Nama

Insiden Pembantaian Keluarga Kerajaan Nepal

Durbar Hatyakanda (Nepal-Latin)

दरबार हत्याकाण्ड (Aksara Devanagari)

Darabāra hatyākāṇḍa (ALA-LC romanization)

Kasus Pembunuhan di Nepal
Tanggal1 Juni 2001
Lokasi

Tribhuvan Sadan, Narayanhiti Durbar, Kathmandu, Kerajaan Nepal

Negara

kerajaan nepal Kerajaan Nepal

Koordinat27.714806, 85.318075 (Google Maps)
TargetKeluarga Kerajaan Nepal
Jenis Serangan
  • Penembakan Massal
  • Pembunuhan Keluarga
  • Pembunuhan Bunuh Diri
  • Pembunuhan Disengaja (Regisida)
Motif Serangan
  • Cekcok, Perbedaan Pendapat
  • Rencana Pernikahan
  • Perubahan Politik di Nepal
  • Gerakan Rakyat 1990
Senjata
  • Karabin Colt Model 733
  • Senapan mesin ringan H&K MP5K 9 mm 
  • Senapan Franchi SPAS-12
  • Pistol Glock-19 9 mm
Kematian10 orang (termasuk pelaku)
Terluka4 orang 
Korban Selamat tanpa luka fisik10 orang (Hadir), 3 orang (Tidak Hadir)
PelakuDipendra Bir Bikram Shah Dev (Putra Mahkota)
Daftar Korban

Meninggal dunia:

  1. Raja Birendra
  2. Ratu Aishwarya
  3. Pangeran Dhirendra
  4. Pangeran Nirajan
  5. Kumar Khadga
  6. Putri Jayanti
  7. Putri Sharada
  8. Putri Shanti
  9. Putri Shruti

Terluka: 

  1. Putri Komal
  2. Putri Shova
  3. Kumar Gorakh
  4. Ketaki Chester
Hasil & Akibat
  • Pangeran Dipendra (Pelaku) menjadi raja Nepal
  • Raja Dipendra meninggal dunia setelah 3 hari menjabat
  • Pangeran Gyanendra dinobatkan sebagai raja Nepal
  • Protes di Nepal untuk menggulingkan rezim monarki
  • Runtuhnya Kerajaan Nepal pada 2008
  • Nepal menjadi republik

Tragedi Tragis di Istana Narayanhiti: Pembantaian Keluarga Kerajaan Nepal

Pada malam 1 Juni 2001, Istana Narayanhiti yang megah di Kathmandu, Nepal, menjadi saksi bisu salah satu tragedi paling memilukan dalam sejarah dunia. Malam itu, sembilan anggota keluarga kerajaan, termasuk Raja Birendra dan Ratu Aishwarya, dibantai dalam peristiwa yang dikenal sebagai Durbar Hatyakanda, atau pembantaian keluarga kerajaan Nepal. Lebih dari sekadar tragedi keluarga, insiden ini mengguncang fondasi monarki Nepal, memicu teori konspirasi yang hingga kini masih menjadi misteri. Pembantaian keluarga kerajaan Nepal tersebut menjadi salah satu peristiwa pembunuhan massal paling mengerikan terhadap keluarga kerajaan dalam sejarah monarki sejak peristiwa yang terjadi terhadap keluarga Romanov di Rusia pada tahun 1918.


Latar Belakang

Sosok Pangeran Dipendra

Putra Mahkota Dipendra, sosok yang kemudian dikenal sebagai dalang tragedi pembantaian kerajaan Nepal, lahir pada 27 Juni 1971, hanya tujuh bulan sebelum ayahnya dinobatkan sebagai raja Nepal. Meskipun ia menempuh pendidikan awal dan universitas di Nepal, masa remajanya sempat dihabiskan di Eton College, Inggris. Dipendra digambarkan oleh beberapa orang sebagai anak yang sopan dan berbudi baik, sementara yang lain menyebutkan bahwa ia memiliki sifat mudah marah, bahkan menunjukkan kecenderungan sadis, terutama ketika merasa diabaikan oleh orang tuanya yang sibuk dengan tugas-tugas kerajaan. Seorang ajudan istana yang telah bertugas selama 26 tahun di kerajaan pernah berkomentar pada tahun 2011, “Sejak kecil, ia mungkin tidak mendapatkan cinta yang layak ia terima sebagai seorang anak. Saya percaya itu salah satu penyebabnya.”

