Jejak Mughal dalam Hikayat Aceh: Membaca Ulang Struktur, Penanggalan, dan Sumber Menurut Braginsky

Jejak Mughal dalam Hikayat Aceh tampak kuat dalam pembacaan Braginsky, yang menempatkan teks ini dalam arus historiografi Persia dan Mughal, terutama pola naratif Malfuzat i Timuri. Ia menunjukkan korespondensi yang rapat pada struktur panegirik seperti mimpi bernuansa cahaya, peranan ulama dan sayyid sebagai legitimasi, serta format catatan tahunan yang menandai kematangan sang pangeran sejak kanak hingga remaja, sebuah ciri yang tidak lazim dalam kronik Melayu dan lebih dekat dengan tradisi Timurid Mughal daripada Akbar nama. Dari sini ia menata ulang penanggalan Hikayat Aceh sebagai karya pasca wafatnya Iskandar Muda, sangat mungkin pada masa Sultanah Safiatuddin Taj al Alam, ketika politik istana membutuhkan pemuliaan memori dinasti. Braginsky juga meragukan atribusi kepada Syamsuddin al Sumatrani dengan menyoroti kekeliruan faktual dan anasir anokronistik pada episode Turki yang sukar disandarkan pada seorang ulama istana berjejaring luas. Keseluruhannya menegaskan Hikayat Aceh sebagai kronik hibrida yang berbicara dalam bahasa dan simbol Melayu tetapi dibangun dengan logika struktur dan imajinasi politik yang berakar pada tradisi Perso Mughal serta bekerja sebagai cermin raja bagi kebutuhan legitimasi kekuasaan.

Structure, Date and Sources of Hikayat Aceh Revisited. The Problem of Mughal-Malay Literary Ties
Vladimir Braginsky. Structure, Date and Sources of Hikayat Aceh Revisited. The Problem of Mughal-Malay Literary Ties. SOAS University of London, 2006.

Artikel Braginsky menawar ulang cara kita memahami Hikayat Aceh dengan menempatkannya dalam arus besar historiografi Persia dan Mughal. Ia berangkat dari pertanyaan sederhana yang berimplikasi luas. Mengapa Hikayat Aceh tampil begitu berbeda dari kronik Melayu yang lebih awal, dan mengapa pola naratifnya terasa akrab dengan konvensi kepujanggaan istana di India Islam. Dari sini ia membangun tesis bahwa struktur dan imajinasi politik Hikayat Aceh berhutang kuat pada model penulisan yang terlihat paling jelas dalam Malfuzat-i Timuri, teks yang menarasikan diri Timur sebagai penakluk teladan. Ia menunjukkan korespondensi motif dan bentuk yang sistematis, lalu mengaitkannya dengan soal sumber, tanggal penulisan, serta konteks politik Aceh sesudah wafatnya Iskandar Muda.

Baca Juga: Naskah Legendaris Nusantara yang Diakui UNESCO Memory of the World – Tinta Emas

Langkah pertama Braginsky adalah meletakkan Hikayat Aceh ke dalam suatu horizon perbandingan yang ketat. Ia memperlihatkan bahwa kronik ini menempatkan seorang penakluk agung sebagai poros narasi, menonjolkan mimpi kenabian yang bercahaya, memamerkan permainan perang sejak kanak, serta menjadikan dukungan ulama dan para sayyid sebagai legitimasi spiritual bagi misi kekuasaannya. Persamaan yang paling menentukan justru bersifat teknis tetapi sekaligus ideologis, yaitu pemakaian bentuk catatan tahunan terhadap sepak terjang sang tokoh sejak usia dini. Dalam Malfuzat-i Timuri, preambulum menyatakan peristiwa hidup Timur dicatat dari usia ketujuh hingga ketujuh puluh. Hikayat Aceh menggemakan prinsip yang sama sejak usia tiga tahun bagi Iskandar Muda. Pola ini nyaris tidak memiliki padanan dalam khazanah Melayu dan tidak ditemukan dalam Akbar-nama yang hanya melaporkan tahun-tahun kekuasaan, bukan masa kanak dan remaja. Dengan demikian, Braginsky menyimpulkan kedekatan Hikayat Aceh dengan Malfuzat-i Timuri lebih kuat daripada dengan Akbar-nama.

Dari sisi gaya, Braginsky menandai bahwa retorika Malfuzat-i Timuri cenderung lebih bersahaja serta lebih dekat dengan cara bertutur Melayu dibanding gaya metaforis yang megah dalam Akbar-nama. Kedekatan ini membantu menerangkan mengapa tradisi panegirik Persia dengan ragam tutur yang tidak berlebihan lebih subur sebagai sumber inspirasi bagi pengarang dan penerjemah Melayu. Sebab itu, kesesuaian logika struktur antara Hikayat Aceh dan Malfuzat-i Timuri tidak hanya terletak pada daftar motif, melainkan pada rasa naratif yang cair dan komunikatif bagi pembaca di dunia Melayu.

