Kolonialisme, adalah suatu sistem penindasan yang telah mewarnai ratusan tahun hubungan antara bangsa Asia dan Eropa, tidak terkecuali di Indonesia.

Dengan lokasinya yang strategis dan sumber daya alam yang berlimpah, wilayah Indonesia telah menjadi incaran bagi banyak pedagang, pendakwah, tentara, hingga birokrat untuk menjadi wilayah kekuasaannya.

Kepentingan ekonomi, politik, dan agama menjadi motif klasik bagi upaya kolonialis demi menguasai wilayah Indonesia. Upaya itu banyak melibatkan konflik yang sarat akan kekerasan dan represi yang, meminjam pernyataan sejarawan Peter Carey, pengaturan dasar (default setting) dari kolonialisme.

Pertanyaannya, berapa banyak dan seberapa besar upaya konflik itu dilancarkan para kolonialis? Itulah yang berupaya dikuak oleh buku ini.

kolonialisme
Poster: Instagram/@tintaemasnet

Lima Abad Melawan Kolonialisme

Buku ini, yang berjudul asli Koloniale oorlogen in Indonesië: Vijf eeuwen verzet tegen vreemde overheersing (Perang Kolonial di Indonesia: Lima Abad Perlawanan pada Kekuasaan Asing), ditulis oleh seorang sejarawan yang juga seorang jurnalis asal Belanda bernama Piet Hagen.

Terinspirasi oleh karya sejarawan Peter Carey terkait Perang Diponegoro dan M.C. Ricklefs terkait Sejarah Indonesia Modern, Piet berupaya mengungkap berapa banyak perang dan kekerasan yang telah dilakukan para kolonialis demi wilayah Indonesia.

Piet memanfaatkan beragam sumber, dari majalah militer hingga buku dan karya tulis sejarawan, demi mengungkap itu semua. Hasilnya ada lebih dari 500 peperangan yang dilancarkan antara kolonialis dan rakyat Indonesia, dari kedatangan Portugis di Asia Tenggara pada 1510 hingga Operasi Seroja di Timor Timur pada 1975, demi kekuasaan atas wilayah Indonesia.

Demi memberi sebuah rangkuman yang otoriatif dan terpercaya atas ratusan tahun konflik tersebut, Piet menulis buku ini, yang edisi aslinya telah terbit di Belanda pada 2018 lalu dan baru terbit untuk edisi Indonesia nya pada tahun ini.

Seperti yang telah dikemukakan di atas, isi buku ini didominasi oleh penjelasan panjang terkait ratusan peperangan antara kolonialis, baik Portugis, Spanyol, Prancis, Inggris, Belanda, Jepang, dan lainnya, melawan rakyat di berbagai wilayah Indonesia, dari Sumatra hingga Papua.

Penggambaran Kolonialisme Dalam Buku

Namun, penjelasan ini diawali dengan penjelasan kondisi politik, sosial, dan ekonomi wilayah Indonesia sebelum datangnya kolonialisme, untuk memberi gambaran bagaimana sistem yang berlangsung di wilayah itu sebelum abad ke-16.

Lalu, penjelasan terkait upaya kolonialisme yang berlangsung juga mencakup wilayah seperti Filipina dan Tiongkok di Utara dan Timor Timur serta Papua Nugini di Selatan, yang juga berhubungan dengan dinamika kolonialisme di Indonesia.

Disamping konflik antara rakyat dengan kolonialis, penulis menjelaskan tarik ulur dan persaingan antara kekuatan kolonial yang juga memengaruhi alur kolonialisme yang dilakukan atas Indonesia.

Konflik kolonial yang dijelaskan bukan hanya seputar kekerasan, namun juga mencakup aktivisme di masa pergerakan yang juga diancam oleh represi kolonial.

Bahkan, pembahasan konflik kolonial ini berlanjut melampaui masa Revolusi 1945-1949, dengan menyentuh konflik di Papua, Kalimantan Utara (Malaysia), dan Timor Timur, yang tidak lepas dari ketegangan kolonial di masa lalu.

Selanjutnya, penjelasan penulis mencakup metode eksploitasi, monopoli ekonomi, kesenjangan sosial, dan sistem aparatur militer kolonial, yang juga berhubungan dengan kekerasan dan konflik yang terjadi, serta kritik dari rekan rekan sezaman pada sistem kolonialisme yang diterapkan, yang menunjukan bahwa ada juga di antara bangsa kolonialis yang menyadari dan mengkritik kolonialisme yang dilakukan saudara sebangsanya. Dan, penjelasan diakhiri dengan sajian kronologi dari konflik panjang yang berlangsung selama ratusan tahun.

Kelebihan Buku

Sebagai buku sejarah, buku ini memiliki beberapa kelebihan, antaranya:

Pertama:

Penjelasannya mendetail dengan menyentuh berbagai konflik dan kekerasan yang terjadi, baik dalam skala besar seperti di Aceh dan Jawa maupun skala kecil seperti di Kerinci dan Papua, disamping rasialisme, eksploitasi, monopoli, represi, dan alat alat kolonialisme lainnya. Hal ini bisa menjadi pemicu untuk munculnya lebih banyak karya seputar sejarah lokal di tiap daerah, terutama dalam topik perlawanan pada kolonialisme.

