Penaklukan Muslim atas Armenia dan Pengaruhnya: Dari Khalifah Rasyidin hingga Kebangkitan Ani dan Vaspurakan

Penaklukan Muslim atas Armenia bermula pada 639–642 lewat razia dan kampanye Habīb ibn Maslama, lalu disegel dengan ṣulḥ di Dvin dan Tiflis yang menjamin jiwa, harta, gereja, biara, tembok kota, serta menetapkan jizyah, kharāj, dan aturan “satu dinar per rumah”. Derbent dijadikan sebagai “pintu” utara sejak 22 H/642. Kemudian pada 661 di bawah Muʿāwiyah, wilayah dipadatkan menjadi provinsi Arminiya berpusat di Dvin di bawah ostikan, lalu pada masa ʿAbd al-Malik kendali diperketat melalui kampanye Muhammad ibn Marwān, hingga perang melawan Khazar. Pada era Abbasiyah pajak berat memicu pemberontakan Bagrevand 774–775 dan penertiban oleh Bugha al-Kabīr, yang justru mempercepat konsolidasi Bagratuni dan Artsruni hingga Ashot I dinobatkan (885–886) dan Ashot III pada 960-an memahkotai Ani, menandai perubahan “bahasa frontier” piagam kota menjadi “bahasa kerajaan” yang menata Armenia.

penaklukan Muslim atas Armenia
Pasukan Arab (Gambar: Wikimedia Commons)

Armenia sebagai simpul strategis

Armenia memasuki paruh abad ketujuh sebagai dataran tinggi strategis yang berfungsi sebagai simpul (buhul) di antara dua kekuatan tua, yaitu Bizantium dan Persia Sasaniyah, tepat pada saat kekuatan baru bangkit dari selatan. Dalam sumber-sumber Arab, wilayah ini lazim disebut “Arminiya” (أرمينية), sedangkan tradisi Armenia memakainya sebagai payung bagi tanah-tanah pegunungan, kota-kota katedral, dan jejaring bangsawan setempat. Di garis depan perbatasan mengalir sungai-sungai yang menuruni lereng Kaukasus, sementara di jantungnya berdiri kota-kota kunci seperti Dvin (Դուին; دبيل/دوين) dan Theodosiopolis/Erzurum (sekarang kota di Turki modern) yang dalam tradisi Arab dikenal sebagai Qālīqalā (قاليقلا), serta gerbang utara Derbent/Bab al-Abwab (Դերբենդ; الدربند/باب الأبواب). Letak seperti ini menjadikan Armenia bukan sekadar “tanah di antara”, melainkan engsel militer yang ikut menentukan nasib Syam, Mesopotamia Hulu/al-Jazīrah (الجزيرة الفراتية), dan Azerbaijan yang baru saja ditaklukkan kaum Muslim. Motivasi ekspansi Muslim ke Armenia jelas, yaitu menguasai pegunungan Kaukasus untuk menutup “perisai” Bizantium dari sisi utara Syam, menekan kekuatan yang berulang kali membantu menghadang kaum Muslim di Yarmuk dan di front Persia, serta menyiapkan pijakan untuk menyusup lebih dalam ke wilayah Romawi Timur. Singkatnya, langkah ini mengamankan garis belakang sendiri sekaligus membuka koridor menuju jantung lawan.

Dalam konteks ṣulḥ (صلح), yaitu akta damai ketika sebuah kota memilih menyerah, isi perjanjiannya merumuskan jaminan atas jiwa, harta, dan rumah ibadah penduduk, dengan imbalan jizyah (جزية; pajak kepala non-Muslim) dan kharāj (خراج; pajak tanah). Terdapat pula kewajiban terbatas, misalnya menunjukkan jalan dan menjamu musafir Muslim “dengan yang halal bagi Ahlul Kitab” untuk satu malam. Dalam tradisi Armenia, struktur sosial bertumpu pada para nakharar (նախարար; bangsawan-bangsawan pewaris tanah) dan jabatan militer tertinggi bernama sparapet (սպարապետ; panglima umum) yang secara praktis menjadi poros pertahanan, politik, dan diplomasi. Kedua istilah ini penting untuk memahami mengapa aliansi lokal dapat cepat berayun antara Bizantium dan Arab. Satu istilah geostrategis yang tak boleh luput ialah Bāb al-Abwāb (باب الأبواب; “Pintu Gerbang” atau Derbent), yakni “selat darat” dalam seni perang Kaukasus yang berfungsi menahan atau menerobos serbuan bangsa-bangsa padang rumput seperti Khazar.

Baca Juga:Natalie Paley: Putri Romanov yang Lolos dari Revolusi Bolshevik dan Menjadi Artis Model – Tinta Emas

Kampanye Habīb ibn Maslama, jatuhnya Qālīqalā dan Dvin, penyerahan Tiflis, hingga lahirnya Arminiya

Awal serangan dan razia Arab (uji medan) berlangsung pada 639/640, kemudian berlanjut ke fase kampanye besar di bawah komando Habīb ibn Maslama al-Fihrī atas perintah Muʿāwiyah ketika masih menjabat gubernur Syam. Tahap ini menghasilkan jatuhnya kota-kota kunci seperti Qālīqalā dan Dvin, disertai penyerahan Tiflis di utara. Secara garis besar, rentang “penaklukan” ditempatkan pada 639–661, yaitu sejak razia awal hingga pemantapan kendali setelah Muʿāwiyah menjadi khalifah dan kembali menuntut upeti. Ujung dari proses tersebut dipaparkan sebagai kemenangan pihak Muslim dan terbentuknya “Emirat Armenia”, secara administratif dikenal sebagai “Arminiya”, yakni satuan provinsi kekhalifahan di Kaukasus yang menaungi Armenia, Iberia/Kartli (Georgia), dan Albania Kaukasia/Arrān hingga Derbent. Sesudah 661, struktur ini berubah dari sekadar hubungan upeti menjadi kerangka pemerintahan perbatasan dengan pajak yang relatif terstandar, jaminan bagi gereja dan biara, serta kewajiban militer yang dinegosiasikan bersama para nakharar.

Tradisi Armenia memberikan sudut pandang lain atas dasawarsa 640-an. Disebutkan bahwa serangan pada 642 menimbulkan guncangan besar di Dvin, dengan laporan korban mencapai dua belas ribu jiwa dan tawanan sekitar tiga puluh lima ribu orang, sementara upaya masuk dari arah Azerbaijan pada 643 berhasil dipatahkan oleh Theodore Rshtuni, tokoh yang kemudian diakui Bizantium sebagai pemimpin Armenia. Rangkaian kejadian ini menunjukkan bahwa pada 640-an Armenia belum sepenuhnya ditundukkan secara permanen, melainkan mengalami siklus berulang antara razia, perlawanan, penawanan, dan tebusan. Narasi tersebut tidak menolak adanya ṣulḥ (صلح), justru menjelaskan mengapa ṣulḥ dengan jaminan atas gereja, biara, dan tembok kota menjadi krusial sebagai “rem penyelamat” yang menstabilkan kota-kota yang memilih menyerah secara damai. Pada 652, ketika ancaman kampanye baru menguat, Rshtuni berbalik dari Bizantium dan mengakui kedaulatan khalifah. Tradisi Armenia Barat merinci butir-butir yang membuat kompromi itu dianggap menguntungkan, yaitu pengakuan atas khalifah, pembebasan upeti selama dua hingga tujuh tahun sebelum beralih ke “pajak ringan”, otonomi internal, kesediaan memelihara kavaleri 15.000 orang atas biaya sendiri untuk membantu ekspedisi Arab, perlindungan dari Bizantium, serta ketiadaan garnisun atau pejabat Arab yang bermukim tetap di Armenia. Dari kacamata lokal, piagam damai Arab memberi kepastian bagi Gereja Armenia yang hubungannya dengan kekaisaran Bizantium retak di sekitar persoalan Kalkedon, sekaligus menghindarkan kerugian akibat perang berkepanjangan.

penaklukan Muslim atas Armenia
Pasukan Persia bersama kaum Muslim saat mereka tiba di kota Derbent (Bab al-Abwab). Gambar: Wikimedia Commons

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

هذا ما أعطى سُراقة بن عمرو عامل أمير المُؤمنين عُمر بن الخطَّاب شهربراز وسكان أرمينية والأرمن من الأمان، أعطاهم أمانًا لِأنفسهم وأموالهم ومِلَّتهم، ألَّا يُضاروا ولا يُنتقضوا. وعلى أهل أرمينية والأبواب الطُرَّاء منهم والتُنَّاء ومن حولهم فدخل معهم أن ينفروا لِكُلِّ غارةٍ وينفذوا لِكُلَّ أمرٍ ناب أو لم ينب رآه الوالي صلاحًا على أن تُوضع الجزاء عمَّن أجاب إلى ذلك إلَّا الحشر والحشر عوض من جزائهم ومن استغنى عنه منهم وقعد فعليه مثل ما على أهل أذربيجان من الجزاء والدَّلالة والنُّزل يومًا كاملًا، فإن حُشروا وُضع ذلك عنهم وإن تركوا أُخذوا به.
شهد عبد الرحمٰن بن ربيعة وسلمان بن ربيعة وبُكير بن عبد الله وكتب مُرضي بن مُقرن وشهد.

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

“Inilah yang diberikan oleh Suraqah bin Amr, pejabat wakil Amīr al-Mu’minīn Umar bin al-Khattab, kepada Shahrbarāz serta penduduk Armenia dan orang-orang Armenia berupa jaminan keamanan. Ia memberi mereka keamanan atas diri, harta, dan agama mereka, bahwa mereka tidak akan disakiti dan perjanjian mereka tidak akan dilanggar.

Atas penduduk Armenia dan al-Abwāb, baik pendatang baru maupun yang sudah lama menetap, serta orang-orang di sekitar mereka yang masuk bersama mereka dalam perjanjian, diwajibkan untuk berangkat setiap kali terjadi serangan dan melaksanakan setiap urusan, entah diperkirakan sebelumnya atau tidak, yang dipandang baik oleh wali (gubernur). Dengan ketentuan bahwa beban pajak (al-jazā’) dihapus bagi siapa yang menyetujui kewajiban ini, kecuali kewajiban mobilisasi umum (al-ḥashr), dan mobilisasi itu menjadi pengganti pajak mereka. Siapa pun di antara mereka yang menolak ikut dan tetap tinggal, maka atasnya berlaku beban yang sama seperti yang dikenakan kepada penduduk Azerbaijan, yaitu pajak, kewajiban menjadi penunjuk jalan (al-dalālah), dan kewajiban menyediakan jamuan/akomodasi (al-nuzul) selama satu hari penuh. Jika mereka ikut dimobilisasi, kewajiban itu dihapus dari mereka. Jika mereka tidak ikut, kewajiban itu diberlakukan atas mereka.

Disaksikan oleh ‘Abd al-Raḥmān bin Rabī‘ah, Salmān bin Rabī‘ah, dan Bukayr bin ‘Abd Allāh. Ditulis oleh Marḍī bin Muqarrin, dan ia juga menjadi saksi.

