telah berpengalaman melawan Portugis selama berpuluh-puluh tahun” yang tewas terkena tembakan meriam dari laksamana Portugis, Dom Garcia de Menezes, yang juga menenggelamkan kapal laksamana Johor tersebut. Kematian sang laksamana melemahkan moral pasukan Johor, meskipun mereka sendiri kemudian berhasil membalasnya dengan membunuh De Menezes dan sebagian pasukannya. Saat itu, Johor sedang mengepung Melaka bersama sekutu mereka dari Pahang, Perak, Beruas, dan Kalinyamat (Jepara) (Nordin, 2021: 118; Danvers, 1894: 494-495). Setelah kematian Hang Nadim inilah, sultan Johor menobatkan Orang Besar Cempa sebagai laksamana baru yang menggantikan kedudukannya.

Pengangkatan seorang keturunan Cham sebagai laksamana di kerajaan Melayu jelas menunjukkan kedekatan hubungan di antara kedua suku bangsa serumpun tersebut. Cham dan Melayu sama-sama Austronesia, terlebih negara mereka (Champa dan Johor) juga sedang bermesraan dalam sebuah aliansi. Selain itu, terdapat suatu diaspora orang Cham yang tampaknya cukup signifikan di Johor. Sulalatus Salatin mengisahkan asal-usul diaspora ini. Mereka berawal dari kedatangan rombongan pengungsi di bawah dua orang pangeran Champa beragama Hindu, yaitu Syah Indera Berma dan Syah Pau Ling. Mereka mengungsi karena negara mereka diinvasi dan diduduki oleh penguasa Kuci (Dai Viet). Ini terjadi pada tahun 1471. Masing-masing pangeran Champa dan rombongannya mengungsi ke Melaka dan Aceh. Rombongan Syah Indera Berma-lah yang pergi ke Melaka dan diterima dengan terbuka oleh sultannya. Kemudian, Indera Berma dan istrinya, Kenia Mesra, memeluk Islam dan diangkat menjadi menteri. Sulalatus Salatin menutup kisah ini dengan:

 “Dan mereka itulah asal segala Cempa di Melaka, asal berasal daripada anak cucu Syah Indera Berma. Wallahu a’lamu bis-sawab, wa ilaihil-marji’u wal-ma’ab.” (Ahmad, 1979: 165).

Maka, setidak-tidaknya Orang Besar Cempa yang diangkat menjadi laksamana Johor adalah salah seorang anggota diaspora Cham yang tinggal di kerajaan Dinasti Melaka (Melaka pra-Portugis dan Johor), bahkan mungkin salah satu anak keturunan dari Syah Indera Berma itu sendiri. Ia mulai mengemban jabatan laksamana pada tahun 1551, sampai kemudian digantikan oleh Tun Abdul Jamil yang namanya mulai muncul sebagai laksamana setidak-tidaknya sejak tahun 1618 (Wijaya & Saputra, 2003: 44). Artinya, Orang Besar Cempa menjadi laksamana Johor selama kurang lebih 67 tahun (1551-1618), suatu masa pengabdian yang panjang. Jika demikian pula, maka mestinya dialah sosok “Laksamana” asal Johor yang memimpin pemberontakan Melayu-Cham di Kamboja pada tahun 1599. Mari kita tengok perannya ini.

Baca Juga: Perang Tiga Segi (1511-1641): Gejolak konflik Aceh-Portugis-Johor – Tinta Emas

Po Rat dan Laksamana Menduduki Kamboja

Menurut Sotheavin (2016: 90), pemantik yang memulai pemberontakan adalah perundungan terhadap seorang Spanyol, Luis Ortiz. Ia dianiaya oleh orang-orang Melayu dan Cham yang dikepalai oleh Po Rat dan Laksamana. Penganiayaan ini memancing kawan-kawan Ortiz untuk membelanya dengan membalas menyerang perkampungan orang-orang Melayu dan Cham di Tbong Khmum dan Kampong Cham, dua wilayah yang saling berhadapan dan sama-sama terletak di tepi Sungai Mekong. Kedua perkampungan ini berada di timur Longvek, ibukota Kamboja saat itu yang terletak di tepi Sungai Tonle Sap, tak jauh dari tempurannya dengan Sungai Mekong.