Kedua:

Penjelasan yang diberikan juga memberikan konteks dan latar besar dibalik tiap peristiwa atau zaman tertentu, seperti Masa Penjelajahan pada Portugis dan Spanyol, Masa Keemasan Belanda pada abad ke-17 bagi VOC, perang melawan Napoleon dan kaki tangannya bagi Inggris, rivalitas imperialisme baru bagi Hindia Belanda, dan Perang Dunia II bagi Jepang. Hal ini akan membuat pembaca lebih memahami konteks dari suatu karakteristik imperialisme oleh tiap kolonialis yang tentunya memiliki perbedaan.

Ketiga:

Penjelasan yang diberikan juga memberikan perspektif baru bagi pembaca Indonesia. Pada buku ini, penulis menerangkan juga seputar kondisi yang dihadapi para kolonialis, dari jumlah pasukan hingga intrik politik di dalamnya.

Hal ini tentu berbeda dengan yang umumnya diajarkan di bangku sekolah, yang sekedar menjelaskan bahwa Belanda itu “licik” dan “kuat” ketika menguasai Indonesia, tanpa menjelaskan kondisi sebenarnya dari para penjajah, seperti kondisi tentara kolonial yang hanya ribuan namun bisa mengalahkan perlawanan yang melebihi jumlah mereka ataupun memiliki banyak personil tentara bayaran asing atau Indonesia di dalamnya.

Keempat:

Buku ini ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami serta narasi yang jelas dan terkait satu sama lain. Hal ini, dipermudah juga dengan penyusunan bab dan sub-bab yang bertema, diharapkan akan memudahkan siswa sekolah menengah untuk memahami buku ini, dimana pada usia merekalah seharusnya pembelajaran sejarah yang lebih kritis bisa diterapkan.

Kekurangan Buku

Namun, tak ada gading yang tak retak. Buku ini juga memiliki beberapa kekurangan, antaranya:

Pertama:

Masih terdapat kesalahan ketik yang dapat ditemukan. Walau secara umum narasinya masih mudah dipahami, namun kesalahan ketik ini tentu dapat sedikit menganggu beberapa pembaca yang berusaha memahami buku ini dengan serius.

Kedua:

Dalam lingkup akademis, buku ini tidak berusaha untuk memberi temuan baru. Alasannya tentu sudah dijelaskan di atas, yakni hanya untuk merangkum segala wawasan terkait konflik kolonial yang ada dan bisa diakses oleh penulis di tengah segala keterbatasannya, seperti kurang memahami sumber berbahasa Indonesia atau lokal.

Ketiga:

Buku ini tidak menjelaskan teori teori yang terkait dengan alur konflik kolonial yang berlangsung. Hal ini tidak lepas dari latar belakangnya sebagai jurnalis, yang cenderung menyelami fakta yang konkrit tanpa selalu didampingi dasar teori.

Baca Juga: Dokarim: Melawan Melalui Sastra Dalam Hikayat Prang Kompeuni – Tinta Emas

Menjadi Sumber Utama Dalam Pembahasan Kolonialisme

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang ada, buku ini harus dibaca oleh siapapun yang berminat pada sejarah Indonesia, kolonialisme, atau militer, baik akademisi ataupun orang awam.

Dengan penjelasannya yang panjang dan disertai sumber yang relevan, buku ini layak menjadi referensi utama dalam membahas kolonialisme di Indonesia.

Selain itu, buku ini juga mengajak kita untuk memahami bagaimana kolonialis tak mampu menjawab pertanyaan di atas dan menerapkan sistemnya atas rakyat Indonesia secara sewenang-wenang dan bagaimana gigihnya rakyat Indonesia dalam memperjuangkan hak haknya untuk merdeka melawan upaya kolonialisme yang dipaksakan pada mereka.

Dari sana, kita akan berefleksi bahwa jutaan korban akibat konflik kolonial di kedua pihak akan selalu menyertai Indonesia dan bekas kolonialisnya dengan efek efeknya yang masih berlangsung hingga hari ini.

Akhirnya, kita akan bangkit dari masa lalu yang kelam itu dan mengambil hikmah yang terjadi untuk pembangunan bangsa dan hubungan yang lebih baik dan berkeadilan di masa mendatang.

Format Buku

Judul: Perang Melawan Penjajah: Dari Hindia Timur Sampai NKRI 1510-1975

Penulis: Piet J.Hagen

Tahun: 2022 (2018 versi asli berbahasa Belanda)

Genre: Non-Fiksi, Sejarah

Penerit: Komunitas Bambu

Halaman: xxxvi + 980

Ukuran: 15,5 x 24 cm

Skor : 4,7/5 (BOL.com, pada edisi asli berbahasa Belanda)

Baca Juga: Perang Tiga Segi (1511-1641): Gejolak konflik Aceh-Portugis-Johor – Tinta Emas


Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Mungkin Kamu Juga Menyukai

+ There are no comments

Add yours

Tinggalkan Balasan