Ketertarikan Dipendra pada senjata api sudah terlihat sejak usia dini. Ia menerima senjata pertama pada usia delapan tahun dan bahkan pernah merampas senjata dari seorang tentara selama kunjungan bersama ayahnya ke fasilitas pelatihan militer, semata-mata karena ia menginginkannya. Sementara anggota keluarga kerajaan lainnya memiliki senjata, Dipendra sering meninggalkan senjata api berpeluru di kamarnya tanpa pengawasan, memperlakukannya seperti barang sehari-hari. Kegemarannya terhadap senjata begitu mendalam hingga ia menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk latihan menembak, sehingga suara tembakan dari kediamannya menjadi hal yang biasa bagi staf istana dan tetangga.

Menjelang ulang tahunnya yang ke-30 pada Juni 2001, tekanan dari keluarga untuk segera menikah semakin meningkat. Keluarga kerajaan bahkan telah memilihkan dua calon mempelai yang dianggap cocok untuk Dipendra. Dengan karier militernya yang cemerlang dan popularitasnya di kalangan masyarakat Nepal, pernikahan dengan pasangan yang tepat diyakini akan memperkuat posisinya sebagai pewaris takhta.

Namun, Dipendra menjadi salah satu anggota keluarga kerajaan Nepal pertama yang belum menikah saat mendekati usia 30 tahun—suatu hal yang tidak biasa di mata masyarakat Nepal. Publik pun menantikan pernikahannya dengan antusias, berharap pesta pernikahan yang akan dirayakan secara megah dan meriah.

Sayangnya, Dipendra tampaknya sudah memutuskan bahwa ia tidak akan menikah kecuali dengan wanita yang dicintainya, meski keluarganya tidak merestui hubungan tersebut. Penolakan keluarga kerajaan terhadap pilihannya, ditambah dengan perubahan konstitusi tahun 1990 yang membatasi kekuasaan monarki, sering disebut sebagai faktor utama yang memicu peristiwa tragis pembantaian kerajaan Nepal.

Perubahan Konstitusi di Kerajaan Nepal

Pada awal tahun 1959, Raja Mahendra, kakek Dipendra, menetapkan konstitusi baru untuk Nepal dan menyelenggarakan pemilihan umum demokratis pertama bagi majelis nasional. Namun, pada tahun 1960, ia menyatakan bahwa eksperimen demokrasi tersebut gagal dan mengumumkan bahwa Nepal akan diatur oleh sistem politik “tanpa partai.” Sistem ini bertahan selama tiga dekade. Setelah Mahendra meninggal pada tahun 1972, takhta beralih kepada putranya, Raja Birendra, yang melakukan sejumlah reformasi politik pada tahun 1980. Namun, reformasi tersebut tidak mampu meredakan ketidakpuasan terhadap rezim otoriter dan pembatasan kebebasan partai politik.

Pada tahun 1989, partai-partai politik yang dilarang di Nepal bersatu untuk melancarkan Gerakan Rakyat, sebuah kampanye yang menuntut demokrasi multipartai. Menanggapi hal ini, pemerintah menangkap sejumlah pemimpin partai dan melarang publikasi surat kabar oposisi pada Februari 1990. Raja Birendra kemudian menyampaikan pidato radio, menyerukan persatuan rakyat dengan monarki dan mengupayakan reformasi demokrasi melalui jalur konstitusional.

Namun, pidato tersebut gagal meredakan situasi. Pada akhir Februari, polisi menembaki demonstran, menewaskan 12 orang. Aksi protes terus berkembang, dipimpin oleh mahasiswa yang bentrok dengan polisi antihuru-hara, dan ratusan orang ditangkap. Pada awal April, bentrokan mematikan kembali terjadi di Patan, yang memicu aksi unjuk rasa besar-besaran sekitar 200.000 orang di ibu kota Kathmandu. Demonstrasi ini berujung pada tindakan brutal polisi yang menembaki pengunjuk rasa, sementara beberapa pembangkang merusak properti pemerintah, termasuk mobil perdana menteri dan patung Raja Mahendra.

Pada 8 April, Raja Birendra mencabut larangan terhadap partai politik. Gerakan Rakyat tahun 1990 menghasilkan konstitusi baru yang diresmikan pada November 1990. Raja Birendra terpaksa menyerahkan sebagian besar kekuasaannya, mengubah monarki otoriter Nepal menjadi monarki konstitusional.