Ṣulḥ sebagai fondasi ketertiban

Dari sisi Arab, formula bahasa dalam dokumen ṣulḥ menunjukkan kepedulian nyata pada keteraturan sipil. Piagam Dvin yang dinisbatkan kepada Habīb ibn Maslama dibuka dengan jaminan yang menyebut “jiwa, harta, gereja, biara, dan tembok kota” sebagai objek perlindungan. Frasa ringkas yang sering dikutip menegaskan bahwa warga “aman… selama menunaikan jizyah dan kharāj.” Untuk Tiflis, rincian fiskal ditekankan lebih tegas: satu dinar per rumah tangga, larangan menggabungkan atau memecah unit rumah demi memanipulasi beban pajak, kewajiban ringan untuk menunjukkan jalan dan menjamu musafir semalam “dengan yang halal bagi Ahlul Kitab,” serta klausul penting bahwa ketika kaum Muslim tengah tersibukkan urusan lain hingga tak dapat memberi perlindungan, akad damai tetap berlaku selama warga loyal. Corak seperti ini merupakan ciri piagam awal penaklukan: hak keagamaan dan hak atas properti dibarengi tata pajak yang jelas, sementara hubungan timbal balik antara warga dan militer dibatasi oleh kewajiban yang terukur.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

هذا ما أعطى بُكير بن عبد الله أهل مُوقان من جبال القبج الأمان على أموالهم وأنفسهم ومِلَّتهم وشرائعهم على الجِزاء دينارٌ عن كُلِّ حالمٍ أو قيمته، والنُّصح ودلالة المُسلم ونُزُله يومه وليلته، فلهم الأمان ما أوفروا ونصحُوا، وعلينا الوفاء والله المُستعان، فإن تركوا ذلك واستبان منهم غشٌ فلا أمان لهم إلَّا أن يُسلِّموا الغششة بِرُمَّتهم وإلَّا فهم متمالؤن.
شهد الشمَّاخ بن ضرار والرسارس بن جنادب وحملة بن جوية، وكُتب سنة إحدى وعشرين.

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.


“Inilah jaminan keamanan yang diberikan oleh Bukayr bin ‘Abd Allāh kepada penduduk Mūqān dari Pegunungan al-Qabj, berupa perlindungan atas harta, jiwa, agama, dan syariat mereka, dengan imbalan jizyah (الجزاء) sebesar satu dinar atas setiap orang yang telah baligh atau senilai itu, serta kewajiban memberi nasihat setia, menjadi penunjuk jalan bagi seorang Muslim, dan menjamunya selama satu hari satu malam. Mereka berhak atas keamanan selama mereka memenuhi kewajiban itu dan bersikap setia, dan kami berkewajiban menepati perjanjian. Allah-lah tempat memohon pertolongan. Jika mereka meninggalkan kewajiban tersebut dan terbukti melakukan kecurangan, maka tidak ada keamanan bagi mereka kecuali jika mereka menyerahkan seluruh pelaku kecurangan. Jika tidak, mereka dianggap bersekongkol.

Disaksikan oleh al-Shammākh bin Ḍirār, al-Rasāris bin Janādib, dan Ḥamla bin Juwayya. Ditulis pada tahun 21 H.

Derbent sebagai kunci frontier: ṣulḥ Suraqah 22 H/642 M, rute Kaspia, dan kebijakan perbatasan Umayyah

Konteks geopolitik Kaukasus menjadikan “gerbang” Derbent, yang oleh sumber Arab disebut Bāb al-Abwāb (باب الأبواب), sebagai kunci pergerakan. Pada 22 H/642 M, Suraqah ibn ‘Amr membuka kota-gerbang ini melalui ṣulḥ yang hati-hati, memilih rute pesisir Kaspia untuk menghindari medan tersulit, dan menempatkan Derbent sebagai pangkalan muka bagi ekspedisi ke Balanjar dan wilayah Khazar. Tradisi bahkan merekam bait syair Suraqah untuk menandai momen itu, antara lain baris pendek yang menyebut “Bāb al-Turk, rumah berpintu-pintu.” Setelah pembukaan, para komandan disebar: ada yang menuju Mūqān, ada yang ke Tiflis, ada yang ke pegunungan Alan, dan ada pula yang menembus lebih jauh ke wilayah Khazar. Namun sikap kehati-hatian Khalifah ʿUmar tetap ditekankan, sebab kekuatan belum cukup untuk menempel terlalu jauh, sehingga banyak operasi awal berbentuk penjelajahan, penghukuman terbatas, dan diplomasi ṣulḥ. Pola ini kemudian menjadi cetak biru kebijakan perbatasan pada masa Umayyah, yaitu menggandakan fungsi Derbent sebagai “penyumbat” di utara sekaligus menyediakan ruang tawar bagi komunitas pegunungan agar tenaga tempur mereka dapat dimobilisasi ketika ancaman datang.

ومن يكُ سائلًا عنّي فإنّي

بِأرضٍ لا يؤاتيها القرارُ

بِبابِ التُّركِ ذي الأبوابِ دارُ

لها في كُلِّ ناحيةٍ مغارُ

نذوذُ جُمُوعهم عمَّا حوينا

ونقتُلهم إذا باح السَّرارُ

سددنا كُلُّ فرجٍ كان فيها

مُكابرةً إذا سطع الغُبارُ

وألحمنا الجبال جبال قبجٍ

نُناهبهم وقد طار الشَّرارُ

على خيلٍ تُعادي كُلَّ يومٍ

عتادًا ليس يتبعها المهارُ

“Siapa pun yang bertanya tentang diriku, ketahuilah
aku berada di negeri yang tak memberi kesempatan untuk menetap.
Di Pintu Orang Turk, di sebuah rumah ber pintu-pintu,
yang memiliki celah serbu di setiap penjuru.
Kami menangkis gerombolan mereka dari apa yang kami kuasai,
dan kami menewaskan mereka ketika rahasia mereka tersingkap.
Kami menutup setiap celah yang ada padanya,
berdiri tegar saat debu pertempuran membubung.
Kami merapatkan celah-celah di Pegunungan Qabq (Kaukasus),
kami merampas mereka sementara bunga api beterbangan.
Di atas kuda yang melaju setiap hari,
dengan perlengkapan yang tak sanggup diikuti anak kuda.”

Titik balik 661: dari suzerenitas ke provinsi Arminiya berostikan

Kenaikan Muʿāwiyah ke tampuk kekhalifahan pada 661 menjadi titik acuan yang menyatukan perbedaan versi kronologi. Narasi Arab sering menampilkan suzerenitas de facto sejak kota-kota kunci menerima ṣulḥ pada 645/646, sedangkan rekonstruksi sejarawan modern yang menimbang kronik Armenia (misalnya Uskup Sebeos) dan Yunani (Theophanes) menilai bahwa penegasan kendali dan penarikan upeti yang ajek baru benar-benar berlangsung setelah 661. Sejak titik ini pula “Arminiya” dipahami seperti dalam pembahasan ini, yaitu satuan administratif yang meliputi Armenia, Iberia/Kartli, dan Arrān (Albania Kaukasia) hingga Derbent, berpusat di Dvin, serta dikelola oleh gubernur-gubernur (ostikan) yang menyeimbangkan kepentingan fiskal pusat dengan otonomi adat para nakharar. Realitas frontier menuntut kompromi yang lentur. Ketika ancaman Khazar memuncak, beban pajak dapat terasa berat dan memicu gejolak. Saat kampanye besar ke utara menelan biaya, emir atau gubernur menuntut kontribusi tambahan. Namun jangkar yang menahan semuanya tetap berupa piagam-piagam ṣulḥ yang melindungi gereja dan biara, sekaligus menandai status warga dhimmi dengan pola yang dalam praktiknya lebih mudah dinegosiasikan dibandingkan tuntutan teologis Bizantium.

Perkiraan batas wilayah Armenia sebelum dan selama penaklukan Muslim atas Armenia (Gambar: Wikimedia Commons)

Latar strategis 639–640 dan motif penaklukan

Menjelang 639, Armenia berdiri sebagai sabuk pegunungan yang baru lepas dari gemuruh perang Bizantium dan Sasaniyah, dengan struktur sosial yang bertumpu pada para nakharar (նախարար) serta jabatan militer tertinggi sparapet (սպարապետ). Dalam konfigurasi ini, Bizantium mengakui Theodore Rshtuni sebagai pemimpin Armenia yang “pro-Romawi” setelah kedua bagian Armenia yang sebelumnya berada di orbit Bizantium dan Sasani disatukan kembali di bawah kendali kekaisaran. Penyatuan itu terjadi tepat sebelum arus ekspedisi Arab berubah menjadi kampanye, sehingga seluruh dataran tinggi berada dalam keadaan rapuh. Elite lokal masih menata kewenangan, Bizantium kelelahan, dan perbatasan timur laut dunia Islam berdiri di atas negeri-negeri yang baru saja ditaklukkan. Kerangka ini khas pada 639/640 ketika upaya penaklukan pertama Arab memasuki Armenia. Motif strategisnya jelas, yaitu karena letak Armenia di tepi al-Jazīrah atau Mesopotamia Hulu, Syam atau Levant, dan Azerbaijan, sekaligus posisinya sebagai “perisai” Bizantium yang berpotensi menekan balik ke Suriah dan Anatolia timur jika dibiarkan. Dalam redaksi artikel Arab, alasan tersebut diringkas sebagai keterkaitan penaklukan Armenia dengan pengamanan al-Jazīrah, Syam utara, dan Azerbaijan, mengingat pentingnya Armenia sebagai negeri tapal batas yang berhadapan langsung dengan kekuatan Bizantium.

Arus peristiwa 639–646 dapat dipahami sebagai eskalasi yang berlangsung tahap demi tahap. Mula-mula, ekspedisi dari arah Mesopotamia Hulu yang dalam tradisi dikaitkan dengan Iyād ibn Ghanm bergerak melalui Bitlis dan jalur menuju Danau Van; untuk tahun 642 bahkan disebut terbagi ke dalam empat kolom, sebuah pola yang mencerminkan percobaan penjepitan di medan pegunungan yang berat. Sesudah fase uji ini, kampanye yang lebih sistematis datang dari barat daya di bawah koordinasi Muʿāwiyah selaku gubernur Syam, dengan penugasan kepada Habīb ibn Maslama al-Fihrī. Rangkaian operasi Habīb penting karena menandai jatuhnya Theodosiopolis/Erzurum yang oleh tradisi Arab disebut Qālīqalā (قاليقلا), lalu bergerak mengitari gelang Van dan mendorong pilihan ʿahd (ṣulḥ/صلح) pada kota-kota seperti Akhlat, Moks, dan Erciş, sebelum berujung pada tekanan terhadap Dvin yang menyerah setelah pengepungan singkat. Di utara, Tiflis menempuh jalur damai serupa. Semua ini bersinggungan dengan kerapnya serangan dan sergapan balasan Bizantium–Armenia sepanjang 640-an, sekaligus menunjukkan bagaimana keberhasilan Habīb mengokohkan “suzerenitas” de facto melalui piagam-piagam damai. Kedua cara baca tersebut tidak saling meniadakan, melainkan menekankan sisi berbeda dari momen yang sama.

بسم الله الرحمن الرحيم

هذا كتابٌ من حبيب بن مسلمة لِنصارى أهل دُبيل ومجوسها ويهودها شاهدُهُم وغائبهُم. إنِّي أمَّنتُكُم على أنفُسكم وأموالُكم وكنائسكم وبيعكم وسور مدينتكم فأنتم آمنون، وعلينا الوفاء لكم بِالعهد ما وفيتم وأدَّيتم الجزية والخِراج،

شهد الله ﴿وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا﴾،

وختم حبيب بن مسلمة.

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

“Ini adalah piagam dari Ḥabīb bin Maslama untuk kaum Nasrani penduduk Dabil, juga untuk kaum Majusi dan Yahudinya, baik yang hadir maupun yang tidak hadir. Aku telah memberimu jaminan keamanan atas diri kalian, harta kalian, gereja-gereja kalian, biara-biara kalian, dan tembok kota kalian; maka kalian berada dalam keamanan. Kami berkewajiban menepati perjanjian kepada kalian selama kalian menepatinya dan menunaikan jizyah (جزية) serta kharāj (خراج).

