Rasa lapar akan kejayaan, keyakinan pada takdir besar, dan ego tanpa batas: Dominic Sandbrook dari podcast The Rest is History menelusuri bagaimana pahlawan laut terbesar Inggris ini ditempa dari kain yang sama dengan legenda Aleksander Agung…

Laksamana Horatio Nelson adalah salah satu tokoh paling disegani dalam sejarah militer Inggris. Seorang jenius maritim sekaligus pahlawan nasional, kepemimpinannya dalam Pertempuran Trafalgar pada 1805 — dan sepanjang Perang Napoleon pada umumnya — memastikan Inggris tetap berjaya di lautan, sebuah dominasi yang bertahan lebih dari seratus tahun.
Namun menurut sejarawan dan pembawa acara podcast The Rest is History, Dominic Sandbrook, status Nelson sebagai komandan yang luar biasa bukanlah misteri. Sandbrook berpendapat, kuncinya terletak pada melihat Nelson sebagai sosok yang sepenuhnya dikendalikan oleh ambisi besar, terobsesi pada kejayaan, dan tak pernah puas dengan pencapaiannya sendiri.
Apakah Sejak Awal Nelson Sudah Ditakdirkan Jadi Bintang Sejarah?
Laksamana Nelson, sama seperti Aleksander Agung, punya ambisi besar untuk membentuk legenda hidupnya sendiri. Lahir pada 1758 sebagai anak keenam dari sebelas bersaudara, Nelson sudah bergabung dengan Angkatan Laut di usia 12 tahun. Tak butuh waktu lama sampai ia mulai memandang dirinya sebagai sosok penting dalam sejarah, kata Sandbrook — seseorang yang namanya akan terus diingat berabad-abad kemudian.
“Dia punya naluri ‘bintang panggung’, melihat dirinya sendiri sebagai tokoh utama cerita, dan sejak usia muda dia memang bertekad menjadikan dirinya pusat cerita itu,” jelas Sandbrook.
Dorongan haus pengakuan ini membuat Nelson terus menuntut lebih dan lebih. Bagi sang laksamana, tak ada gelar, hadiah, atau penghargaan apa pun yang terasa cukup sebanding dengan prestasi besarnya.
“Dia selalu tak sabar menjemput kejayaan. Setiap penghargaan dari pemerintah selalu dianggapnya masih kurang. Gelar kebangsawanannya tidak cukup, dia ingin gelar yang lebih tinggi. Dia mau rumah pedesaan megah — segalanya harus lebih,” lanjut Sandbrook.
Bangsa Yunani Kuno bahkan punya istilah untuk ambisi tanpa henti seperti ini. “Orang Yunani berkata bahwa Aleksander Agung punya sesuatu yang disebut pothos — semacam kerinduan, rasa lapar batin, sekaligus mimpi yang membuatnya tak pernah puas dan selalu terdorong untuk melampaui batas,” kata Sandbrook.
Nelson, menurut Sandbrook, juga punya sifat yang sama. Ketika kebanyakan orang sudah cukup puas dengan satu kemenangan, Nelson justru sudah memikirkan kemenangan berikutnya. Bahkan di ambang maut setelah kemenangan di Trafalgar, Nelson tetap menghitung kemenangan dan terus memasang harapan baru.
“Nelson punya banyak kelemahan dan dia jauh dari kata sempurna,” ujar Sandbrook. “Dia benar-benar monster egotisme. Dia begitu terobsesi dengan dirinya sendiri. Bayangkan betapa melelahkannya berurusan dengan orang seperti dia — karena segalanya harus selalu tentang dia.”
Baca Juga: Kekeringan Picu Pemberontakan Besar terhadap Kekuasaan Romawi di Britania – Tinta Emas
Rasa Takdir yang Membakar
Bukan hanya keyakinan pada kemampuannya yang memacu Nelson. Menurut Sandbrook, sang laksamana juga punya visi besar tentang tempatnya di panggung sejarah.
Banyak orang sezaman Nelson yang kewalahan menghadapi sosoknya yang seolah lebih besar dari kehidupan itu sendiri. Egonya, rasa laparnya akan pengakuan, dan hasratnya membangun mitos pribadi membuatnya kadang sulit diajak bekerja sama.
“Kita tahu dia punya rasa romantis tentang takdirnya sendiri,” kata Sandbrook — meski hal itu sering menimbulkan masalah bagi orang-orang di sekitarnya. “Tokoh-tokoh besar dalam sejarah memang kerap memiliki ego yang luar biasa besar, dan itu sering membuat atasan Nelson merasa jengah.”
Justru kombinasi antara ambisi tanpa henti, keyakinan diri yang kokoh, dan kesadaran akan posisi historisnya itulah yang, menurut Sandbrook, membentuk Nelson jadi pemimpin hebat — mirip dengan Aleksander Agung.
Tanpa dorongan membara, keyakinan penuh pada kebesarannya, dan penolakan untuk puas sebelum mencapai puncak tertinggi, Nelson mungkin tak akan pernah meraih kemenangan laut yang menopang kejayaan Inggris.
Nelson: Aleksander Agung Versi Inggris?
Di mata Sandbrook, baik Nelson maupun Aleksander Agung adalah figur yang mengubah jalannya sejarah. Keduanya tak pernah puas dengan apa yang sudah mereka raih — kemenangan justru membuat mereka semakin lapar menaklukkan lebih banyak.
Aleksander, setelah menaklukkan Persia, sebenarnya bisa saja pulang dengan kemenangan penuh kejayaan. Tapi ia justru maju terus, membawa tentaranya hingga India, selalu berburu cakrawala baru untuk ditaklukkan. Nelson pun sama. Ia tak pernah berhenti mengejar pengakuan yang lebih besar, kemenangan yang lebih megah, kejayaan yang lebih panjang.
Bahkan ketika Nelson terbaring sekarat di dek HMS Victory pada 1805, sang pahlawan laut tetap terfokus pada apa yang telah ia menangkan — dan pada warisan yang akan ia tinggalkan. Bagi Sandbrook, Nelson adalah sosok yang benar-benar terbakar oleh visi kebesaran.

Sumber artikel diambil dari History Extra oleh James Osborne
Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
+ There are no comments
Add yours