Serangan orang-orang Spanyol-Portugis terhadap permukiman Melayu-Cham adalah sesuatu yang telah ditunggu-tunggu oleh Po Rat dan Laksamana. Serangan ini menjadi casus belli atau “alasan perang” bagi orang-orang Melayu dan Cham. Mereka pun segera menghadapi orang-orang Iberia itu, yang dipimpin oleh Diogo Veloso. Orang-orang Iberia kalah dan dibantai. Bentrokan berdarah telah pecah. Konflik dengan cepat menjalar ke seantero Kerajaan Kamboja. Setelah berhasil menyingkirkan musuh-musuh Iberia mereka, orang-orang Austronesia bergerak ke selatan dan menduduki kota strategis Phnom Penh yang terletak tepat di tempuran sungai Mekong-Tonle Sap. Dari sini, mereka menyusuri aliran Tonle Sap ke barat laut menuju istana raja di Longvek. Mereka mengepung dan merebut istana itu, lalu membunuh raja boneka Uni Iberia, Barom Reachea II. Po Rat dan Laksamana mengangkat diri mereka sebagai penguasa baru Kamboja (Sotheavin, 2016: 90).

Setelah itu, selama sebagian besar tahun 1599, Kamboja diduduki oleh orang-orang Melayu-Cham yang disokong oleh otoritas Johor dan Champa. Kemudahan mereka untuk merebut istana dan titik-titik penting lainnya didukung oleh kedudukan yang dipegang oleh sebagian dari mereka, yaitu pengawal-pengawal istana. Menurut Reid (2004: 48-49), orang-orang Melayu dan Cham telah membangun basis di kalangan pengawal istana Kamboja sejak sebelum terjadinya intervensi Spanyol-Portugis dan pasca serangan Siam, atau antara 1593-1598. Selama menduduki Kamboja, orang-orang Melayu-Cham mengendalikan jalur perdagangan yang melalui aliran-aliran sungai Mekong dan Tonle Sap, khususnya Mekong yang menjadi lokasi dari basis pertahanan mereka, Tbong Khmum dan Kampong Cham. Kota-kota utama juga telah diduduki, yaitu Longvek dan Phnom Penh. Kekuasaan dan pengaruh Uni Iberia atas Kamboja segera dibersihkan.

Kembalinya Kekuasaan Khmer

Namun, huru-hara tetap berlangsung hingga tahun berikutnya. Po Rat dan Laksamana tak dapat mengendalikan Kamboja sepenuhnya. Perlawanan bermunculan dari orang-orang Khmer yang mayoritas beragama Buddha. Mereka menentang kepemimpinan orang-orang Muslim (Melayu-Cham) ataupun Kristen (Spanyol-Portugis). Dua perlawanan terpenting pecah di kota-kota utama, Longvek dan Phnom Penh. Kira-kira pada akhir tahun 1599, Ibukota dan istana di Longvek direbut oleh gerakan perlawanan yang dipimpin oleh keponakan Barom Reachea II, yaitu Cau Bana An. Pangeran Khmer ini segera menduduki takhta dan mengangkat dirinya sebagai raja bergelar Barom Reachea III. Sementara itu, Phnom Penh diduduki oleh suatu gerakan lain yang juga dipimpin oleh seorang pemimpin kharismatik, Kaev Brah Phloen (Sotheavin, 2016: 91).

Kedua pemimpin Khmer itu segera berkonflik. Namun, Barom Reachea III tetap memprioritaskan untuk menghabisi orang-orang Melayu dan Cham yang telah membunuh pamannya. Dari Longvek, pasukannya menggempur Tbong Khmum dan Kampong Cham. Kedua tempat itu dapat dijebol dan direbut kembali oleh raja baru tersebut. Kaum pemberontak ditumpas, dan Laksamana Johor melarikan diri ke Champa bersama sisa pengikutnya. Namun, di tanah sekutunya ini sang laksamana malah berkonflik dengan penguasanya.