Namun, reformasi tersebut dianggap tidak cukup, yang akhirnya memicu Perang Saudara Nepal (1996-2006). Konflik ini melibatkan pemerintahan kerajaan Nepal yang dilawan oleh Partai Komunis Nepal (CPN) melalui taktik perang gerilya. Perang saudara ini masih berlangsung hingga terjadinya pembantaian di istana kerajaan Nepal.


Peristiwa

Kronologi Malam Pembantaian

Pada 1 Juni 2001, Istana Narayanhiti yang merupakan kediaman resmi monarki Nepal menjadi saksi tragedi mengerikan yang dikenal sebagai Pembantaian Keluarga Kerajaan Nepal atau Durbar Hatyakanda. Dalam insiden ini, sembilan anggota keluarga kerajaan, termasuk Raja Birendra dan Ratu Aishwarya, tewas dalam penembakan massal yang terjadi saat pertemuan keluarga di istana.

Penyelidikan resmi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung Keshav Prasad Upadhyaya dan Ketua DPR Taranath Ranabhat menyimpulkan bahwa pelaku pembantaian adalah Putra Mahkota Dipendra. Ia, dalam kondisi mabuk, menembak ayahnya, Raja Birendra; ibunya, Ratu Aishwarya; adiknya, Pangeran Nirajan dan Putri Shruti; serta beberapa anggota keluarga kerajaan lainnya sebelum akhirnya menembak dirinya sendiri di kepala.

Tragedi ini bermula dari perselisihan internal saat lebih dari 20 anggota keluarga kerajaan dan bangsawan sedang berkumpul untuk makan malam di istana. Ketegangan memuncak ketika Dipendra, yang diduga sedang mabuk karena wiski, bertindak tidak sopan terhadap salah satu tamu, bahkan ia menghisap sebatang rokok ganja dengan terang-terangan, sehingga Raja Birendra memintanya meninggalkan acara.

Dari dalam kamar tidurnya, Dipendra sempat menelepon pacarnya, Devyani Rana, sebanyak tiga kali. Menurut keterangan Devyani kepada pihak berwenang, perkataan Dipendra terdengar tidak jelas selama percakapan tersebut. Namun, pada panggilan ketiga, Dipendra menyebut bahwa ia akan segera tidur. Bukannya beristirahat, Dipendra justru keluar dari kamarnya dengan mengenakan seragam militer sambil membawa tiga jenis senjata, termasuk senapan serbu M16.

Seorang ajudan istana sempat melihat Dipendra berada di puncak tangga, namun tidak menaruh kecurigaan apa pun karena Dipendra memang dikenal sebagai seorang kolektor senjata. Pada malam itu, pesta makan malam diadakan di ruang biliar Istana Narayanhiti. Karena acara tersebut bersifat pribadi, tidak ada pengawal yang ditugaskan untuk hadir.

Tak lama berselang, Dipendra kembali dengan membawa pistol dan senapan serbu M16, memulai serangan brutal yang menewaskan hampir seluruh garis suksesi keluarga kerajaan. Tragedi ini menjadi salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah Nepal modern.

Penembakan

Dipendra pertama kali mengarahkan tembakan kepada ayahnya, sang raja. Mendengar suara tembakan, para pelayan istana berusaha mendobrak pintu kaca untuk menyelamatkan anggota keluarga lainnya. Namun, aksi penembakan terus berlanjut. Setelah membunuh beberapa anggota keluarganya, Dipendra keluar ke taman untuk mencari ibunya. Adik laki-lakinya, Nirajan, dilaporkan memohon, “Jangan lakukan itu, kumohon. Jika kau ingin, bunuh aku saja.” Namun, Dipendra tetap menembak mati adiknya sebelum akhirnya membunuh ibunya.

Setelah menghabisi sembilan anggota keluarganya, pamannya mencoba menghentikan Dipendra dengan berkata, “Kamu sudah cukup membuat kerusakan, serahkan senjatanya sekarang.” Sebagai tanggapan, Dipendra menembak pamannya hingga terluka, lalu mengarahkan senjatanya kepada dirinya sendiri.


Motif

Motif Pembantaian

Motif Pangeran Dipendra melakukan pembantaian ini masih menjadi misteri, dan beragam teori telah muncul, diantaranya:

Cinta Tidak Direstui

Saat masih remaja, Dipendra sempat jatuh cinta kepada sepupu jauhnya. Namun, ibunya menolak hubungan tersebut dan memutuskan untuk mengirimnya ke Eton College di Inggris. Di sekolah tersebut, Dipendra bertemu dengan Devyani Rana, seorang gadis yang berasal dari salah satu keluarga terkaya di Nepal. Bagi Dipendra, pertemuan itu menjadi cinta pada pandangan pertama. Meski begitu, keluarga kerajaan dengan tegas menentang hubungan mereka.

