Pembacaan Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Klaim Kemerdekaan Indonesia

Pembacaan Proklamasi 17 Agustus 1945 lahir dari jeda sejarah yang terbuka: ledakan di Hiroshima (6/8) dan Nagasaki (9/8), Uni Soviet masuk perang (8/8), lalu pidato Kaisar Hirohito (15/8) menerima Deklarasi Potsdam yang menciptakan vakum kekuasaan di Hindia; momentum itu ditangkap para pemuda—puncaknya Rengasdengklok—yang mendesak Soekarno–Hatta memutuskan nasib bangsa tanpa menunggu Jepang; naskah proklamasi pun dirumuskan di rumah Laksamana Maeda, diketik Sayuti Melik, dan pagi hari dibacakan di Pegangsaan Timur 56 sebagai pernyataan politik kedaulatan; esoknya, 18/8, PPKI mengonstitusikan kemerdekaan lewat pengesahan UUD 1945 serta pengangkatan Soekarno–Hatta, mengubah seruan merdeka menjadi tata negara yang sah.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan Ir. Soekarno, didampingi Drs. Mohammad Hatta, pada Jumat, 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi di Pegangsaan Timur 56, Jakarta (kini Jalan Proklamasi). (Gambar: Frans Mendur/Domain Publik)

Latar Global: “Jendela” yang Terbuka Setelah Hiroshima–Nagasaki

Awal Agustus 1945 menjadi titik balik perang Pasifik. Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima (6 Agustus) dan Nagasaki (9 Agustus). Dua serangan ini, disusul deklarasi perang Uni Soviet terhadap Jepang pada 8 Agustus dan invasi ke Manchuria, mengguncang pusat kekuasaan Tokyo dan menutup opsi diplomasi bertahap yang semula diharapkan Jepang. Akumulasi tekanan—bom atom dan masuknya Soviet—menjadi faktor kunci yang mendorong elite Jepang menerima syarat-syarat Sekutu dalam Deklarasi Potsdam. Pada 10 Agustus pemerintah Jepang menyatakan kesediaan menerima syarat itu; pada 15 Agustus 1945 Kaisar Hirohito menyiarkan pidato radio tengah hari yang menegaskan penerimaan deklarasi dan berakhirnya perang. Momentum inilah yang dibaca kaum nasionalis di Jakarta sebagai celah untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Hiroshima, Japan. 1945-08-06. The white `mushroom' cloud rising after ...
Bom di Hisroshima. (Gambar: Domain Publik)

Resonansi di Jakarta: Dari Kabar Kapitulasi ke Desakan Proklamasi

Kabar kekalahan Jepang mengeras di Jakarta pada 15 Agustus malam. Kelompok pemuda menuntut proklamasi segera—lepas dari struktur dan “skenario” Jepang—karena melihat terbukanya kekosongan kekuasaan (vacuum of power). Perdebatan memanas di rumah Soekarno di Pegangsaan Timur 56, lalu berujung pada peristiwa Rengasdengklok: dini hari 16 Agustus, Soekarno–Hatta dibawa pemuda agar tidak terpengaruh otoritas Jepang dan didesak memproklamasikan kemerdekaan secepatnya. Sore harinya, Ahmad Soebardjo datang memberi jaminan bahwa proklamasi diumumkan 17 Agustus selambatnya pukul 12.00; Soekarno–Hatta pun kembali ke Jakarta pada malam itu.

Perumusan Naskah: Rumah Maeda sebagai Ruang Politik “Netral”

Tiba di Jakarta menjelang tengah malam 16/17 Agustus, rombongan langsung menuju kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1—tempat yang dipandang aman/“netral” oleh para pemimpin Indonesia. Di sana draf proklamasi disusun oleh Soekarno dengan masukan Mohammad Hatta dan Ahmad Soebardjo; sejumlah tokoh muda hadir. Setelah naskah tulisan tangan selesai, Sayuti Melik mengetik ulang sambil melakukan beberapa penyesuaian ejaan dan penegasan redaksional, misalnya mengubah “hal2” menjadi “hal-hal” dan frasa penutup dari “Wakil2 bangsa Indonesia” menjadi “Atas nama Bangsa Indonesia” atas usul Sukarni, disertai penandatanganan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta.

Keputusan Tempat dan Waktu: Menghindari Insiden Bersenjata

Sempat muncul gagasan upacara di Lapangan Ikada. Soekarno menolak karena berisiko memicu bentrokan dengan aparat Jepang. Diputuskan pembacaan di halaman rumah Soekarno, Pegangsaan Timur 56, pada pukul 10.00 pagi 17 Agustus 1945—lebih terkendali, cepat, dan simbolik: rakyat menyatakan kedaulatannya di ruang sipil, bukan di instalasi militer. Hatta pun berpesan kepada pemuda yang bekerja di pers dan kantor berita untuk segera memperbanyak serta menyiarkan naskah proklamasi ke seluruh dunia selepas dibacakan.