Pertanyaan berikutnya yang dibuka Braginsky menyentuh problem sumber dan penanggalan. Jika sebagian pakar Persia menempatkan Malfuzat-i Timuri sekitar tahun 1637, bagaimana mungkin pengarang Hikayat Aceh mengenalnya apabila kronik Aceh dianggap selesai pada masa Iskandar Muda yang wafat pada 1636. Di sini Braginsky menawarkan dua jalur penjelasan. Pertama, penanggalan Malfuzat-i Timuri tidak sesederhana yang kerap dikutip karena ada dua versi yang teridentifikasi dalam katalog Rieu, yakni versi tidak disunting yang diberitakan Abu Talib al Husayni dan versi yang kemudian dipersembahkan kepada Shah Jahan. Kedua, yang lebih meyakinkan, Hikayat Aceh kemungkinan besar disusun setelah mangkatnya Iskandar Muda sehingga akses terhadap pola penulisan Malfuzat-i Timuri lebih mudah dijelaskan oleh lintasan transmisi bacaan pada pertengahan abad ketujuh belas.

Argumentasi tentang tanggal penulisan diperkuat oleh pembacaan Braginsky atas lanskap politik dan kultural Aceh pada masa Sultanah Safiatuddin Taj al Alam. Setelah 1641, istana memperlihatkan dorongan yang konsisten untuk memuliakan figur Iskandar Muda. Laporan utusan Belanda Pieter Sourij tentang jamuan pada Juli 1642 mencatat adanya nyanyian pujian untuk sang ayahanda yang mengharukan para hadirin. Braginsky membacanya sebagai gejala penguatan memori dinasti yang masuk akal apabila kita menempatkan Hikayat Aceh dalam arus panegirik yang makin terlembaga pada era Sultanah. Ia juga menunjukkan bagaimana penekanan Sultanah pada garis dar al Kamal dalam materai kerajaannya mengingatkan pada cara Shah Jahan menekankan garis keturunan yang menonjolkan Timur. Rangkaian indikasi ini menyokong hipotesis bahwa Hikayat Aceh lahir dari proyek pemuliaan warisan Iskandar Muda ketika kuasa simbolik atas memori menjadi kebutuhan politik.

Braginsky sekaligus menguji ulang atribusi pengarang yang semula dikaitkan dengan Syamsuddin al Sumatrani. Ia membandingkan reputasi dan posisi Syamsuddin sebagai ulama istana sekaligus penasehat diplomatik dengan gaya serta isi Hikayat Aceh yang kadang populer dan anekdotal. Kejanggalan faktual menjadi titik tekan. Hikayat menceritakan dua utusan Portugis yang sejatinya adalah pelaut Inggris, Davis dan Tomkins, yang datang membawa kuda serta meminta izin membuka pos dagang. Bagi Braginsky, sulit membayangkan seorang alim sekaliber Syamsuddin membuat kekeliruan seperti itu mengingat jejaring internasionalnya dan keterlibatannya dalam urusan luar negeri Aceh. Perbedaan corak bahasa kitab Syamsuddin yang sangat bergaya Arab dengan tutur populer kronik juga membuat perbandingan stilistika tidak memadai untuk menetapkan kepengarangan.

Uji silang paling tajam hadir dalam apa yang disebut Braginsky sebagai episode Turki. Ia menelusuri lapis-lapis waktu yang ditumpuk secara serempak di dalam satu adegan sehingga menghasilkan alur yang memuliakan Iskandar Muda dengan cara membalik situasi sejarah. Dalam kenyataan dekade 1560-an, Aceh memohon bantuan kepada Istanbul dan menerima meriam serta juruteknik setelah armada Turki dialihkan ke Yaman. Dalam hikayat, situasi diputar, Sultan Turki justru meminta tolong kepada Iskandar Muda, para utusan Turki menunggu lama di Aceh, dan pada akhirnya barang yang dicari datang dari Aceh. Selain pembalikan panegirik ini, Braginsky mengurai kekacauan kronologi dan tokoh. Nama Sultan Muhammad yang dimaksud lebih cocok dengan Mehmet Tiga, tokoh ulama Sibghatullah hidup di peralihan ke abad tujuh belas dan bermukim di Madinah, sementara perang Deli tahun 1612 dihadirkan sejajar. Bahkan jabatan gubernur Yaman untuk tahun 1612 disebut Mansur Hallab padahal yang berkuasa saat itu adalah Ja far Pasha. Tidak dikenal pasha bernama Mansur pada periode Turki di Yaman. Ada dugaan penulis mengaburkan Ja far Pasha dengan Mansur Bi llah, imam pertama Dinasti Qasimi yang berjuang melawan kekuasaan Turki. Bagi Braginsky, jenis kekeliruan bertingkat seperti ini susah dipadankan dengan profil Syamsuddin yang terdidik dan berjejaring dengan Mekkah serta Madinah.