Latar belakang keluarga Devyani diketahui menjadi salah satu alasan penolakan, karena kakek buyutnya merupakan perdana menteri terakhir dari dinasti Rana di Nepal, sementara neneknya dari pihak ibu adalah mantan bangsawan India. Kekhawatiran muncul bahwa pernikahan dengan Devyani dapat mengurangi wibawa keluarga kerajaan Nepal atau bahkan menempatkannya di bawah pengaruh kekuatan asing.

Meskipun Devyani berasal dari keluarga yang sangat kaya, status kastanya dianggap lebih rendah dibandingkan keluarga kerajaan Nepal, sehingga ia dianggap tidak pantas menjadi calon ratu. Menurut rumor, ketika ibu Devyani bertemu dengan Ratu Aishwarya, sang ratu dikabarkan menyampaikan kekhawatirannya bahwa Devyani, yang terbiasa hidup dalam kemewahan, mungkin merasa standar hidupnya menurun jika menikah dengan keluarga kerajaan Nepal. Raja Birendra juga menentang hubungan tersebut dan bahkan memperingatkan Dipendra bahwa ia akan kehilangan status sebagai pewaris tahta jika tetap memutuskan untuk menikahi Devyani.

Keluarga kerajaan Nepal memiliki calon istri lain untuk Dipendra, yakni dari cabang utama dinasti Rana Nepal, garis Chandra Shumsher. Penolakan ini memicu perselisihan besar antara Dipendra dan ibunya, Ratu Aishwarya. Menurut laporan BBC, cekcok mengenai rencana pernikahan inilah yang menjadi pemicu tragedi. Dipendra, yang sakit hati karena ibunya tidak merestui hubungannya dengan Devyani, akhirnya meluapkan kemarahannya dengan cara tragis.

Hubungan antara Dipendra dan Devyani sendiri dimulai pada 1990 ketika keduanya bertemu di Inggris saat menempuh pendidikan di Eton College. Namun, baik istana maupun keluarga Devyani awalnya tidak mengetahui hubungan ini hingga Dipendra mengutarakan keinginannya untuk menikahi Devyani beberapa tahun kemudian. Hubungan ini mendapat penolakan dari kedua keluarga. Selain itu, nenek Dipendra dilaporkan pernah menghubungi ibu Devyani, yang dengan tegas menyebutkan bahwa keluarga kerajaan Nepal terlalu miskin, tanpa mengetahui bahwa putrinya memiliki hubungan dengan sang putra mahkota. Pernyataan ini semakin memperuncing ketegangan antara Dipendra dan keluarganya.

Revolusi Rakyat 1990

Teori lain mengemukakan bahwa pernikahan Dipendra dan Devyani dapat membuka jalan bagi pengaruh India yang lebih besar di Nepal, yang ditentang oleh pihak istana. Ada juga dugaan bahwa Dipendra tidak puas dengan perubahan politik Nepal dari monarki absolut menjadi monarki konstitusional setelah Gerakan Rakyat 1990.

Putra Mahkota Dipendra tidak hanya menghadapi larangan untuk menikahi wanita yang dicintainya, tetapi juga menyimpan kemarahan yang mendalam terhadap keputusan ayahnya, Raja Birendra, dalam mewariskan sistem monarki konstitusional. Beberapa pendapat menyatakan bahwa Dipendra merasa kecewa karena monarki Nepal telah kehilangan sebagian besar kekuasaannya yang absolut setelah Gerakan Rakyat 1990. Reformasi politik yang mengubah monarki dari otoriter menjadi konstitusional membuat kekuasaan raja menjadi lebih terbatas dan sebagian besar diambil alih oleh pemerintah dan parlemen.

Bagi Dipendra, perubahan ini mungkin dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap kejayaan monarki yang telah lama menjadi simbol kekuasaan mutlak di Nepal. Dia mungkin merasa bahwa keputusan ayahnya untuk menyerahkan sebagian besar kekuasaan kepada rakyat melalui konstitusi telah melemahkan institusi kerajaan. Kekecewaannya diperparah oleh situasi politik yang terus memburuk, termasuk Perang Saudara Nepal yang dipimpin oleh kelompok Maois. Konflik ini semakin menyoroti ketidakmampuan monarki untuk memulihkan stabilitas penuh di Nepal, sehingga menggerus kepercayaan publik terhadap kekuasaan kerajaan.