Baca Juga: Perang Banda-VOC 1609–1621: Masyarakat Egaliter dan Pulau-Pulau Surgawi di Antara Permusuhan Dua Perusahaan Kapitalis – Tinta Emas

Detik-Detik 17 Agustus 1945: Membaca, Mengerek, Menyebarkan

Pagi itu suasana di Pegangsaan Timur 56 padat dan tegang. Peralatan pengeras suara dipasang; tiang bendera darurat dari sebatang bambu ditegakkan; sang merah putih karya Fatmawati disiapkan. Menjelang pukul 10.00, Soekarno—yang sempat kurang sehat pada malam sebelumnya—datang berbusana putih-putih bersama Mohammad Hatta. Naskah proklamasi dibacakan, disusul pidato singkat Soekarno. Upacara pengibaran bendera berlangsung sederhana; esensinya politis: mengumumkan ke dunia lahirnya negara berdaulat di tengah runtuhnya tatanan kolonial. Jaringan pers lalu memperbanyak dan menyiarkan kabar proklamasi (antara lain melalui kantor berita Domei) sehingga kabar kemerdekaan menjalar lintas kota.

Pidato dan Teks Proklamasi

Saudara-saudara sekalian,

Saya telah minta saudara-saudara hadir disini untuk menyaksikan satu peristiwa mahapenting dalam sejarah kita.Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjoang, untuk kemerdekaan tanah air kita bahkan telah beratus-ratus tahun! Gelombang aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya dan ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita.

Juga di dalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti-hentinya. Di dalam zaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka, tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga sendiri, tetapi kita percaya kepada kekuatan sendiri.

Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil sikap nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya.

Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarat dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seia sekata berpendapat bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.

Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah proklamasi kami:

P R O K L A M A S I

Kami, bangsa Indonesia, dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05

Atas nama bangsa Indonesia,

Soekarno/Hatta.

Konsolidasi Politik Pasca-Proklamasi

Sehari kemudian, 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945, memilih Soekarno–Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan bentuk negara dan atribut konstitusional lainnya—tahap krusial mengubah deklarasi menjadi pemerintahan. Dalam proses itu, frasa “tujuh kata” Piagam Jakarta disesuaikan/dihapus demi menjaga persatuan nasional dalam masyarakat majemuk. Rangkaian keputusan ini menegaskan bahwa proklamasi bukan akhir, melainkan pembuka bagi pembentukan institusi kenegaraan yang sah secara hukum.

Garis Waktu Singkat

  • 6 & 9 Agustus 1945 – Bom atom di Hiroshima dan Nagasaki; 8 Agustus Soviet masuk perang; 10 Agustus Jepang menyatakan menerima syarat Potsdam; 15 Agustus (12.00 JST) pidato radio Kaisar Hirohito umumkan penerimaan deklarasi.
  • 15–16 Agustus (Jakarta) – Pemuda mendesak proklamasi; Rengasdengklok; Soebardjo menjamin proklamasi 17 Agustus; larut malam kembali ke Jakarta, menuju rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan teks.
  • Dini hari 17 AgustusSayuti Melik ketik naskah dengan penyesuaian redaksi; penandatanganan oleh Soekarno–Hatta.
  • Pukul ±10.00, 17 Agustus – Proklamasi dibacakan di Pegangsaan Timur 56; bendera karya Fatmawati dikibarkan; penyebaran berita melalui jaringan pers dan Domei.
  • 18 AgustusPPKI sahkan UUD 1945, pilih Presiden–Wakil Presiden, dan lakukan penyesuaian atas Piagam Jakarta demi integrasi nasional.

Mengapa Hiroshima–Nagasaki Penting bagi Proklamasi?

Dari perspektif politik internasional, pembacaan proklamasi terjadi tepat ketika otoritas militer Jepang di Hindia runtuh oleh keputusan Tokyo menerima syarat sekutu. Ledakan di Hiroshima–Nagasaki mempercepat delegitimasi perang di mata publik Jepang dan elitnya; masuknya Soviet mematikan opsi negosiasi berbasis penengahan Moskow yang semula diharap Tokyo. Kombinasi faktor inilah yang menciptakan “jeda” kekuasaan—cukup bagi para pemimpin Indonesia mengambil keputusan sepihak, menegakkan prinsip self-determination, lalu meletakkan fondasi konstitusional melalui PPKI.

Sumber

  • Encyclopaedia Britannica. “Atomic Bombings of Hiroshima and Nagasaki.” Encyclopaedia Britannica. Diakses 17 Agustus 2025. Encyclopedia Britannica
  • Kementerian Sekretariat Negara RI. “Membuka Catatan Sejarah: Detik-Detik Proklamasi, 17 Agustus 1945.” Setneg.go.id, 17 Agustus 2019. Diakses 17 Agustus 2025. Setneg
  • HISTORY.com Editors. “Soviets Declare War on Japan, Invade Manchuria the Next Day.” History.com, pertama terbit 6 Agustus 2010; diperbarui 27 Mei 2025. Diakses 17 Agustus 2025. HISTORY

Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Avatar photo

Tinta Emas

Selamat datang di Tinta Emas! Kami menjadi sumber berita arus utama yang memotret berbagai peristiwa di seluruh belahan dunia dengan kecermatan, keadilan dan integritas.

Dari Penulis

Penaklukan Muslim atas Armenia dan Pengaruhnya: Dari Khalifah Rasyidin hingga Kebangkitan Ani dan Vaspurakan

Naskah Legendaris Nusantara yang Diakui UNESCO Memory of the World

Tinggalkan Balasan