Dengan demikian, pembacaan Braginsky mengarah pada kesimpulan bahwa Hikayat Aceh lebih dekat dipahami sebagai kronik panegirik yang meminjam pola Persia Mughal sekaligus mengolahnya dengan bahan lokal Melayu. Motif mimpi bercahaya, penataan catatan tahunan, permainan perang sejak kecil, serta peran para ulama dan sayyid sebagai pengesah karisma raja membentuk kerangka legitimasi yang sejalan dengan cermin raja dalam tradisi Timur dan Mughal. Gaya tutur yang lebih bersahaja membuat model ini terasa alamiah memasuki ruang baca Melayu. Pada lapisan ideologis, struktur seperti ini bekerja untuk menata memori politik dan memberi pendasaran moral keagamaan bagi kekuasaan. Di Aceh pertengahan abad ketujuh belas, kebutuhan ini menemukan panggungnya.

Terakhir, pertautan antara struktur dan konteks yang digarisbawahi Braginsky membuka implikasi metodologis. Membaca Hikayat Aceh bukan hanya mencari fakta sejarah tentang Iskandar Muda, tetapi juga menelaah bagaimana teks merakit fakta, mitos, dan teladan politik menjadi narasi kepujanggaan yang efektif. Perbandingan yang teliti dengan Malfuzat-i Timuri memperlihatkan bahwa serapan bentuk tidak sekadar penciplakan, melainkan kerja kreatif yang menggabungkan imajinasi Melayu dengan retorika kepangeranan Islam. Ketika bukti politik pada masa Taj al Alam menunjukkan upaya sistematis memuliakan sosok Iskandar Muda, maka penanggalan pasca 1636 menjadi selaras dengan bukti intertekstual dan kesaksian sezaman. Dalam kerangka demikian, Hikayat Aceh adalah dokumen hibrida yang menampilkan wajah ganda. Ia berbicara dalam bahasa dan simbol lokal, tetapi bernafas dalam logika struktur yang lebih luas dari dunia Persia Mughal.

Secara keseluruhan, risalah Braginsky memperkaya studi Melayu dengan mengembalikan Hikayat Aceh ke lintasan intelektual yang membentuknya. Ia mengoreksi atribusi pengarang yang terlalu pasti, menertibkan penanggalan melalui korespondensi motif dan saksi sejarah, serta memperlihatkan bahwa kronik ini paling masuk akal dipahami sebagai produk silang budaya yang menjembatani Aceh dan India Islam pada abad ketujuh belas. Dengan begitu, Hikayat Aceh terletak di simpang jalan antara tradisi Melayu dan arus besar historiografi Islam, dan justru pada persimpangan itulah daya artistik dan politiknya berakar kuat.

Hikayat Aceh, MS. Or. 1954, Leiden University Libraries. Gambar: Wikimedia.

Daftar Pustaka

Braginsky, Vladimir. 2006. “Structure, date and sources of Hikayat Aceh revisited: the problem of Mughal–Malay literary ties.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 162(4): 441–467. https://brill.com/view/journals/bki/162/4/article-p441_2.xml?srsltid=AfmBOoqhZYRgGLVsTY3ehy-dzf740y7I59_G8_rJQkRuEoAMhO_pLPlQ

Hadi, Amirul. 2004. Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth-Century Aceh. Leiden–Boston: Brill.

Iskandar, Teuku. 1958. De Hikajat Atjeh. ’s-Gravenhage: Nijhoff. (KITLV, Verhandelingen 26).

Iskandar, Teuku. 2001. Hikayat Aceh. Dikaji dan diperkenalkan oleh Teuku Iskandar. Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan. (Siri Karya Agung.).


Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Avatar photo

Amrullah

Amrullah (Founder Tinta Emas)

Dari Penulis

Seruan Camille Desmoulins: “Ambil Senjata, Kenakan Kokarde!”

Bangunan Bersejarah, Cagar Budaya, dan Museum yang Ikut Terdampak Akibat Demo dan Kerusuhan di Indonesia 2025

Tinggalkan Balasan