Ketidakpuasan ini, jika digabungkan dengan tekanan pribadi dan politik, bisa saja menciptakan ledakan emosi yang sulit dikendalikan. Penolakan terhadap hubungan pribadinya dengan Devyani Rana—yang tidak direstui oleh keluarga kerajaan maupun keluarga Devyani—menambah beban psikologisnya. Dalam pandangan Dipendra, dia mungkin merasa terjebak dalam dilema yang sulit: kehilangan cinta dan martabat pribadi sekaligus menyaksikan kehancuran simbol kekuasaan keluarganya.

Namun, tanpa bukti pasti, motivasi sebenarnya di balik tindakan Dipendra pada malam tragedi pembantaian di Istana Narayanhiti tetap menjadi perdebatan. Banyak teori yang mencoba menjelaskan alasan di balik tragedi ini, mulai dari faktor tekanan pribadi hingga pengaruh kondisi politik yang lebih besar. Yang jelas, insiden ini menjadi momen kritis dalam sejarah Nepal yang tidak hanya mengguncang institusi monarki tetapi juga mempercepat runtuhnya sistem kerajaan di negara tersebut.


Pemakaman dan Penyelidikan

Pemakaman dan Penobatan Raja Baru

Keesokan harinya setelah pembantaian, anggota keluarga kerajaan yang tewas diberikan upacara pemakaman negara dan dikremasi di depan Kuil Pashupatinath. Meski dalam keadaan koma, Dipendra sempat dinyatakan sebagai Raja Nepal, tetapi ia meninggal dunia pada 4 Juni 2001. Selama tiga hari sebelum kematiannya, Gyanendra diangkat sebagai wali, dan setelah Dipendra meninggal, Gyanendra secara resmi naik takhta sebagai raja.

Pada 4 Juni, jam malam diberlakukan di Kathmandu. Meskipun demikian, kerusuhan tetap pecah. Tiga demonstran tewas akibat tembakan, sementara pada malam berikutnya, empat belas orang lainnya mengalami luka tembak. Selain itu, sebanyak 460 orang ditangkap karena melanggar aturan jam malam.

Pada saat Dipendra masih hidup namun tidak sadarkan diri, Gyanendra sempat menyatakan bahwa insiden tragis tersebut terjadi akibat “senjata otomatis yang tidak sengaja meletus” di dalam istana. Ia kemudian menjelaskan bahwa pernyataan tersebut dibuat karena adanya “hambatan hukum dan konstitusional,” mengingat tradisi dan konstitusi Nepal melarang menjerat seorang raja dengan tuduhan pembunuhan jika ia selamat.

Pada 12 Juni 2001, sebuah ritual Hindu bernama katto diadakan untuk secara simbolis mengusir roh Raja Birendra yang telah meninggal dari Nepal. Dalam ritual ini, seorang pendeta Hindu bernama Durga Prasad Sapkota mengenakan pakaian yang melambangkan mendiang Raja Birendra. Ia menaiki seekor gajah dan meninggalkan Kathmandu menuju pengasingan simbolis, membawa berbagai barang milik sang raja sebagai bagian dari prosesi tradisional tersebut.

Penyelidikan dan Kekacauan di Nepal

Penyelidikan resmi atas pembantaian ini dilakukan oleh sebuah komite yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung Keshav Prasad Upadhyaya dan Ketua DPR Taranath Ranabhat. Penyelidikan berlangsung selama seminggu dan melibatkan wawancara dengan lebih dari seratus orang, termasuk saksi mata, pejabat istana, penjaga, serta staf. Berdasarkan hasil penyelidikan, Dipendra dinyatakan bertanggung jawab sebagai pelaku penembakan. Namun, banyak pihak, baik dari dalam maupun luar Nepal, meragukan kebenaran kesimpulan tersebut.

Tragedi ini semakin memperburuk situasi politik yang sudah kacau akibat pemberontakan Maois. Ketika Gyanendra naik takhta, monarki Nepal kehilangan banyak dukungan dari rakyat. Banyak yang menganggap bahwa pembantaian keluarga kerajaan menjadi titik awal keruntuhan monarki Nepal.