Allah menjadi saksi — (وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا).

Disegel oleh Ḥabīb bin Maslama.

640-an dalam kacamata Armenia: bencana Dvin, perlawanan Rshtuni, dan ṣulḥ sebagai penstabil

Sumber-sumber lokal Armenia memberi rona yang lebih suram bagi dekade 640-an. Serbuan ke Dvin pada 642 digambarkan sebagai bencana yang menewaskan dua belas ribu jiwa dan menghasilkan tiga puluh lima ribu tawanan; penggambaran ini disandingkan dengan laporan tentang razia 643 dari arah Azerbaijan yang, menurut mereka, berhasil dipukul oleh Theodore Rshtuni. Dari rangkaian itu disimpulkan bahwa pada 640-an Armenia belum tunduk secara permanen: kota-kota silih berganti mengalami serbuan, tebusan, dan serangan balik, sementara di sela-selanya Rshtuni menguatkan posisinya hingga kekaisaran mengakuinya sebagai pemimpin. Penekanan pada besarnya korban dan jumlah tawanan tidak dimaksudkan menolak keberadaan ṣulḥ, melainkan menempatkan ṣulḥ sebagai perangkat penstabil yang dipilih kota-kota ketika daya pertahanan lokal melemah dan proteksi Bizantium dirasakan belum memadai.

Peta yang menggambarkan rute Muslim untuk menaklukkan Transoxiana dan Armenia. (Gambar: Wikimedia Commons).

Piagam Dvin–Tiflis sebagai teknologi pemerintahan: jaminan jiwa–harta, pajak per rumah, dan klausul perlindungan saat pasukan absen

Di tengah spiral konflik itu, piagam-piagam damai awal berfungsi sebagai “teknologi pemerintahan” yang memungkinkan kekuasaan baru masuk tanpa merusak tatanan sipil dan agama. Rangka jaminan yang dinisbatkan kepada Habīb untuk Dvin memuat formula yang telah menjadi pola, yakni keselamatan atas jiwa, harta, gereja, biara, bahkan “tembok kota”, yang mengandung pengakuan implisit bahwa raga kota merupakan nilai bersama, dengan imbalan jizyah (جزية) dan kharāj (خراج) yang dipungut secara adil. Pada Tiflis, matra fiskal ditajamkan sampai unit perumahan, satu dinar per rumah, disertai larangan “menggabung” atau “memecah” rumah tangga demi mengakali beban pajak. Kewajiban warga digambarkan ringan namun simbolik, seperti menunjukkan jalan dan menjamu musafir Muslim satu malam “dengan yang halal bagi Ahlul Kitab”, kalimat yang sengaja menandai penghormatan pada pantang komunitas non-Muslim. Rumus-rumus ini dipasangkan dengan satu klausul yang tidak lazim pada perjanjian zamannya, jika kaum Muslim tengah tersibukkan urusan lain hingga tidak dapat melindungi, kondisi itu tidak membatalkan akad selama warga tetap setia. Secara keseluruhan, piagam-piagam tersebut memperlihatkan bahwa penaklukan dini bukan semata perkara pedang, melainkan seni akomodasi untuk memenangkan kesetiaan kota.

بسم الله الرحمن الرحيم

هذا كتابٌ من حبيب بن مسلمة لِأهل تفليس من أرض الهُرمُز بِالأمان لكم ولِأولادكم وأهاليكم وصوامعكم وبيعكم ودينكم وصلواتكم، على إقرارٍ بِصغار الجزية، على أهل كُلِّ بيتٍ دينارٍ وافٍ، ليس لكم أن تجمعوا بين مُفترق الأهِلات استصغارًا منكم لِلجزية، ولا لنا أن نُفرِّق بين مُجتمعٍ استكثارًا منَّا لِلجزية، ولنا نصيحتكم وضلعُكم على عدوِّ الله ورسوله والذين آمنوا فيما استطعتم وإقراء المُسلم المُجتاز ليلةً بِالمعروف من حلال طعامِ أهل الكتاب، وحلال شرابهم، وإرشاد الطريق على غير ما يُضر بكم، وإن قُطع بِأحد من المُؤمنين عندكم فعليكم أداؤه إلى أدنى فئةٍ من المُؤمنين والمُسلمين، إلَّا أن يُحال دونهم، فإن تُبتُم وأقمتم الصلاة وآتيتم الزكاة، فإخواننا في الدين، ومن تولَّى عن الإيمان والإسلام والجزية، فعدوَّ الله ورسوله والذين آمنوا، والله المُستعان عليه، فإن عُرض لِلمُؤمنين شُغلٌ عنكم، وقهركم عدوَّكم، فغير مأخوذين بِذلك، ولا ناقض ذلك عهدكم، بعد أن تفيئوا إلى المُؤمنين والمُسلمين. هذا عليكم وهذا لكم،

شهد الله وملائكته ورسوله والذين آمنوا ﴿وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا﴾.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Ini adalah piagam dari Ḥabīb bin Maslama untuk penduduk Tiflis dari wilayah al-Hurmuz, berupa jaminan keamanan bagi kalian, anak-anak kalian, keluarga kalian, biara-biara kalian, gereja-gereja kalian, agama dan salat kalian. Piagam ini diberikan atas dasar pengakuan membayar jizyah (صِغار الجزية), yaitu satu dinar penuh atas setiap rumah (على أهل كل بيت دينار وافٍ). Kalian tidak boleh menggabungkan rumah tangga yang terpisah demi mengecilkan jizyah, dan kami pun tidak boleh memecah satu rumah tangga yang menyatu demi memperbesar jizyah. Kami berhak atas nasihat setia kalian dan keberpihakan kalian terhadap musuh Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman sebatas kemampuan kalian, serta kewajiban menjamu seorang Muslim yang melintas selama satu malam secara pantas dengan makanan dan minuman yang halal menurut Ahlul Kitab. Kalian juga wajib menunjukkan jalan selama hal itu tidak menimbulkan mudarat bagi kalian. Jika ada seorang mukmin yang terpisah dan berada di tengah kalian, kalian wajib mengantarkannya kepada kelompok orang beriman dan kaum Muslimin terdekat, kecuali bila ada halangan yang mencegah.

Jika kalian bertobat, menegakkan salat, dan menunaikan zakat, maka kalian adalah saudara kami dalam agama. Barang siapa berpaling dari iman, Islam, dan (kewajiban) jizyah, maka ia adalah musuh Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Kepada-Nya kita memohon pertolongan menghadapi orang itu. Apabila kaum beriman sedang tersibukkan urusan lain jauh dari kalian lalu musuh kalian mengalahkan kalian, kalian tidak dipersalahkan karenanya dan itu tidak membatalkan perjanjian kalian, asalkan kalian kembali bergabung kepada kaum beriman dan kaum Muslimin. Inilah kewajiban atas kalian dan inilah hak kalian.

Allah, para malaikat-Nya, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman menjadi saksi. ﴿وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا﴾.”

Derbent sebagai sumbu utara

Gerak ke Derbent di ujung utara memperlihatkan sumbu lain yang sama menentukan. Suraqah ibn ʿAmr membuka Bāb al-Abwāb pada 22 H/642 M melalui ṣulḥ yang berhati-hati, memilih jalur pesisir Kaspia agar tidak menguras tenaga di gundukan paling berat. Dengan langkah itu, Derbent menjadi basis depan menuju Balanjar sekaligus sumbat strategis terhadap serbuan Khazar dari stepa. Tradisi menyambungkan momen tersebut dengan bait syair Suraqah, baris singkat “di Bab al-Turk, rumah ber-pintu-pintu,” yang berfungsi sebagai penanda simbolik. Pada saat yang sama, kehati-hatian khalifah ʿUmar ditekankan, sebab kekuatan belum memadai untuk melekat terlalu jauh di utara, sehingga banyak gerak awal berbentuk ekspedisi pengenalan medan, penghukuman terbatas, dan perundingan ṣulḥ di kota-kota pegunungan. Di balik semua itu hadir rancang bangun kebijakan frontier yang kemudian diwarisi era Umawiyah, mengunci gerbang utara, mengikat komunitas pegunungan pada kewajiban mobilisasi defensif dengan imbalan keringanan fiskal, serta menopang kestabilan pada kontrak yang mudah diaudit.

Dvin dan Tiflis pasca penyerahan: pola hadir untuk menjamin dan pajak per rumah yang tertib

Di Dvin, setelah penyerahan singkat, aparat Arab menerapkan pola “hadir untuk menjamin” tanpa mengutak-atik susunan gereja dan biara. Mereka menempatkan petugas fiskal yang memahami beda antara jizyah dan kharāj serta menghormati ukuran rumah tangga setempat sebagai unit pajak. Inilah sebabnya redaksi piagam kerap menyentuh perkara yang tampak remeh seperti “rumah”, karena di titik itulah kecurangan paling mudah terjadi. Di Tiflis, konsistensi penerapan satu dinar per rumah, bukan angka mengambang, memperlihatkan cita-cita tertib fiskal yang menahan arbitrase pejabat maupun manuver penduduk. Kedua kota ini menunjukkan bagaimana satu perangkat ṣulḥ dapat menumpulkan tepi penaklukan, menurunkan ongkos pendudukan, dan menyediakan matriks kepercayaan minimum di wilayah yang pada saat bersamaan masih menyaksikan razia dan balasan di tempat lain.

Kompromi Rshtuni ke Damaskus

Pada tahun 652, ketika Theodore Rshtuni berangkat ke Damaskus untuk menutup sebuah kompromi yang dalam tradisi Armenia Barat dijabarkan sebagai kebijakan yang dinilai menguntungkan bagi para nakharar. Unsurnya meliputi pengakuan atas kedaulatan khalifah, masa bebas upeti selama dua hingga tujuh tahun yang kemudian beralih ke pajak ringan, jaminan otonomi internal, kewajiban memelihara kavaleri lima belas ribu orang atas biaya Armenia untuk mendukung kampanye Arab, perlindungan dari Bizantium, serta ketiadaan garnisun atau pejabat Arab yang bermukim tetap di Armenia. Dalam alur besar, kesepakatan ini menjadi jembatan dari fase serbuan dan tawar menawar menuju fase tribut dan administrasi yang baru stabil sepenuhnya setelah Muʿāwiyah menjadi khalifah pada 661 dan kembali menuntut upeti dari para pangeran. Di sela dua momen itu, intervensi balik Bizantium dan Fitnah Pertama (الفتنة الكبرى) masih terus mengaduk keadaan.

Ṣulḥ dan ahl al-dhimmah, sparapet dan nakharar sebagai poros lokal

Sebelum melangkah, perlu penegasan istilah agar tidak ada detail tercecer saat menelaah teks piagam lebih dekat. Istilah ṣulḥ (صلح) selalu berpasangan dengan “ahl al-dhimmah”, yakni komunitas non-Muslim yang menerima perlindungan dan membayar jizyah; di Armenia, ini mencakup komunitas Kristen Armenia serta kelompok Yahudi atau Majusi yang disebut eksplisit dalam beberapa piagam. Di pihak Armenia, istilah sparapet (սպարապետ) bermakna panglima umum yang dapat mengarahkan pilihan aliansi, sedangkan nakharar (նախարար) menunjuk jaringan bangsawan pewaris tanah yang memegang kunci perpajakan dan mobilisasi lokal. Karena itu, ketika redaksi piagam Dvin atau Tiflis menyebut “tembok kota”, “gereja”, “biara”, dan “rumah”, itu adalah cara hukum menyentuh simbol identitas sekaligus unit fiskal, sehingga kontrak damai bukan janji abstrak, melainkan daftar hak dan kewajiban yang dapat diawasi oleh kedua belah pihak.

