La Galigo atau I La Galigo merupakan karya sastra kuno berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan. La Galigo berisi kisah-kisah mitologis panjang dan kaya, sehingga menjadi karya sastra epik terpanjang di dunia.

Asal Usul Naskah La Galigo
Karya sastra Bugis ini bermula pada cerita lisan masyarakat Bugis dari turun temurun. Belum ada petunjuk yang pasti permulaan cerita lisan La Galigo. Karya sastra ini telah ada sejak abad ke-13.
Mayoritas masyarakat mengkonsumsi cerita La Galigo bukan melalui cara membaca, tapi dengan mendengarkan cerita yang dilagukan oleh seorang pessureq. Selain itu, tidak ada penulis atau pengarang tertentu, sehingga sulit untuk menemukan naskah secara utuh.
Awal Mula Penulisan
Proses penulisan naskah sudah ada sejak abad ke-18. Ketika masa kolonial Belanda, terdapat seorang misionaris Belanda bernama Benjamin Frederik Matthes yang hendak mempelajari bahasa Bugis.
Pada tahun 1848, Matthes mulai mengumpulkan naskah-naskah berbahasa Bugis. Salah satunya adalah naskah La Galigo. Sejak saat itu pula, ia tertarik memperdalam sastra Bugis.
Agar lebih intensif belajar sastra Bugis, Matthes kemudian melakukan perjalanan ke beberapa daerah di Makassar. Pada bulan Agustus 1852 di Tanété, Matthes bertemu dengan seorang anak seorang raja bernama Colliq Pujié (Arung Pancana Toa)
Matthes menuturkan bahwa Colliq Pujié adalah seorang wanita yang berpengetahuan sastra, ia mengarang segala surat penting ayahnya. Colliq mahir berbahasa La Galigo yang kuno dan sudah jarang digunakan.
“Ia sedang sibuk menulis sejarah lama Tanette untuk saya. Sayang kumpulan naskahnya yang banyak dahulu binasa karena kebakaran. Dia menawarkan diri menyalinkan saya naskah itu,” Kata Matthes dalam catatannya berbahasa Belanda.
Matthes mengumpulkan naskah sebanyak 216 buah. Dari 216 naskah 19 kali nama Colliqe Pujié menjadi pengarang dan sumber penulisan, dan La Galigo bukan satu-satunya naskah yang berasal dari Colliqe Pujié (Arung Pancana)
Pada tahun 1872, Matthes menerbitkan jilid pertama dalam Boeginesche Chrestomathie, dalam bentuk teks Bugis tanpa terjemahan. Koleksi peninggalan Matheus inilah yang mempelopori proses kodifikasi naskah.
Struktur dan Tata Bahasa Naskah
Menurut R.A. Kern, seorang ahli sastra dan bahasa Bugis dan penyusun katalog naskah-naskah La Galigo, jumlah halaman naskah diperkirakan sekitar 6.000 berukuran folio. Namun, panjang naskah belum ada ketentuan secara pasti, karena masih dalam tahap penelitian.
Hingga kini, La Galigo memiliki jumlah sekitar 225.000 baris. Melebihi epos bahasa Sanskerta Mahabharata, yang jumlah barisnya antara 160.000 dan 200.000, sehingga karya sastra tersebut kemungkinan terpanjang di dunia.
Karya sastra ini memiliki beberapa ciri formal yang membedakannya dari karya-karya sastra Bugis lain. Ciri itu dapat digolongkan pada tiga bagian:
1. Metrum
Merujuk dari penelitian Fachruddin Ambo Enre, penulisan naskah memiliki ciri khas dalam segi metrum. Dasar metrum adalah lima suku kata, hanya jika tekanan jatuh pada suku kata terakhir jumlahnya empat suku kata. yaitu metrum, bahasa, pokok cerita.
2. Bahasa
Bahasa dalam naskah memiliki kosa kata dan struktur bahasa yang berbeda dari bahasa Bugis sehari-hari, yaitu menggunakan bahasa nenek-moyang (basa to ri olo), atau bahasa sureq.