Teori Konspirasi dan Spekulasi Masyarakat

Teori Konspirasi yang Beredar

Raja Birendra dan Putra Mahkota Dipendra sangat populer dan dihormati oleh masyarakat Nepal. Ketika pembantaian terjadi, Gyanendra sedang berada di Pokhara, sementara anggota keluarga kerajaan lainnya menghadiri jamuan makan malam. Istri Gyanendra, Komal, bersama anak-anaknya, Paras dan Prerana, berada di salah satu ruangan di istana saat peristiwa tersebut berlangsung. Meski seluruh keluarga Birendra dan Dipendra tewas dalam insiden itu, tidak ada anggota keluarga Gyanendra yang kehilangan nyawa. Putranya, Paras, hanya mengalami luka ringan, sedangkan istrinya, Komal, terkena luka tembak serius tetapi berhasil selamat. Keadaan ini menimbulkan berbagai teori konspirasi.

Pushpa Kamal Dahal (Prachanda), ketua Partai Maois Nepal, dalam sebuah pertemuan publik mengklaim bahwa pembantaian tersebut direncanakan oleh Indian Research and Analysis Wing (RAW) dan Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat. Beberapa saksi mata menyebutkan bahwa ada “orang-orang bertopeng menyerupai Dipendra” yang terlihat di lokasi kejadian. Bahkan, jenazah beberapa anggota keluarga kerajaan ditemukan di area lain di istana, bukan di ruang makan, dan Dipendra dikabarkan menjadi salah satu yang pertama ditembak. Buku berjudul Raktakunda, yang didasarkan pada wawancara dua pelayan istana, juga mengulas teori-teori ini. Beberapa pihak menuduh bahwa Gyanendra terlibat dalam pembantaian agar dapat merebut takhta, yang hanya mungkin jika Dipendra dan Nirajan, kedua keponakannya, disingkirkan dari garis suksesi.

Selain itu, Gyanendra dan putranya Paras diketahui kurang populer di kalangan masyarakat. Salah satu saksi mata, Lal Bahadur Magar, yang juga merupakan pengawal Dipendra, menyatakan bahwa Paras adalah dalang utama pembantaian ini. Klaim lain menyebutkan bahwa pelakunya bukan Dipendra, melainkan seseorang yang menyamar menggunakan topeng mirip dirinya. Ada pula tuduhan bahwa Paras mencabut ventilator Dipendra di rumah sakit. Teori lain menyebutkan bahwa 900 orang tewas di istana malam itu, dan jam malam diberlakukan untuk membuang jenazah mereka secara diam-diam. Bahkan, beberapa rumor menyebut pasokan air dan susu di Kathmandu diracuni.

Meskipun teori-teori ini terus berkembang, tidak ada bukti yang dapat dipercaya yang mendukung klaim tersebut. Beberapa menuduh tokoh-tokoh seperti Ketaki Chester, Upendra Devkota, atau bahkan tentara Nepal sebagai pelaku pembantaian, tetapi semuanya tetap tidak terbukti.

Dipendra sendiri mengalami koma sejak 1 Juni hingga 4 Juni 2001, setelah mengalami luka tembak di kepala. Dalam kondisi koma, ia secara simbolis dinyatakan sebagai Raja Nepal menggantikan ayahnya, Raja Birendra, yang tewas dalam insiden itu. Penobatan ini dilakukan oleh Badan Penasehat Kerajaan (Raj Parishad), yang terdiri dari perdana menteri, ketua pengadilan, dan panglima angkatan bersenjata, setelah secara resmi mengumumkan kematian Raja Birendra kepada publik. Namun, karena Dipendra tidak dapat menjalankan tugas kenegaraan, Raj Parishad menunjuk Gyanendra, adik Raja Birendra, sebagai pemangku takhta. Setelah Dipendra meninggal pada 4 Juni 2001, Gyanendra resmi diangkat sebagai Raja Nepal.

Bagi sebagian besar masyarakat Nepal, tragedi penembakan di Istana Narayanhiti tetap menjadi misteri yang belum sepenuhnya terpecahkan. Banyak yang meragukan bahwa Dipendra, yang dikenal sebagai sosok santun dan tenang, mampu melakukan tindakan kekerasan sebesar itu. Kecurigaan pun mengarah kepada Gyanendra, satu-satunya anggota keluarga kerajaan yang lolos tanpa cedera dalam insiden tersebut.

Setelah kematian Dipendra, Gyanendra diangkat kembali sebagai Raja Nepal, kali ini menggantikan keponakannya. Namun, masa kekuasaan Gyanendra hanya berlangsung selama tujuh tahun, dari tahun 2001 hingga 2008. Penobatan Gyanendra sebagai raja memunculkan berbagai teori konspirasi, salah satunya adalah tuduhan bahwa pembantaian tersebut dirancang oleh dinas rahasia India dan Amerika Serikat dengan Gyanendra sebagai dalangnya. Mantan Duta Besar Nepal untuk India, Chakra Prasad Bastola, menyatakan bahwa Gyanendra mungkin memiliki peran dalam insiden tersebut, mengingat ia adalah satu-satunya pihak yang mendapatkan keuntungan dari tragedi ini. Selain itu, keberadaan Gyanendra yang tidak berada di istana saat kejadian, sementara istri dan putrinya selamat, menambah kecurigaan masyarakat.