Misi Rshtuni ke Damaskus dan pengakuan khalifah

Perjumpaan Theodore Rshtuni dengan otoritas Arab di Damaskus pada 652 menjadi simpul politik yang mengubah arah sejarah Armenia. Di tengah siklus serbuan dan serangan balik sepanjang 640-an, Rshtuni membaca bahwa Bizantium tidak mampu atau tidak bersedia menanggung biaya perlindungan yang nyata bagi pedalaman Armenia. Dalam konstelasi tersebut, ia memimpin pendekatan kepada pihak Arab, dan menurut susunan peristiwa, ia bersama Catholicos Nerses III “Si Pembangun” menghimpun persetujuan para nakharar untuk menerima paket kompromi yang ditawarkan Muʿāwiyah selaku gubernur Syam. Pada 652, Rshtuni berangkat ke Damaskus dengan membawa hadiah besar dan menyepakati formula yang, bila dituliskan dalam prosa, mencakup pengakuan Armenia atas kedaulatan khalifah, masa bebas upeti sekitar dua hingga tujuh tahun yang kemudian berganti menjadi beban “pajak ringan”, pemeliharaan otonomi internal, kewajiban menyediakan kavaleri lima belas ribu orang atas biaya sendiri untuk membantu ekspedisi Arab, jaminan perlindungan terhadap Bizantium, serta ketentuan kunci dalam psikologi politik lokal bahwa Armenia tidak akan didiami secara tetap oleh garnisun atau pejabat Arab. Dari sudut pandang para bangsawan, susunan ini mengamankan dua hal sekaligus, yaitu kebebasan internal gereja dan adat Armenia serta payung proteksi militer praktis, yang keduanya sulit mereka peroleh dari Bizantium setelah pengalaman pahit pada dekade sebelumnya.

Beban Kalkedon dan lemahnya perlindungan Bizantium

Pertimbangan yang membuat kebijakan itu masuk akal bagi Armenia lahir dari pengalaman langsung. Sepanjang gelombang 640-an, Bizantium tampak di atas kertas sebagai pelindung, tetapi di lapangan mereka kerap mendorong agenda kristologisnya sendiri. Bagi gereja dan masyarakat Armenia, kenangan akan penegasan anti Kalkedon yang dipakukan di Sinode Dvin 554 (Դվինի ժողով; مجمع دُبيل) menjadi penanda identitas, sementara berbagai langkah resmi Bizantium untuk menyeragamkan teologi sering terbaca sebagai upaya mereduksi otonomi gerejawi dan adat lokal. Penolakan tegas gereja Armenia terhadap ajaran Kalkedon membuat solidaritas dengan Konstantinopel selalu dibayangi rasa curiga, dan justru kebijakan Bizantium yang keras menyuburkan harapan akan hadirnya kekuatan luar yang sanggup mengganti “beban teologi” dengan jaminan hukum. Dalam kerangka itu, piagam-piagam ṣulḥ kaum Muslim yang menjanjikan perlindungan atas jiwa, harta, gereja, dan biara dengan imbalan jizyah dan kharāj yang jelas terasa sebagai alat stabilisasi yang konkret.

Respon Bizantium 648–654: sinode, agitasi dogma, serangan balik Arab, dan jeda karena Fitnah Pertama

Ketika tinta perjanjian 652 belum lama kering, Bizantium bergerak untuk merusaknya. Kaisar Constans II datang dengan dua puluh ribu pasukan dan, alih-alih menebas langsung barisan Arab, ia menabur perpecahan di tubuh Armenia lewat isu dogma. Pada 648, ia menggagas sinode yang mendorong penerimaan Kalkedon, para rohaniwan Yunani mulai berkhotbah di Dvin, dan sebagian nakharar kembali tertarik pada pengaruh kekaisaran. Langkah ini justru menegaskan kritik lama para pemuka lokal bahwa Bizantium hadir untuk mengatur iman lebih dulu, bukan bertempur demi keselamatan pedalaman. Saat serangan balik Arab menguat pada 654, Dvin direbut kembali dan pedalaman disapu. Selain itu, Rshtuni dibawa bersama sekitar dua ribu orang ke Damaskus dan wafat di sana tidak lama kemudian. Yang tersisa di tanah air adalah kekosongan perlindungan setelah pasukan Bizantium mundur, sementara dunia Arab sendiri segera dilanda Fitnah Pertama (الفتنة الكبرى) sejak 656 yang membuat kontrol atas Armenia sempat mengendur.

Koin Kaisar Constans II yang mengembalikan Armenia ke Kekaisaran Bizantium. (Gambar: Wikimedia Commons)

Piagam Dvin dan Tiflis sebagai bukti praktik: kitab amān dan jaminan jiwa, harta, ibadah, serta tembok kota

Bukti paling terang tentang “cara memerintah” yang dibawa ekspedisi Arab sejak pertengahan 640-an tampak pada naskah-naskah piagam. Ketika Dvin jatuh bukan semata hasil razia, melainkan lewat pengepungan singkat yang ditutup dengan permintaan aman, Habīb ibn Maslama al-Fihrī menerbitkan kitab amān (كتاب أمان) untuk penduduk Dvin, yaitu Nasrani, Majusi, dan Yahudi, dengan formula yang sudah menjadi pola. Isinya meliputi jaminan keselamatan atas jiwa, harta, gereja, biara, dan tembok kota, kewajiban jizyah (جزية) dan kharāj (خراج), sumpah kesaksian, serta penegasan bahwa pihak Muslim menunaikan janji selama kota menunaikan kewajibannya. Terjemahan ringkas redaksinya berbunyi, “Aku telah menjamin kalian atas jiwa, harta, gereja, biara, dan tembok kota kalian… selama kalian menunaikan jizyah dan kharāj,” yang disegel atas nama Habīb. Garis redaksinya memperlakukan kota sebagai satuan sipil keagamaan sekaligus fiskal. Penyebutan tembok kota bukan sekadar menyentuh bangunan batu, melainkan menegaskan hak untuk mempertahankan wujud kota tanpa dibongkar oleh rezim baru.

Teks untuk Tiflis memperlihatkan lapisan yang lebih administratif. Selain jaminan umum atas agama, rumah ibadah, keluarga, dan doa-doa mereka, piagam ini menetapkan satu dinar yang utuh bagi setiap rumah (أهل كل بيت دينار وافٍ). Ada larangan ganda yang bunyinya terasa modern, warga dilarang “menggabungkan rumah yang terpisah” untuk mengecilkan pajak, dan penguasa dilarang “memecah rumah yang menyatu” untuk memperbesar pajak. Kewajiban bantuan juga diatur terukur, yakni menunjukkan jalan selama tidak menimbulkan mudarat, menjamu musafir Muslim semalam dengan yang halal bagi Ahlul Kitab, dan jika seorang mukmin terputus di wilayah kota, warga berkewajiban mengantarkannya ke kelompok kaum beriman terdekat selama hal itu masih mungkin dilakukan. Redaksi penutupnya bersifat khas dan antisipatif, jika pada suatu ketika kaum Muslim “terserap oleh urusan lain” dan musuh menundukkan kota, keadaan itu tidak membatalkan akad selama warga kembali bergabung dengan kaum beriman dan kaum Muslim. Potongan kalimat “على أهل كل بيت دينار وافٍ … وليس لكم أن تجمعوا … ولا لنا أن نفرّق …” yang kerap dikutip para peneliti sudah cukup menggambarkan semangat keseluruhan naskah, pajak dibuat transparan per unit keluarga, sementara celah kecurangan administratif ditutup dari kedua sisi.

Kedua piagam, Dvin dan Tiflis, memperlihatkan bagaimana penaklukan dini dijahit menjadi praktik pemerintahan. Bagi kota yang memilih ṣulḥ, kontrak damai memberi kepastian hukum dan ruang ibadah. Bagi otoritas Muslim, kontrak itu menekan biaya pendudukan jangka panjang sekaligus memastikan arteri logistik dan mobilisasi lokal tetap terbuka. Penting dicatat, kata kunci yang tampak kecil seperti “rumah/keluarga” bukan sekadar hiasan, melainkan instrumen pengendalian pajak yang sengaja dipilih karena pada unit inilah manipulasi paling mudah terjadi. Dengan memasukkan larangan menggabungkan atau memecah unit keluarga demi mengubah beban pajak, naskah Tiflis menempatkan otoritas dan warga dalam posisi kewajiban yang simetris, pihak penguasa tidak boleh mempermainkan basis pajak dan pihak warga juga tidak boleh menyiasatinya.


Pulau Akdamar, tempat Theodore Rashtuni berlindung tak lama setelah Romawi merebut kembali Armenia dan mengangkat Hamazesp Mamikonian sebagai pangeran Armenia. (Gambar: Wikimedia Commons)

Muʿāwiyah meneguhkan upeti dan mematrikan Arminiya sebagai provinsi pasca Rshtuni

Sesudah Rshtuni wafat dan Fitnah Pertama mengguncang pusat dunia Islam, kontrol atas Armenia mengalami jeda. Pada fase ini Bizantium sempat memulihkan pengaruh, sebagian nakharar kembali condong ke Konstantinopel, dan gelombang keutuhan administratif yang diharapkan pada 652 tertunda. Keadaan baru berbalik setelah Muʿāwiyah naik sebagai khalifah pada 661, ia menuntut kembali upeti dari para pangeran Armenia dan mengembalikan dataran tinggi ke dalam orbit kedaulatan Arab. Inilah titik ketika konsensus historiografi modern menarik garis jelas antara fase “serbuan dan tawar menawar” dan fase “tribut dan administrasi”, yakni saat kekuatan Arab kembali memegang kendali dan mematrikan bentuk provinsi payung yang kemudian dikenal sebagai Arminiya (Արմինիա; أرمينية). Dengan penetapan kembali kewajiban upeti, perjanjian kota memperoleh “punggung” administratif, dan dari sini narasi bergerak menuju penataan struktural yang lebih ajek.

Dari otonomi longgar ke kendali langsung: ʿAbd al-Malik, kampanye Muhammad ibn Marwān, dan ostikan sebagai tulang punggung

Bentuk administratif Arminiya yang tumbuh sejak paruh kedua abad ketujuh menaungi bukan hanya tanah-tanah Armenia, tetapi juga Iberia/Kartli dan Albania Kaukasia/Arrān hingga Derbent, dengan Dvin sebagai pusat. Pada tahap awal, sebagaimana digarisbawahi dalam risalah tentang Arminiya, khalifah mengizinkan seorang pangeran Armenia mewakili provinsi sebagai penanggung jawab tribut dan kontingen militer, dengan imbalan tidak ditempatkannya garnisun atau pejabat Arab secara permanen. Memasuki masa ʿAbd al-Malik, terutama sekitar tahun 700, pola ini bergeser menuju kendali yang lebih langsung. Saudara khalifah, Muhammad ibn Marwān, melancarkan rangkaian kampanye untuk menundukkan wilayah yang goyah, dan kantor ostikan (ոստիկան; أوسطكان), yakni gubernur tinggi Arminiya, menjadi tulang punggung penyelenggaraan negara di perbatasan. Secara bertahap, kerangka “Emirat Armenia” tampil sekaligus sebagai frontier militer dan tatanan fiskal sipil yang stabil.