Nasib Laksamana Johor

Laksamana Johor menuduh raja Champa, Po Klong Halau (1579-1603), sebagai seorang usurper yang merebut takhta dengan tidak sah. Antonio de Morga (1868: 222) mengklaim bahwa sang laksamana sejatinya memang datang ke Champa dengan niat merusak dan memerangi rajanya, agar ia dapat mengangkat diri sebagai raja atas sebagian atau seluruh kerajaan tersebut. Upaya sang laksamana gagal. Bersama pengikutnya, ia dikejar dan dibunuh oleh raja Champa antara tahun 1599-1600.

Namun, De Morga adalah seorang prajurit dan pejabat kolonial Spanyol yang bertugas di Filipina pada 1594-1604, yaitu periode yang bersinggungan dengan perebutan hegemoni atas Kamboja. Besar kemungkinan bahwa laporannya tentang hubungan laksamana Johor dengan raja Champa mengandung bias yang sengaja dituliskan demikian dengan kepentingan untuk memecah-belah dan melemahkan aliansi Johor-Champa. Walau demikian, tetap tidak menutup kemungkinan jika memang terjadi konflik antara laksamana Johor yang mengungsi dari Kamboja dengan raja Champa yang menjadi sekutunya, meski tingkat permusuhan yang sebenarnya mestinya tidak seintens laporan De Morga. Jika sosok Laksamana Johor di sini memang sama dengan Orang Besar Cempa dari Sulalatus Salatin, yang berarti bahwa ia berdarah Cham dan masih keturunan Syah Indera Berma (seorang pangeran), maka menjadi logis bila ia juga merasa memiliki hak atas takhta Kerajaan Champa.

Namun, sang laksamana gagal dalam upayanya. Nasibnya kemudian tidak jelas. De Morga memang mengklaim bahwa ia “dikejar dan dibunuh”, namun mengingat kuatnya bias dari penulis tersebut, kita mungkin bisa mempertimbangkan kemungkinan nasib lainnya. Jika ia wafat di Champa pada tahun 1599-1600, siapa laksamana yang menggantikannya? Apakah kabar kematiannya mencapai sultan Johor? Jika De Morga memang dapat dipercaya, apakah kematian sang laksamana menyebabkan rusaknya hubungan aliansi Johor-Champa? Ataukah mereka tetap mempertahankan aliansi itu? Untuk pertanyaan terakhir, kita bisa menjawab dengan pasti bahwa aliansi Johor-Champa tetap erat dan kokoh hingga pasca tahun 1600. Orang Belanda masih menyaksikan hubungan persahabatan yang sangat dekat antara Johor dan Champa pada tahun 1607 (Reid, 2004: 45).

Jika ia tidak wafat di Champa, apakah sang laksamana kembali ke Johor dan menghabiskan sisa hidupnya di sana sebagai abdi sultan? Apakah ini berarti ia memang mengabdi selama 67 tahun? Apakah ia laksamana yang mendampingi Sultan Alauddin Riayat Syah III dari Johor dalam ekspedisi-ekspedisi gabungannya dengan VOC untuk menghadapi Portugis di Selat Melaka? Apakah ia juga laksamana yang menghadapi invasi-invasi yang dilancarkan oleh Sultan Iskandar Muda dari Aceh terhadap ibukota Johor dan daerah-daerah jajahannya? Apakah ia sempat mendampingi sultan Johor dalam pemerintahan pelariannya di Kepulauan Riau untuk menentang Aceh, sebelum digantikan oleh Laksamana Tun Abdul Jamil? Begitu banyak pertanyaan seputar sosok Orang Besar Cempa ini. Kita mungkin belum bisa menjawabnya saat ini karena minimnya data. Jadi, biarkanlah dahulu pertanyaan-pertanyaan itu. Kita tinggalkan nasib akhir dari sang laksamana yang belum pasti itu.