Pembantaian ini menyisakan banyak kontroversi dan pertanyaan yang belum terjawab, bahkan setelah monarki Nepal dihapuskan melalui revolusi 2006. Beberapa kejanggalan yang diperdebatkan meliputi tidak adanya pengamanan ketat dalam acara tersebut, absennya Pangeran Gyanendra (paman Dipendra yang kemudian naik takhta), serta fakta bahwa luka tembak pada pelipis kiri Dipendra, yang diduga bunuh diri, tidak sesuai karena ia diketahui kidal. Selain itu, penyelidikan yang berlangsung hanya dua minggu tanpa analisis forensik mendalam—meskipun Scotland Yard sempat menawarkan bantuan—menambah kecurigaan terhadap tragedi ini.

Kejanggalan:

  1. Ketidakhadiran Gyanendra
    Pangeran Gyanendra, paman Dipendra yang kemudian menjadi raja, tidak berada di tempat kejadian saat tragedi berlangsung. Ia dikabarkan sedang berada di Pokhara, sementara keluarganya yang berada di istana selamat dari tragedi tersebut.
  2. Durasi Penyelidikan yang Singkat
    Penyelidikan resmi hanya berlangsung selama dua minggu tanpa analisis forensik yang mendalam. Padahal, tim dari Scotland Yard telah menawarkan bantuan untuk melakukan investigasi lebih menyeluruh.
  3. Teori Keterlibatan Gyanendra
    Sebagian besar teori konspirasi mengarah kepada Gyanendra sebagai dalang di balik pembantaian ini. Banyak yang beranggapan bahwa Gyanendra ingin naik takhta, dan pembantaian ini membuka jalan baginya.
  4. Kesaksian Saksi Mata
    Beberapa saksi mata mengklaim bahwa pelaku sebenarnya adalah seseorang yang mengenakan topeng mirip wajah Dipendra. Bahkan, ada klaim bahwa Paras, putra Gyanendra, memanipulasi ventilator Dipendra di rumah sakit agar ia meninggal lebih cepat.

Akibat

Rezim Monarki Digulingkan

Pemerintahan Gyanendra ternyata tidak berjalan mulus. Ketidakpercayaan publik terhadapnya terus meningkat, yang menjadi pemicu utama keruntuhan monarki di Nepal. Sejak Gyanendra mulai memerintah pada tahun 2001, gelombang protes terhadap sistem monarki semakin meluas, terutama oleh kelompok gerilyawan Maois. Mereka menjadi motor penggerak resolusi yang bertujuan menghapus sistem kerajaan dan menggantinya dengan republik.

Gaya Pemerintahan Raja Gyanendra

Pemerintahan Raja Gyanendra dimulai dengan ketidakpercayaan dari masyarakat Nepal, yang tidak memiliki sikap baik terhadapnya seperti terhadap kakak laki-lakinya. Pada Mei 2002, Gyanendra mendukung Perdana Menteri yang dipilih secara populer, Sher Bahadur Deuba, ketika Deuba membubarkan parlemen yang dipilih pada tahun 1999. Namun, pada Oktober 2002, Gyanendra memberhentikan Deuba dan mengambil alih kekuasaan pemerintahan sepenuhnya. Antara 2002 dan 2005, Gyanendra mengganti tiga perdana menteri yang gagal mengadakan pemilu dan mengajak pemberontak CPN untuk berdiskusi. Pada 1 Februari 2005, setelah Deuba diberhentikan untuk kedua kalinya, Gyanendra memegang kendali absolut atas Nepal, dengan janji bahwa negara akan kembali normal dalam waktu 36 bulan.

Pemerintahan Gyanendra sangat berbeda dengan gaya pemerintahan kakaknya. Meskipun berjanji untuk membawa “perdamaian dan demokrasi yang efektif,” ia menekan perbedaan pendapat dan membatasi kebebasan sipil. Pada April 2006, CPN dan aliansi tujuh partai lainnya mengadakan protes dan pemogokan di Kathmandu untuk menentang pemerintahan langsung Gyanendra. Penindasan terhadap demonstrasi, rapat umum, dan pawai semakin meningkat sejak 5 April, dengan sembilan belas orang tewas dan lebih dari seribu orang terluka pada 24 April.