Peran kunci Derbent tetap menjadi penentu sepanjang proses tersebut. Kota gerbang yang dibuka pada 22 H/642 M melalui ṣulḥ oleh Suraqah ibn ʿAmr berfungsi sebagai pangkalan muka ke Balanjar sekaligus sumbat strategis terhadap serbuan Khazar. Dalam hal ini, Khalifah Umar bersikap sangat hati-hati, ekspedisi awal ke utara berwatak pengenalan medan dan penghukuman terbatas, bukan untuk melekat permanen terlalu jauh. Begitu Arminiya terkonsolidasi, Derbent menjadi “pintu” yang dijaga pasukan dan jaringan ṣulḥ pegunungan, dengan kewajiban mobilisasi lokal yang dapat diaktifkan ketika ancaman datang. Karena itu, naskah-naskah piagam untuk wilayah pegunungan memadukan keringanan fiskal dengan panggilan angkat senjata pada saat genting.

Kalau disambungkan dari hulu ke hilir, Pertama, tahun 652 menjadi jembatan yang memungkinkan Armenia menukar ketidakpastian perlindungan Bizantium dengan kontrak damai yang bisa dijalankan bersama otoritas Arab, tanpa kehilangan wibawa gereja dan bangsawan setempat. Kedua, intervensi Bizantium lewat sinode 648 dan operasi militernya gagal karena lebih sibuk mengurusi perdebatan iman daripada memukul lawan di medan perang, sehingga para komandan Arab seperti Abu Al-Jarrāḥ dan Muhammad ibn Marwān di masa berikutnya mendapati garis perbatasan yang lebih mudah ditata ulang. Ketiga, setelah 661, Arminiya bergerak dari status pembayar upeti menjadi struktur pemerintahan yang jelas, mula-mula longgar lalu di era ʿAbd al-Malik berada di bawah kendali ostikan sebagai gubernur tinggi, sementara Derbent beserta piagam-piagamnya menjaga sisi utara sebagai pintu yang bisa dibuka atau ditutup sesuai kebutuhan perang.


Pemandangan tembok besar yang dibangun oleh Kekaisaran Sassaniyah di Derbent (Bab al-Abwab), yang ditemui para penakluk Muslim setibanya di kota itu, sebelum penguasanya menyerahkannya secara damai tanpa perlawanan. Penaklukan kota ini merupakan kemenangan strategis yang signifikan bagi umat Muslim, karena membuka jalan ke utara menuju wilayah-wilayah di luar Kaukasus, termasuk wilayah Khazar dan lainnya (Gambar: Wikimedia Commons)

Pusat dan frontier setelah 661 sampai otonomi de facto hingga 700

Sesudah 661, ketika Muʿāwiyah meneguhkan kembali kedaulatan atas para bangsawan Armenia, hubungan antara pusat dan perbatasan tetap longgar. Hampir sepanjang paruh kedua abad ketujuh, kehadiran Arab di tanah Armenia relatif minimal, wilayah itu dianggap sudah ditaklukkan tetapi praktiknya masih menikmati otonomi de facto berdasarkan butir perjanjian yang disepakati Theodore Rshtuni. Arah kebijakan berubah pada masa ʿAbd al-Malik ibn Marwān. Mulai sekitar tahun 700, saudaranya, Muhammad ibn Marwān, sebagai gubernur Arrān, menundukkan kembali wilayah Armenia lewat serangkaian kampanye sehingga kewajiban upeti dan dukungan militer yang sebelumnya sekadar kebiasaan berubah menjadi aturan yang ditegakkan dari atas. Sejak itu Arminiya dibentuk tegas sebagai provinsi kekhalifahan, dan Dvin dibangun kembali menjadi pusat administrasi serta pangkalan militer.

Arsitektur pemerintahan perbatasan: al-Arminiya, ostikan, nakharar, pembagian Arminiya I–IV, serta peran ishkhan dan ishkhanac’ ishkhan

Struktur pemerintahan di wilayah perbatasan ini punya pola khas. Armenia, bersama Iberia/Kartli dan Albania Kaukasia/Arrān, dihimpun ke dalam satu provinsi payung bernama al-Arminiya dengan pusat di Dvin. Di sana ditempatkan seorang emir/wālī yang dalam tradisi Armenia disebut ostikan (ոստիկան; أوسطكان) sebagai kepala pemerintahan provinsi. Tugas resminya fokus pada pertahanan dan pemungutan pajak, sedangkan urusan harian tetap ditangani para nakharar, yaitu jaringan bangsawan pewaris tanah. Secara regional, al-Arminiya dibagi menjadi empat bagian, yaitu Arminiya I untuk Arrān, Arminiya II untuk Iberia/Kartli, Arminiya III untuk wilayah sekitar Sungai Aras, dan Arminiya IV untuk Taron (Տարոն). Di atas jaringan nakharar ada figur ishkhan (իշխան; “pangeran pemangku”), yang pada abad ke-9 berkembang menjadi ishkhanac’ ishkhan (իշխանաց իշխան; “pangeran dari para pangeran”). Tokoh ini bertugas mengumpulkan pajak bagi pusat dan mengerahkan pasukan ketika diminta. Skema ini menanamkan kendali fiskal dan militer, namun tetap mempertahankan tata adat setempat, sehingga perbatasan stabil tanpa menghapus wajah lokalnya.

Konsolidasi juga terlihat dari pergantian jabatan ostikan di Dvin. Setelah penaklukan yang dipimpin Muḥammad ibn Marwān, kursi ostikan bergilir di antara perwira-perwira utama Umawiyah, antara lain ʿAbd al-ʿAzīz ibn Ḥātim al-Bāhilī, Maslama ibn ʿAbd al-Malik, al-Jarrāḥ ibn ʿAbd Allāh al-Ḥakamī, lalu kembali ke Maslama, dan seterusnya hingga Marwān ibn Muḥammad. Kerap kali Arminiya dikelompokkan bersama Arrān dan al-Jazīrah (Mesopotamia Hulu) di bawah satu gubernur super-provinsi, agar urusan perang dan pajak di frontier Kaukasus sejalan dengan kepentingan teater Mesopotamia Hulu. Rumusnya sederhana, pusat mengirim ostikan untuk memastikan keamanan dan pajak, sementara para nakharar menjalankan pemerintahan lokal sesuai adat selama kewajiban fiskal dan militer dipenuhi.

Di bidang fiskal dan administrasi, negara melakukan sensus dan ukur tanah sekitar tahun 725. Langkah ini diikuti kenaikan pajak untuk membiayai kebutuhan militer yang terus membesar di berbagai front. Dalam iklim baru itu, ekonomi kota di Kaukasus tumbuh. Koin dicetak di Dvin, dan pasar mengalirkan surplus pangan serta barang kerajinan guna memenuhi pajak uang yang diminta pusat. Artinya, Arminiya bukan hanya pos garnisun, tetapi juga mesin fiskal yang dipacu melalui standardisasi pajak dan peredaran logam.

Front utara hingga perang Khazar

Garis depan paling menentukan berada di utara, tepatnya pada simpul Derbent dan padang-padang Khazar di seberang Kaukasus. Di sinilah al-Jarrāḥ al-Ḥakamī menonjol pada dekade 720-an. Setelah gelombang awal Perang Arab Khazar Kedua, ia memimpin pasukan Suriah (Ahl al-Shām) untuk menangkis serbuan besar Khazar, merebut kembali Derbent, menyusuri pesisir Kaspia hingga menghantam Balanjar pada 21 Agustus 722/723, lalu menekan ke Wabandar dan mendekati Samandar. Manuvernya juga mencakup penaklukan Tiflis dengan pola “jaminan hak dan kharāj”, serta iring-iringan melalui Celah Darial yang membuka rute serbuan kedua ke jantung Khazar sekaligus menutup peluang serangan balik dari arah itu. Namun perang di stepa jarang berakhir tegas. Al-Jarrāḥ dipaksa mundur, diganti sementara oleh Maslama sesuai kebijakan Hishām, lalu dipanggil kembali. Pada Desember 730, pasukan Khazar di bawah Barjik mengepung Ardabil. Al-Jarrāḥ bergerak cepat dari Bardhaʿa tetapi gugur setelah pertempuran tiga hari di Marj Ardabil. Kawasan itu baru pulih ketika Saʿīd ibn ʿAmr al-Ḥarashī mendorong balik serbuan, sedangkan Marwān ibn Muḥammad merampungkan perang pada 737 dengan kemenangan nominal di pihak Arab. Episode Khazar inilah yang menjadikan Derbent sebagai palang utara yang dijaga ketat oleh garnisun dan jaringan perjanjian pegunungan sepanjang sisa abad kedelapan.

Politik bangsawan lokal: naiknya Bagratuni, “Arab ostikaner di Armenia”, dan kompromi otonomi adat dengan stabilitas frontier

Di sela ritme perang dan kebijakan fiskal, politik bangsawan lokal ikut bergerak. Tradisi Armenia Barat menuturkan bahwa keluarga Bagratuni perlahan memenangkan kepercayaan otoritas Arab dengan menawarkan pola kerja sama yang lebih lentur. Pada 686, setelah wafatnya Grigor Mamikonyan, seorang Ashot Bagratuni (Աշոտ Բագրատունի) ditunjuk untuk mengelola Armenia, menjadi penanda awal naiknya peran Bagratuni. Dalam horizon lebih panjang, istilah “Arab ostikaner di Armenia” (Արաբ Ոստիկաններ Հայաստանի մէջ) hadir sebagai sebutan setempat bagi para gubernur atau kepala provinsi Arab yang berkedudukan di Dvin, yaitu terjemahan lokal atas emir/wālī dan ostikan. Dalam praktik, pola ini berarti kompromi. Kaum aristokrat menjaga otonomi adat dan gereja, sementara pusat memperoleh stabilitas perbatasan serta pasokan kontingen kavaleri ketika dibutuhkan.

Umawiyah mengangkat Ashot III Bagratuni

Puncak kompromi antara elit lokal dan pusat pada masa Umawiyah terlihat pada tahun 732, ketika Marwān ibn Muḥammad, yang kelak menjadi Marwān II, mengangkat Ashot III Bagratuni sebagai ishkhan pemangku Armenia. Langkah ini dipahami para sejarawan sebagai peneguhan kembali otonomi internal dalam bingkai kekhalifahan. Pusat memberi restu kepada seorang tokoh payung dari kalangan bangsawan untuk memungut pajak dan memimpin kontingen, sementara ostikan di Dvin mengurus pertahanan, fiskal, dan koordinasi lintas provinsi. Dengan susunan seperti ini, Arminiya berfungsi ganda sebagai perisai militer dan poros ekonomi, sekaligus menyiapkan dasar sosial politik bagi kebangkitan dinasti lokal pada abad ke-9.

Arminiya sebagai perisai militer dan poros ekonomi

Garis besar konsolidasi Umawiyah di Armenia merangkum tiga lapisan. Lapisan struktur, yaitu provinsi payung Arminiya yang membagi wilayah menjadi empat subkawasan dan memadukan ostikan dengan jaringan nakharar serta lembaga ishkhan atau ishkhanac’ ishkhan (իշխան/իշխանաց իշխան). Lapisan fiskal, yaitu sensus sekitar tahun 725 yang diikuti kenaikan pajak untuk membiayai perang serta monetisasi (kewajiban pajak dikonversi ke uang) yang ditandai pencetakan koin di Dvin. Lapisan militer perbatasan, yaitu kampanye berulang di Derbent dan Balanjar, pergiliran Maslama dan al-Jarrāḥ sesuai kebutuhan teater perang, serta penataan ulang perjanjian kota-kota Kaukasus seperti Tiflis yang menegaskan kharāj dan hak-hak komunitas. Dari tiga lapisan ini, arah menuju abad kesembilan sudah tampak, ruang otonomi yang dipelihara struktur Arminiya menjadi panggung bagi Bagratuni untuk naik dari “pangeran pemangku” menjadi “pangeran dari para pangeran”, lalu pada masa Abbasiyah menapaki jalan menuju mahkota.