3. Pokok Cerita
Karya sastra ini mempunyai struktur cerita yang besar, yang di dalamnya terdapat bingkai cerita yang dapat dikategorikan sebagai sub-cerita atau episode (téreng). Tokoh-tokoh Sureq Galigo pada umumnya tidak muncul dalam karya-karya sastra Bugis lain. Pemahaman jalan ceritanya tidak begitu mudah karena kompleksitas alur cerita.
Isi Naskah
Melansir dari situs kemendikbud, La Galigo menceritakan tentang penciptaan alam semesta dan kehidupan manusia pertama, dengan tokoh-tokoh utama seperti Batara Guru, Sawerigading, dan We Cudai. Sawerigading adalah salah satu pahlawan utama dalam cerita ini.
Cerita La Galigo bermula pada kisah penciptaan dunia, diikuti oleh kelahiran berbagai tokoh penting, baik dari golongan manusia maupun dewa. Selain itu, naskah tersebut juga mengisahkan tentang peran penting para raja dan pahlawan dalam mempertahankan kehormatan serta tradisi mereka.
Terdapat juga deskripsi tentang garis besar silsilah leluhur tokoh-tokoh utama. Setiap tokoh mempunyai episode tersendiri. Membaca La Galigo seperti membaca cerita bersambung.
Pengaruh dan Makna Budaya Bugis
Mayoritas masyarakat Bugis membaca naskah sastra ini pada acara perkawinan, pindah rumah baru, atau sebelum mau turun ke sawah. Sureq Galigo juga sering dibacakan dalam lingkungan keluarga sebagai hiburan.
Terdapat seorang passureq untuk melagukan naskah ini. Cara menyanyika cerita La Galigo dalam bahasa Bugis disebut laoang atau selléang, dan di daerah Bugis terdapat beberapa macam laoang.
Naskah ini tidak hanya berfungsi sebagai karya sastra, tetapi juga sebagai alat untuk mentransmisikan nilai-nilai budaya dan sejarah masyarakat Bugis.
Di dalam naskah, terdapat banyak ajaran moral dan filosofis yang menjadi pegangan hidup masyarakat Bugis, seperti penghormatan terhadap leluhur, pentingnya kehormatan, serta hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan.
Penelitian La Galigo dan Pengaruh di Masa Kini
Hingga kini, para ahli sastra dan sejarah masih terus meneliti dan mempelajari La Galigo, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Beberapa bagian dari Naskah telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
Karya sastra Bugis ini juga menjadi sumber inspirasi bagi banyak seniman, penulis, dan akademisi yang tertarik untuk menggali lebih dalam tentang budaya dan mitologi Bugis.
Selain itu, naskah ini juga menjadi bagian dari penguatan identitas budaya di Sulawesi Selatan dan di kalangan masyarakat Bugis pada umumnya. Festival-festival budaya sering mengangkat tema dari cerita yang ada di dalam naskah, dan memperkenalkan kebudayaan Bugis kepada dunia.
Kini naskah tersebut sudah dapat diakses oleh umum berkat digitalisasi Perpustakaan Universitas Leiden. Naskah bernama NBG 188 yang memiliki tebal 2.850 halaman dalam 12 jilid.
La Galigo Menjadi Warisan Dunia
Karya sastra Bugis ini tidak hanya kaya dengan cerita dan mitologi, tetapi juga menyimpan nilai-nilai kehidupan yang relevan hingga saat ini. Pada tahun 2011, UNESCO telah menetapkan La Galigo sebagai Memory of The World atau Warisan Dunia.
Sebagai warisan budaya yang tak ternilai, karya sastra Bugis ini akan terus hidup dalam ingatan masyarakat Bugis bahkan Dunia. Dengan pemeliharaan dan pengembangan yang tepat, serta terkenang sebagai salah satu karya sastra terbesar yang pernah ada.
Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.