Pada 21 April, ketika ratusan ribu demonstran melakukan pawai di Kathmandu, Gyanendra mengumumkan akan mengembalikan kekuasaan politik kepada rakyat dan meminta Aliansi Tujuh Partai (SPA) untuk membentuk pemerintahan. SPA dan CPN menolak tawaran ini, karena dianggap tidak sesuai dengan tujuan mereka. Tiga hari kemudian, pada 24 April 2006, Gyanendra mengembalikan Parlemen Nepal yang sebelumnya dibubarkan. SPA menerima tawaran ini, meskipun CPN tidak. Namun, pemberontak Maois (yang bersekutu dengan CPN) menerima gencatan senjata tiga bulan dalam Perang Saudara Nepal. Pada 18 Mei, Parlemen baru mencabut banyak kekuasaan Raja Gyanendra.

Gyanendra Menjadi Pemimpin Boneka

Gyanendra tetap bertahan sebagai pemimpin boneka selama dua tahun berikutnya, sementara pemerintah transisi mengambil langkah-langkah untuk membentuk pemerintahan yang lebih permanen dan merencanakan penghapusan monarki. Pada 28 Mei 2008, Nepal mendeklarasikan dirinya sebagai republik demokrasi federal dan menghapuskan monarki Nepal.

Puncaknya, pada 29 Mei 2008, Majelis Konstitusi Nepal mengadakan sidang dan memutuskan untuk mengubah bentuk pemerintahan Nepal dari monarki menjadi republik. Resolusi tersebut disetujui oleh 560 anggota dan hanya ditolak oleh empat anggota. Pada 28 Mei 2008, Nepal secara resmi meninggalkan sistem kerajaan dan menjadi negara republik federal.

Dengan perubahan tersebut, Nepal tidak lagi dipimpin oleh raja, melainkan oleh seorang presiden. Pada 23 Juli 2008, Ram Baran Yadav dilantik sebagai presiden pertama Nepal, menandai akhir dari sejarah Kerajaan Nepal yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Tragedi pembantaian keluarga kerajaan Nepal pada tahun 2001 menjadi awal dari runtuhnya sistem monarki di negara tersebut. Meskipun Raja Birendra diterima dengan baik oleh sebagian besar rakyat Nepal, hal yang sama tidak berlaku untuk saudara laki-lakinya. Peristiwa tragis yang melibatkan Putra Mahkota Dipendra itu tercatat sebagai salah satu pembunuhan massal paling mengejutkan terhadap keluarga kerajaan, setelah eksekusi keluarga Romanov di Rusia pada tahun 1918.


Ramalan Kuno

Ramalan Runtuhnya Kerajaan Nepal

Runtuhnya sistem monarki di Nepal ternyata telah diramalkan berabad-abad sebelumnya. Ramalan ini berasal dari masa ketika Prithvi Narayan Shah tengah menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil dalam usahanya menyatukan Lembah Kathmandu.

Menurut kisah legenda, suatu hari Prithvi bertemu dengan seorang yogi yang sedang bermeditasi di dalam hutan. Sebagai tanda penghormatan, Prithvi menawarkan dadih (susu kental) kepada yogi tersebut. Namun, yogi itu memuntahkan dadih tersebut dan meminta Prithvi untuk meminumnya kembali sebagai bentuk persembahan. Merasa jijik, Prithvi menolak dan malah membuang dadih itu ke tanah. Aliran dadih tersebut menetes ke sepuluh jari kakinya. Tindakan ini membuat yogi itu marah, dan ia mengutuk bahwa dinasti kerajaan yang dibangun oleh Prithvi akan berakhir setelah sepuluh generasi.

Ramalan tersebut akhirnya menjadi kenyataan. Kerajaan Nepal, yang didirikan oleh Prithvi Narayan Shah, mengalami kejatuhan ketika Raja Gyanendra—generasi kesebelas dari Dinasti Shah—memimpin. Sistem monarki yang telah bertahan selama ratusan tahun akhirnya runtuh, menandai akhir dari salah satu kerajaan kuno di dunia.

Tragedi ini, yang melibatkan pembantaian keluarga kerajaan hingga runtuhnya monarki, menyimpan banyak cerita kelam dan kontroversi



Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Amrullah

Amrullah (Founder Tinta Emas)

Lainnya dari Penulis

+ There are no comments

Add yours

Tinggalkan Balasan