Akhir Huru-Hara di Kamboja

Setelah berhasil mengusir Laksamana dan menumpas pemberontakan orang-orang Melayu-Cham, Barom Reachea III segera menghadapi Kaev Brah Phloen di Phnom Penh. Namun, sang raja ternyata merasa tidak cukup kuat. Ia pun mencari sekutu. Ternyata, ia meminta bantuan kepada Spanyol dan Portugis di Manila dan Melaka. Dengan kata lain, ia mengikuti jejak pamannya yang bertindak sebagai raja vasal Uni Iberia. Dengan bantuan orang-orang Iberia itu, Barom Reachea III menggempur kedudukan Kaev di Phnom Penh. Ternyata, ia gagal. Kegagalannya, ditambah dengan hubungannya dengan orang-orang Iberia, segera mengurangi dukungan terhadapnya. Kepemimpinannya semakin tidak populer, karena ia kini memosisikan dirinya sebagai bawahan Uni Iberia.

Sebaliknya, Kaev semakin mendapatkan banyak dukungan. Telah dijelaskan bagaimana orang-orang Khmer yang mayoritas Buddha menentang kepemimpinan Muslim (Melayu-Cham) ataupun Kristen (Spanyol-Portugis). Mereka jelas telah lelah dan muak dengan huru-hara berkepanjangan yang membuat negara mereka dipermainkan oleh pemain-pemain luar yang saling bermusuhan tersebut. Dari Phnom Penh, Kaev dan pendukungnya menggempur Longvek dan berhasil menjatuhkan Barom Reachea III. Namun, belum sampai satu tahun, Kaev sendiri juga menjadi tidak populer dan akhirnya dijatuhkan oleh seorang pretender atau pengklaim takhta lain, Cau Bana Nom atau Brah Kaev Hva (Sotheavin, 2016: 91).

Setelah itu, Kamboja tetap tidak akan pulih dari huru-hara internal, sampai Raja Naresuan dari Siam kembali datang mengintervensi pada 1602-1603. Naresuan menempatkan seorang raja baru yang sebelumnya telah dididik di Ayutthaya, lalu mengawasi kekuasaannya. Sejak saat itu, barulah Kamboja mulai pulih dan tertib kembali (Reid, 2004: 49). Lalu, bagaimana dengan Johor-Champa ataupun Uni Iberia? Setelah beberapa kali berupaya menanamkan hegemoni dengan hasil yang kurang memuaskan, kedua kubu yang saling bermusuhan itu akhirnya berangsur-angsur menjauhi Kamboja. Keduanya memfokuskan kembali perselisihan mereka di kawasan Selat Melaka. Kawasan ini akan tetap menjadi medan laga utama Perang Tiga Segi sampai konflik panjang itu berakhir pada tahun 1641.

DAFTAR PUSTAKA

A. Samad Ahmad, Sulalatus Salatin, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1979.

Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 2004.

___________, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 1: Tanah di Bawah Angin, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014.

Antonio de Morga, The Philippine Islands, Moluccas, Siam, Cambodia, Japan, and China, at the Close of the Sixteenth Century, London: The Hakluyt Society, 1868.

Arif Wijaya dan Syahrial De Saputra, Ulu Riau: Pelabuhan Bersejarah di Pulau Biram Dewa, Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2003.

Erlangga Ibrahim dan Syahrizal Budi Putranto, Champa: Kerajaan Kuno di Vietnam, Jakarta: Batara Media, 2016.

Frederick Charles Danvers, The Portuguese in India Being A History of The Rise and Decline of Their Eastern Empire, Vol. I, London: W. H. Allen & Co. Limited, 1894.

Mardiana Nordin, “Pengukuhan Kuasa Melayu: Perkembangan Politik dan Pentadbiran Kesultanan Johor sehingga Abad ke-18”, Jebat, Vol. 48, No. 2, 2021.

Nhim Sotheavin, “Factors that Led to the Change of the Khmer Capitals from the 15th to 17th century”, dalam Yumiko Asahi, dkk., カンボジアの文化復興 (29), Tokyo: Sophia Asia Center for Research and Human Development, 2016.

Paulo Jorge de Sousa Pinto, The Portuguese and the Straits of Melaka, 1575-1619, Singapura: NUS Press, 2012.


Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Dari Penulis

Perdana Menteri Nepal K. P. Sharma Oli Mundur Usai Protes Anti Korupsi Memanas

Sekilas Tentang Manuskrip Melayu ‘Adat Aceh’, Panduan Tata Negara Abad ke-17 dari Sebuah Kesultanan Besar

Tinggalkan Balasan