Dari Umawiyah ke Abbasiyah: ostikan bertahan, otonomi lokal terjaga

Sesudah Umawiyah runtuh dan Dinasti Abbasiyah berdiri pada 750 M, struktur pemerintahan Arab di Armenia atau Arminiya (Հայաստանի Օստիկանություն, Hayastani ostikanut’yun; العربية: إمارة أرمينية, imārat armīniya) pada dasarnya dilanjutkan. Wilayah Armenia raya bersama Iberia Kaukasia dan Albania Kaukasia ditempatkan dalam satu unit besar di bawah seorang gubernur Arab yang oleh sumber Armenia disebut ostikan, sementara para pangeran lokal tetap memerintah tanah mereka, memungut pajak, dan menyediakan pasukan bila diminta. Di tingkat lokal, gelar “ishkhan” (իշխան, pangeran) berkembang menjadi “ishkhanac’ ishkhan” (իշխանաց իշխան, “pangeran dari para pangeran”) yang bertanggung jawab kepada ostikan dan bertindak sebagai kepala de facto kaum bangsawan Armenia. Pembagian administratif lama yang dikenal sebagai “empat Armenia” tetap diakui, dan Dvin diperkuat kembali sebagai pusat penting dengan garnisun Arab untuk menahan serbuan Khazar dan Bizantium. Sumber Arab bahkan mencatat munculnya pejabat Armenia dari dinasti Bagratuni yang dijuluki “patrik para patrik”, seperti Buqrat bin Ashot al-Baqraduni, sambil menegaskan bahwa para gubernur Abbasiyah terus diangkat berdampingan dengan penguasa lokal tersebut. Pola gabungan ini, yakni gubernur militer Arab bersama aristokrasi Armenia yang otonom dalam urusan sipil, menjadi kunci stabilitas awal masa Abbasiyah di Armenia.

Stabilitas dengan harga mahal: kebijakan pajak al-Manṣūr dan Bagrevand 774–775

Ketenangan itu memiliki harga. Di bawah Khalifah Abū Ja‘far ʿAbd Allāh al-Manṣūr (754–775), beban pajak dinaikkan tajam. Sejarawan Armenia abad ke-8, Łewond atau Ghewond, menuliskan bahwa “beban pajak dinaikkan hingga tak tertanggungkan” dan cara penarikannya keras, serta mengaitkan kebijakan ini langsung dengan meletupnya perlawanan besar para nakharar pada 774–775. Dalam narasi Armenia, gelombang pertama bermula ketika Artavazd Mamikonyan menipu ostikan di Dvin untuk memperoleh persenjataan, lalu membunuh kepala penarik pajak di Kumayri atau Gyumri dan merebut kembali pajak yang sudah dipungut. Gerakan ini kemudian meluas di bawah Mushegh Mamikonyan, yang berkali-kali memukul detasemen Arab dari Karin atau Theodosiopolis (kini Erzurum) dan Dvin, sementara tokoh besar Bagratuni, Smbat VII “Sparapet”, bergabung sehingga wibawa pemberontakan meningkat. Sumber Armenia menyebut kemenangan-kemenangan kecil di jalur Karin–Dvin, pengepungan Karin, dan benturan di Arjesh, sebelum akhirnya kedua pihak bertemu dalam pertempuran besar di dataran Bagrevand atau Ardzni pada 25 April 775. Di sana, pasukan Abbasiyah, termasuk prajurit Khurasan yang berpengalaman, menghancurkan koalisi para pangeran Armenia. Mushegh Mamikonyan gugur, Smbat VII Bagratuni tewas, dan pengaruh keluarga Mamikonyan pada dasarnya berakhir. Kekalahan ini memicu arus migrasi besar orang Armenia ke wilayah Bizantium dan mengubah keseimbangan di antara keluarga-keluarga nakharar, dengan Bagratuni dan Artsruni (Արծրունի) naik menggantikan kevakuman yang ditinggalkan Mamikonyan beserta sekutunya.

Lambang patung Bagratid di Ani. (Gambar: Wikimedia Commons)

Setelah Bagrevand: runtuhnya Mamikonyan, naiknya Bagratuni dan Artsruni

Dampak politik dan sosial dari peristiwa 774 hingga 775 terasa panjang hingga abad ke-9. Di satu sisi, Abbasiyah menguatkan kembali pos-posnya di Kaukasus. Derbent, “Gerbang Segala Gerbang”, ditegaskan lagi sebagai benteng kunci jalur niaga Kaspia dan penahan serbuan Khazar. Di sana kemudian muncul Keamiran Derbent (869 hingga 1173/1225), yang menunjukkan bagaimana simpul perbatasan Arab di utara Armenia bisa berkembang otonom di bawah keluarga-keluarga lokal yang beragama Islam. Di sisi lain, di dalam Armenia sendiri, rumah-rumah bangsawan yang terpukul pada 775 berangsur digantikan atau disisihkan oleh unsur baru, termasuk munculnya kelas amir Arab yang menetap di kota-kota. Sementara itu, di timur Sungai Aras, lembah Arran/Albania Kaukasia mengalami islamisasi massal sejak abad ke-8. Pada abad ke-11, masjid-masjid menonjol sudah berdiri di Partav/Barda, Chabala/Qabala, dan Shaki, sementara lembaga gerejawi Albania Kaukasia kehilangan otonominya dan diturunkan statusnya menjadi takhta bawahan dalam Gereja Apostolik Armenia. Semua kecenderungan ini membentuk panggung geopolitik Armenia pada abad ke-9, yakni sebagai jembatan antara Bizantium dan dunia Islam sekaligus batas dengan stepa di utara.

Kebangkitan awal abad ke-9: Ashot Msaker dan dua poros kekuatan Bagratuni

Armenia sendiri tidak tinggal diam. Pada paruh pertama abad ke-9, kebangkitan Bagratuni makin terlihat melalui Ashot Msaker/Ashot “Si Pemakan Daging”, yang sejak 804 diakui sebagai ishkhan dan mewariskan dua poros kekuatan keluarga: Bagrat II Bagratuni sebagai “ishkhanac’ ishkhan” dan Smbat “Sang Pengaku”/Smbat VIII sebagai sparapet (panglima). Meski demikian, sisa-sisa faksi lama, kepentingan amir-amir Arab setempat, dan tekanan pajak dari pusat tetap memicu gesekan. Sekitar 850, muncul gelombang perlawanan baru. Para pangeran Armenia, termasuk tokoh-tokoh Bagratuni dan Artsruni (Արծրունի), menantang ostikan dan kebijakan pajak Abbasiyah. Khalifah al-Mutawakkil (847 hingga 861) menanggapi dengan mengirim jenderal Turki ternama, Bugha al-Kabīr, untuk mematahkan perlawanan. Kampanye Bugha pada 852 hingga 855 menangkap banyak nakharar, termasuk tokoh-tokoh kunci, dan mengirim mereka ke Samarra. Kekuatan lokal untuk sementara patah, dan beberapa kabilah Arab mendapat peluang menetap di dataran tinggi Armenia, terutama di sekitar Manzikert/Manazkert. Secara taktis, ini adalah kemenangan Abbasiyah. Namun secara strategis, tindakan keras tersebut justru mempercepat konsolidasi kubu-kubu Armenia yang tersisa di bawah dinasti Bagratuni dan Artsruni, serta memperkuat gagasan penyatuan Armenia di bawah satu mahkota.

Mahkota Ashot I 885–886: kompromi Baghdad dan Konstantinopel memulai Zaman Keemasan kedua

Pada akhir abad ke-9, tarik menarik dua abad antara Bizantium dan Abbasiyah berakhir pada sebuah kompromi besar. Di tengah persaingan Bizantium yang dipimpin Kaisar Basil I dari Armenia dan kepentingan Abbasiyah yang melihat Armenia lebih berguna sebagai wilayah penyangga, Ashot I “yang Agung” dari Bagratuni muncul sebagai tokoh kunci. Pada 885, Ashot I dinobatkan sebagai “Raja Armenia” dengan persetujuan Khalifah al-Mu‘tamid di Baghdad. Pada 886, Konstantinopel juga memberi pengakuan. Penobatan ini memulihkan monarki Armenia di bawah dinasti Bagratuni. Secara praktik, Ashot bertindak sebagai “primus inter pares” di atas para pangeran, memperoleh kewenangan atas Dvin, Manazkert, Karin, dan kota-kota lain yang sebelumnya berada di bawah para amir, meski beberapa sumber tetap menyebut adanya pengawasan umum dari Atropatene (Azerbaijan Iran). Kedua kekuatan besar menerima formula ini karena Armenia yang kuat namun bersahabat lebih stabil sebagai zona penyangga dibandingkan Armenia yang terus bergejolak di bawah ostikan. Dari sinilah bermula “Zaman Keemasan Armenia yang kedua”, yang ditandai ketenangan relatif, pembangunan gereja-gereja monumental, dan maraknya naskah beriluminasi, sementara pusat Bagratuni berpindah bertahap dari Bagaran ke Shirakavan, lalu ke Kars, menuju ibu kota masa depan Ani.

Mahkota dipulihkan dan poros ganda terbentuk: Bagratuni di Ani, Artsruni di Vaspurakan

Sesudah penobatan Ashot I “yang Agung” sekitar 885–886, yang dalam ingatan sumber Armenia dipandang sebagai kompromi tiga arah antara Bagdad, Konstantinopel, dan para nakharar, politik Armenia bergerak dari pola “pangeran pemangku” menuju mahkota nasional yang diakui. Restu Khalifah al-Mu‘tamid dan pengesahan Kaisar Basil I mencerminkan logika perbatasan yang matang, yaitu menjadikan Armenia yang kuat namun bersahabat sebagai penyangga yang efektif. Dalam tatanan baru ini, Ashot I tetap berperan sebagai “primus inter pares”, menata ulang hierarki kehormatan di antara keluarga besar, memperhalus peran ishkhan (pangeran) dan ishkhanac’ ishkhan (“pangeran dari para pangeran”), serta menyesuaikan hubungan dengan kantor ostikan di Dvin sampai kewibawaan kerajaan cukup kuat untuk mengambil alih fungsi-fungsi sipil secara langsung. Pada fase ini pula, poros istana berpindah berurutan dari Bagaran ke Shirakavan, kemudian Kars (Կարս), sebagai tahap transisi menuju urbanitas baru yang kelak memuncak di Ani (Անի). Setelah abad ke-8 dan awal abad ke-9 diwarnai dominasi ostikan, keluarga Bagratuni berhasil meraih kepercayaan otoritas Arab sekaligus dukungan rohaniwan dan bangsawan, sehingga tampil sebagai “rumah kebijakan lentur” yang membawa stabilitas dan pada akhirnya legitimasi kerajaan.

Vaspurakan dan Artsruni: penyeimbang Ani, pajak berbasis ṣulḥ, dan kedaulatan Danau Van

Di gelang Vaspurakan, wilayah luas di sekitar Danau Van, keluarga Artsruni tampil sebagai penyeimbang utama Bagratuni sejak abad ke-8. Tradisi Armenia Barat menegaskan bahwa “Bagratuninerë yev Artsruninerë” adalah dua pilar politik lokal yang perlahan mengisi kevakuman setelah malapetaka 774 sampai 775 dan runtuhnya pengaruh Mamikonyan. Keduanya sama-sama piawai bernegosiasi dengan pusat kekuasaan Arab, tetapi dengan logika wilayah yang berbeda. Di Vaspurakan, Artsruni merangkap peran. Mereka memperkuat kedaulatan budaya Kristen Armenia di sabuk timur Danau Van, sekaligus menata sistem pajak yang selaras dengan jejaring emirat Arab di Transkaukasia. Dengan memanfaatkan celah yang muncul dari friksi Abbasiyah dan Bizantium, serta menegosiasikan ulang kewajiban kharāj dan jizyah yang dulu dibakukan dalam piagam-piagam ṣulḥ, Artsruni memperlebar ruang geraknya hingga siap berdiri sebagai kerajaan rekan-sejajar pada dekade berikutnya.

Hubungan dengan emirat tetangga, khususnya jalur Tiflis di utara, Arrān atau Albania Kaukasia di timur, dan Derbent atau Bāb al-Abwāb di gerbang utara, tetap dibentuk oleh memori panjang piagam kota dan strategi perbatasan sejak abad ketujuh. Di Tiflis, rumus “satu dinar per rumah” dari piagam awal berubah menjadi kebiasaan fiskal para penguasa kota dan menjadi contoh bagaimana kota perbatasan menjaga simetri kewajiban dengan pusat, rakyat tidak mengakali unit pajak dan penguasa tidak memanipulasinya. Di Arrān, islamisasi yang meluas pada abad ke-8 dan ke-9 melahirkan jejaring amir perantara perdagangan Kaspia dan pegunungan. Lingkungan ini mendorong Bagratuni dan Artsruni menjaga koridor dagang sekaligus memperkuat benteng di garis Sardarapat sampai Dzoraget. Di Derbent, statusnya sebagai “pintu” memberi alasan kuat bagi Armenia untuk menjaga komunikasi baik dengan garnisun Arab setempat. Sejak pembukaan pada 22 H/642 M oleh Suraqah ibn ‘Amr, politik Derbent selalu dihitung sebagai arsitektur keselamatan Kaukasus, bukan sekadar pos logistik. Dua abad kemudian, pola pikir itu tetap sama, keamanan gerbang utara dan stabilitas kota-kota pajak di Transkaukasia adalah syarat pokok agar setiap proyek kerajaan di Armenia bisa tumbuh.

Konsolidasi kerajaan tidak hanya soal kebijakan luar negeri. Di dalam negeri, Bagratuni harus merapikan ulang kontrak sosial yang pada abad ke-8 sampai ke-9 koyak oleh krisis pajak dan mobilisasi militer. Struktur lama peninggalan masa ostikan disesuaikan, yaitu pembagian tugas antara ostikan sebagai kepala pertahanan dan fiskal, serta ishkhanac’ ishkhan sebagai koordinator politik lokal. Dalam praktik pada era Ashot I dan para penerusnya, ostikan Arab tidak lagi memegang urusan sipil. Kewenangan sipil dipindahkan ke istana, sementara jejaring nakharar diberi ruang melalui kesepakatan di mahkamah dan sinode gerejawi yang menegaskan peran gereja dalam perkara tanah, perkawinan, dan waris. Perubahan ini mengubah psikologi kota. Jaminan untuk gereja dan biara yang dulu tertulis dalam piagam-piagam ṣulḥ kini ditanggung langsung oleh mahkota Armenia, sedangkan ketertiban fiskal yang dulu ditegakkan amir Arab diselaraskan dengan kebutuhan pembangunan istana, pemeliharaan ketentaraan, dan pengamanan jalur dagang. Dengan cara itu, Armenia pasca penobatan “menenun kembali” prinsip-prinsip hukum perjanjian awal menjadi undang-undang pemerintahan kerajaan.

Peta menuju Ani: dari Bagaran ke Shirakavan lalu Kars, berujung pada pusat politik, katedral, dan niaga

Seiring perubahan itu, visi ruang dan peran kota-kota Armenia ikut bergeser. Tradisi Armenia Barat mengingatkan bahwa lambang kejayaan Bagratuni di Ani, yang kelak dijuluki “kota seribu gereja”, tidak muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari perbaikan bertahap atas jaringan kota yang sempat koyak pada 640-an. Dari Bagaran sebagai pangkal legitimasi, berlanjut ke Shirakavan yang menguasai dataran subur, naik ke Kars yang menjadi tangga menuju jalur pegunungan, lalu mencapai puncak di Ani sebagai pusat politik, katedral, dan niaga. Pada setiap perpindahan, Bagratuni selalu mengukur jarak terhadap tiga poros: Bizantium di barat, emirat Arab atau Islam di timur laut, dan stepa utara melalui Derbent. Ketika peluang dan ancaman dari ketiganya relatif seimbang, pilihan atas Ani menjadi langkah yang wajar. Kota itu tidak hanya kuat secara defensif, tetapi juga berada di simpul rute yang menyalurkan keuntungan ekonomi bagi mahkota.

Dari sisi teknik pemerintahan, capaian terpenting fase konsolidasi adalah kemampuan mahkota mengubah “pajak damai” dari sekadar tiket perlindungan menjadi alat pembangunan dan diplomasi. Sejumlah sumber Arab mencatat bahwa pada masa Umawiyah dan awal Abbasiyah, Arminiya cukup otonom berkat perjanjian kota dan jaringan nakharar. Pengalaman itu membuat para pangeran Armenia fasih memakai bahasa fiskal dan hukum Islam tanpa kehilangan identitas. Setelah mahkota dipulihkan, kemampuan ini tidak dibuang, melainkan disalurkan untuk menjaga hubungan baik dengan Baghdad dan sekaligus menegosiasikan ruang gerak dengan Konstantinopel.

Pada level praktik, pola pajak per rumah yang sudah diperkenalkan piagam Tiflis (“satu dinar per rumah” dengan larangan menggabung atau memecah keluarga untuk mengakali beban) memberi inspirasi untuk menjaga simetri kewajiban di antara lapisan sosial dalam kerajaan. Pada skala regional, kebiasaan ṣulḥ di kota-kota perbatasan memudahkan Armenia menandai batas kewenangan antara gereja, istana, dan para amir tetangga. Karena itu, sekalipun ibu kota berpindah ke Ani, Dvin tetap dipertahankan sebagai simpul administratif dan militer, menjadi pengingat bahwa mahkota yang kuat berdiri di atas perjanjian yang ditepati.

Suksesi setelah Ashot I menunjukkan bagaimana mahkota mengubah “bahasa frontier” menjadi “bahasa kerajaan”. Di bawah Smbat I dan Ashot II “Yerkat” (“Si Besi”), kebiasaan administratif yang dulu tumbuh di Arminiya/Emirat diserap menjadi praktik istana. Sensus dan ukur tanah yang pernah diintensifkan sekitar 720–730 dilanjutkan sebagai alat menyeimbangkan hak atas tanah gereja dan kepemilikan bangsawan. Jaminan untuk gereja dan biara, yang sejak piagam Dvin dan Tiflis dirumuskan sebagai “perlindungan atas jiwa, harta, gereja, biara, dan tembok kota”, diterjemahkan ke dalam patronase pembangunan, pemeliharaan, dan hak-hak yuridis gereja di tingkat lokal. Pada ranah diplomasi, Armenia mengelola dua bahasa sekaligus. Kepada Konstantinopel, Armenia menampilkan diri sebagai kerajaan Kristen yang selaras dengan ekumene Bizantium. Kepada Baghdad, Armenia menjanjikan stabilitas di tapal utara dan keberlanjutan koridor dagang Kaspia yang bertumpu pada Derbent, Barda/Partav, Qabala, dan Shaki. Karena kedua bahasa ini dapat disampaikan tanpa saling bertentangan, mahkota memperoleh ruang manuver yang pada abad ke-8 hingga ke-9 hanya dimiliki para ostikan dan amir setempat.

Ani sebagai ibu kota: kalkulus Ashot III, program “tembok kota”, dan Katedral Trdat yang mematri julukan “kota seribu gereja”

Puncak peralihan dari frontier ke kerajaan tampak pada keputusan Ashot III “yang Pengasih” pada 960-an untuk memahkotai Ani sebagai ibu kota. Pemilihan Ani bukan semata simbol, melainkan hasil perhitungan strategis yang berakar dari perjanjian 652 dan konsolidasi Umawiyah serta Abbasiyah. Ani berada di simpul rute yang menyalurkan gandum, garam, logam, dan kerajinan ke pasar-pasar Transkaukasia dan Anatolia timur, sekaligus terlindung sabuk benteng alamiah di tepi jurang-jurang Sungai Akhurian. Di tangan Ashot III dan para penerusnya, bahasa jaminan piagam tentang “tembok kota” diwujudkan menjadi program fisik. Tembok Ani disempurnakan, gerbang-gerbangnya menjadi panggung penyambutan dagang, dan parit-paritnya memagari inti kota yang padat gereja. Arsitek Trdat, yang kelak terkenal di Konstantinopel, membentuk citra baru kota lewat Katedral Ani. Julukan “kota seribu gereja” tidak berlebihan, sebab Ani menampilkan katedral, basilika, dan biara yang berdiri di bawah siluet istana. Pada titik ini, “kata-kata piagam” yang sejak 640-an menghormati gereja dan biara sebagai objek perlindungan naik pangkat menjadi wajah politik, kerajaan menampakkan diri sebagai pelindung iman yang menghadirkan keindahan.

Di balik lapisan sakral, Ani adalah mesin ekonomi. Pengalaman panjang dengan “pajak per rumah” ala piagam Tiflis, yang melarang menggabung atau memecah unit keluarga demi memanipulasi beban, menginspirasi administrasi kota untuk menjaga simetri antara pusat dan penduduk. Pajak-pajak kunci dirapikan agar arus barang tidak tersendat. Gilde pengrajin, pedagang karavan, dan saudagar sutra yang melintasi Qars, Ani, dan Dvin diarahkan untuk menahan keluarnya logam mulia sekaligus menjaga daya beli domestik. Di bentang timur dan tenggara, warisan islamisasi Arrān/Albania Kaukasia sejak abad ke-8 membentuk jejaring kota-kota muslim yang akrab dengan kontrak ṣulḥ, jaminan perlindungan, dan tertib fiskal. Pengalaman ini membuat perbatasan dagang Armenia ke dunia Islam relatif lebih stabil ketimbang perbatasan militer di stepa utara. Karena itu, prajurit perbatasan (හලබ; dalam istilah Arab ahl al-thugūr أهل الثغور) tetap dipelihara, terutama di sabuk Lori, Dzoraget, dan Gugark, agar rute Ani tidak terganggu oleh lintas pegunungan.

Vaspurakan–Artsruni sebagai penyeimbang: kedaulatan Danau Van, pajak berbasis ṣulḥ, dan koordinasi dua pusat

Di Vaspurakan, keluarga Artsruni menunjukkan bahwa konsolidasi internal bisa berjalan berdampingan dengan adanya lebih dari satu pusat. Di sekitar Danau Van, mereka membangun gereja dan kota yang menguasai perdagangan perahu, garam, dan batu berharga, sambil menjaga keseimbangan dengan emirat tetangga di timur dan tenggara. Cara mereka mengelola kharāj dan jizyah, yang sejak awal abad ke-7 diatur melalui komitmen ṣulḥ, membuat Vaspurakan sejajar dalam seni bernegosiasi dengan Ani, bukan sekadar pesaing yang terus berperang. Saat mahkota Bagratuni menumbuhkan simbol-simbol kota besar, Artsruni menanamkan simbol-simbol ketahanan wilayah. Hasilnya ialah koordinasi dua pusat yang saling menopang jalur dagang dan tepi-tepi militer yang berbeda.

Jika semua unsur itu dirajut menjadi satu, tampak bahwa “zaman Ani” adalah penutup alami dari kisah yang bermula pada 639 hingga 646. Sejak awal, teknologi politik penaklukan berupa ṣulḥ, yang menjamin “jiwa, harta, gereja, biara, dan tembok kota”, pajak transparan per rumah, larangan memanipulasi unit pajak, kewajiban bantuan yang terbatas, serta status perlindungan, telah membentuk bahasa bersama di perbatasan. Setelah seratus hingga dua ratus tahun negosiasi, bahasa itu diambil kembali oleh mahkota Armenia untuk membangun negara. Jaminan rumah ibadah berubah menjadi patronase bagi katedral dan biara. Tembok serta gerbang kota dijadikan program nyata. Pajak per rumah diolah menjadi aturan fiskal kota. Hubungan simetris antara pusat dan warga yang dulu dirumuskan dalam piagam kota dipelihara sebagai etos administrasi urban. Perjanjian Damaskus tahun 652 yang dahulu menjanjikan “tanpa garnisun Arab menetap” kini menemukan padanannya secara ideologis, yakni “garnisun Armenia” yang menetap di kota sendiri. Di utara, Derbent tetap dijaga sebagai gerbang yang bisa dibuka atau ditutup. Di timur, kota-kota muslim di Arrān menjaga ritme pertukaran komoditas. Di barat, Konstantinopel diperlakukan sebagai tetangga yang kompetitif sekaligus mitra dagang.

Potret Gagik Artsruni di dinding Gereja di Akdamar. (Gambar: Wikimedia Commons)

Epilog penaklukan: Arminiya, ostikan, ishkhan, ṣulḥ, jizyah, kharāj—dari alat penaklukan menjadi perangkat pemerintahan di bawah Bagratuni

Narasi “Penaklukan Islam atas Armenia” yang sekilas tampak berakhir pada 661 atau pada masa konsolidasi Umawiyah, sebenarnya menemukan epilog politiknya di kerajaan Bagratuni yang berpusat di Ani. Di sana, kosa kata yang muncul sepanjang kisah seperti Arminiya, ostikan, ishkhan/ishkhanac’ ishkhan, ṣulḥ, jizyah, kharāj, Derbent/Bāb al-Abwāb, Dvin, dan Tiflis tidak lenyap, melainkan berubah fungsi. Istilah-istilah itu bergeser dari alat penaklukan menjadi perangkat pemerintahan, dari jaminan bagi kota yang gentar menjadi program kerajaan yang percaya diri. Inilah sebabnya ketika sejarawan Armenia menulis tentang “Bangkitnya Bagratuni” dan “Kepangeranan Ashot Msaker” sebagai tangga menuju mahkota, sebenarnya mereka sedang menutup bab terakhir dari cerita perbatasan yang dibentuk pada 640-an. Demikian pula, ketika para penulis Arab merinci piagam Dvin dan Tiflis dengan klausul pajak yang teliti, pada hakikatnya mereka sedang menggambar denah untuk kota Ani jauh sebelum batu pertama katedralnya diletakkan.

Baca Juga: Perang Banda-VOC 1609–1621: Masyarakat Egaliter dan Pulau-Pulau Surgawi di Antara Permusuhan Dua Perusahaan Kapitalis – Tinta Emas

Daftar Pustaka

Klik untuk Membuka Daftar Pustaka

Daftar Pustaka

Buku (Sumber Latin)

  • Boyce, Mary. 2001. Zoroastrians: Their Religious Beliefs and Practices. Psychology Press. hlm. 84. ISBN 0415239028.
  • Brook, Kevin Alan. 2006. The Jews of Khazaria. Edisi ke-2. Plymouth: Rowman & Littlefield. hlm. 127.
  • Diehl, C. The Cambridge Medieval History, jilid IV. (Rujukan tambahan: Schlumberger, Un Empereur byzantin au Xᵉ siècle, Paris, 1890, hlm. 83 dan 350).
  • Dunlop, Douglas M. 1954. The History of the Jewish Khazars. Princeton: Princeton University Press. hlm. 61–62.
  • Dunlop, Douglas M. 1954. The History of the Jewish Khazars. Princeton: Princeton University Press. hlm. 62–63.
  • Dunlop, Douglas M. 1954. The History of the Jewish Khazars. Princeton: Princeton University Press. hlm. 63–64.
  • Dunlop, Douglas Morton. 1954. History of the Jewish Khazars. New York: Schocken Books. hlm. 113.
  • Farrokh, Kaveh. 2007. Shadows in the Desert: Ancient Persia at War. Oxford: Osprey Publishing. hlm. 234.
  • Frye, Richard N. 1993. The Heritage of Persia. Costa Mesa: Mazda Publishers. hlm. 260.
  • Inalcik, Halil. 1965. “Erzurum”. Encyclopaedia of Islam, jilid II. Leiden: Brill. hlm. 712.
  • Jones, Lynn. 2007. Between Islam and Byzantium: Aght’amar and the Visual Construction of Medieval Armenian Rulership. Ashgate. hlm. 1–2.
  • Kaegi, Walter Emil. 2003. Heraclius, Emperor of Byzantium. Edisi ke-2. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 145.
  • Koestler, Arthur. 1977 [terbit pertama 1976]. The Thirteenth Tribe: The Khazar Empire and Its Heritage. London: Pan Books. hlm. 18.
  • Martindale, John R.; Jones, A. H. M.; Morris, John. 1992. “Symbatius 1”. Dalam The Prosopography of the Later Roman Empire, jilid III, 527–641 M. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 1209–1211.
  • Martindale, John R.; Jones, A. H. M.; Morris, John. 1992. “Varaztiroch”. Dalam The Prosopography of the Later Roman Empire, jilid III, 527–641 M. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 1363–1364.
  • Rapp Jr., Stephen H. 2014. The Sasanian World through Georgian Eyes: Caucasia and the Iranian Commonwealth in Late Antique Georgian Literature. Farnham: Ashgate Publishing. hlm. 160.
  • Rosen, Roger; Foxx, Jeffrey Jay. 1992. The Georgian Republic. Passport Books. hlm. 34.
  • Suny, Ronald Grigor. 1994. The Making of the Georgian Nation. Bloomington: Indiana University Press. hlm. 22.
  • Ter-Ghevondyan, Aram N. 1977. Armenia and the Arab Caliphate. Yerevan: Armenian Academy of Sciences. hlm. 23–58.
  • Ter-Ghewondyan, Aram. 1976 [1965]. The Arab Emirates in Bagratid Armenia. Diterjemahkan oleh Nina G. Garsoïan. Lisbon: Livraria Bertrand.
  • Whittow, Mark. 1996. The Making of Byzantium, 600–1025. Berkeley: University of California Press. hlm. 209.
  • Wigram, W. A. 2004. An Introduction to the History of the Assyrian Church, or, The Church of the Sassanid Persian Empire, 100–640 A.D. Gorgias Press. hlm. 34.

Buku — Bagian dalam buku suntingan dan entri ensiklopedia (Sumber Latin)

  • Canard, Marius; Cahen, Claude. 1960. “Armīniya”. Dalam H. A. R. Gibb dkk. (penyunting), The Encyclopaedia of Islam, Edisi Kedua, jilid I (A–B). Leiden: E. J. Brill. hlm. 634–640. doi:10.1163/1573-3912_islam_COM_0064.
  • Garsoïan, Nina. 1997. “The Arab Invasions and the Rise of the Bagratuni (640–884)”. Dalam Richard G. Hovannisian (penyunting), The Armenian People from Ancient to Modern Times, jilid 1. New York: St. Martin’s Press.
  • Golden, Peter B. 2007. “The Conversion of the Khazars to Judaism”. Dalam Peter B. Golden, Haggai Ben-Shammai, András Róna-Tas (penyunting), The World of the Khazars: New Perspectives (Handbook of Oriental Studies, jilid 17). Leiden: Brill. hlm. 124, 135.
  • Golden, Peter B. 2007. “The Conversion of the Khazars to Judaism”. Dalam Peter B. Golden, Haggai Ben-Shammai, András Róna-Tas (penyunting), The World of the Khazars: New Perspectives (Handbook of Oriental Studies, jilid 17). Leiden: Brill. hlm. 131–133.
  • Golden, Peter B. 2007. “Khazar Studies: Achievements and Perspectives”. Dalam Peter B. Golden, Haggai Ben-Shammai, András Róna-Tas (penyunting), The World of the Khazars: New Perspectives (Handbook of Oriental Studies, jilid 17). Leiden: Brill. hlm. 13–14, 91.
  • Zuckerman, Constantine. 2007. “The Khazars and Byzantium: The First Encounter”. Dalam Peter B. Golden, Haggai Ben-Shammai, András Róna-Tas (penyunting), The World of the Khazars: New Perspectives (Handbook of Oriental Studies, jilid 17). Leiden: Brill. hlm. 417.

Jurnal (Sumber Latin)

  • Hamp, Eric P. Agustus 2013. “The Expansion of the Indo-European Languages: An Indo-Europeanist’s Evolving View”. Sino-Platonic Papers, no. 239, hlm. 8, 10, 13.
  • Olsson, Joshua T. 2013. “Coup d’état, Coronation and Conversion: Some Reflections on the Adoption of Judaism by the Khazar Khaganate”. Journal of the Royal Asiatic Society, 23(4): 495. doi:10.1017/S1356186313000266.

Buku (Sumber Armenia)

  • Kurdoghlian, Mihran. 1996. Hayots Badmoutioun (Sejarah Armenia), jilid II. Athena: Hradaragutiun Azkayin Ousoumnagan Khorhourti. hlm. 3–7.
  • Vardanyan, Vrezh M. 1978. “Թեոդորոս Ռշտունի (Theodoros Rshtuni)”. Soviet Armenian Encyclopedia, jilid IV. Yerevan: Armenian Academy of Sciences. hlm. 172.

Internet (Sumber Latin)

  • Agathangelos. History of St. Gregory and the Conversion of Armenia. Arsip: 30 September 2018. Diakses 12 Agustus 2025.
  • “Armenia first nation to adopt Christianity as a state religion”. Arsip: 11 Februari 2011. Diakses 16 Agustus 2025.
  • Garsoian, Nina. 20 Juli 2005. “SMBAT BAGRATUNI”. Encyclopaedia Iranica (iranicaonline.org). Arsip: 17 Mei 2019. Diakses 15 Agustus 2025.

Internet (Sumber Armenia)

  • «Արաբական արշավանքները Հայաստան». Arsip: 6 Maret 2016. Diakses 14 Agustus 2025.
  • «Ժամկոչյան Հ. Գ., Հայոց պատմություն». Arsip: 7 April 2019. Diakses 14 Agustus 2025.


Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Avatar photo

Tinta Emas

Selamat datang di Tinta Emas! Kami menjadi sumber berita arus utama yang memotret berbagai peristiwa di seluruh belahan dunia dengan kecermatan, keadilan dan integritas.

Dari Penulis

Perang Banda-VOC 1609–1621: Masyarakat Egaliter dan Pulau-Pulau Surgawi di Antara Permusuhan Dua Perusahaan Kapitalis

Tinggalkan Balasan