Blambangan: Kerajaan Bercorak Hindu Terakhir di Pulau Jawa

Blambangan merupakan kerajaan bercorak Hindu terakhir yang berdiri di Pulau Jawa hingga abad ke-18. Kerajaan ini berada di wilayah yang sekarang bernama Banyuwangi, dan masih berada dalam naungan kekuasaan kerajaan Majapahit.

Kerajaan ini berada di ujung timur pulau Jawa, letaknya begitu strategis sebagai jalur pelayaran dalam urusan niaga, sehingga wilayah ini terkenal banyak memiliki pelabuhan, salah satu pelabuhan sentral yang ada di pesisir utara Blambangan bernama Panarukan. Pelabuhan tersebut merupakan tempat persinggahan dan transit kapal-kapal yang ingin melakukan perniagaan ke wilayah Maluku.

Situs Kawitan (Gambar: Geopark Ijen Jatimprov.go.id)

Awal Mula Berdiri

Mengutip dari buku Enslikopedia Kerajaan-Kerajaan Nusantara karya Ivan Taniputera, kerajaan Blambangan pada mulanya merupakan daerah otonom dan memiliki medan yang sulit bagi Majapahit dalam menguasainya.

Raden Wijaya yang merupakan pendiri Majapahit merasa kesulitan untuk menaklukan penguasa Blambangan yang bernama Adipati Viraraja (Wiraraja), hingga tahun 1316 wilayah ini masih menjadi daerah otonom.

Sumber yang menyebut tentang pendirian kerajaan ini terdapat dalam Babad Sembar. Ketika perseteruan antar keluarga kerajaan Majapahit semakin memuncak, keluarga Kerthabumi yang dipimpin oleh Lembu Miranda (Lembu Miruda) memilih untuk melarikan diri ke Blambangan pada tahun 1478, setelah Grindawardhana memporak-porandakan Trowulan.

Menurut Babad Sembar, Lembu Miranda kemudian mendirikan pertapaan Watuputih di hutan Blambangan. Ia bersemedi memohon agar kelak keturunannya bisa menjadi raja di wilayah tersebut. Ia pun memiliki seoarang anak laki-laki bernama Mas Sembar dan anak perempuan bernama Mas Ayu.

Mas Sembar kemudian memerintah Blambangan, dan memiliki tiga orang anak yang bernama, Bima Nabrang Wijaya, Bima Koncar, dan Gdhe Punir Cindhe Amoh. Pada saat permulaan abad ke-16, cucu dari Lembu Mirand bernama Bima Koncar mendeklarasikan dirinya sebagai raja dari kerajaan Blambangan.

Masa Kejayaan Blambangan

Bima Koncar yang telah menjadi seorang raja kerajaan Blambangan, memiliki tiga orang anak yang bernama Menak Kadru, Menak Pentor, dan Menak Cucu. Roda Kekuasaan pun kemudian beralih ke tangan Menak Pentor, di masanya pula kerajaan Blambangan mengalami perkembangan yang begitu pesat.

Buku berjudul Suma Oriental karya Tom Piers dapat menggambarkan kejayaan kerajaan ini. Tom Piers menjelasakan dalam bukunya bahwa Menak Pentor memperluas wilayah kerajaan, oleh karena itu, kerajaan ini memiliki jumlah penduduk yang banyak dan memiliki hasil panen yang melimpah, kawasan tersebut juga merupakan wilayah yang kaya. kuat, dan makmur. Wilayah Blambangan juga banyak menghasilkan kuda beserta budak.

Konflik dan Perebutan Kekuasaan

Seiring dengan semakin menyebar agama Islam di sekitar pesisir pulau Jawa, menyebabkan pengaruh Majapahit kian melemah, sehingga mengancam pula wilayah kerajaan Blambangan. Ketika kerajaan Islam Demak semakin berkembang, pada tahun 1531 kekuasaan Blambangan beralih ke tangan Merak Pangseng yang merupakan anak dari Menak Pentor.

Pada tahun 1535 pasukan dari Demak yang dipimpin Sultan Trenggana hendak menaklukkan Pasuruan, namun usaha tersebut gagal karena perlawanan yang dashyat dari pihak Blambangan. Pasukan Demak kembali berusaha mengepung Panarukan, selama kurang lebih tiga bulan mereka meluluh-lantakkan wilayah tersebut, dengan membakar, menjarah, serta memperbudak penduduk, namun usaha tersebut gagal untuk menguasai kerajaan ini, karena Sultan Trenggana terbunuh pada tahun 1546.

Setelah konflik dengan Demak usai, Kerajaan Blambangan kemudian terancam oleh penyerangan yang dilakukan oleh kerajaan Gelgel dari Bali, dan meraka berhasil mengendalikan wilayah ini pada kurun waktu tahun 1550–1570.

Kelangsungan kerajaan Blambangan baru tercium kembali di tahun 1570, ketika Santa Guna yang merupakan keturunan Bima Koncar dan menjadi penguasa kawasan Candi Bang berhasi memperkuat kerajaan dan merebut kembali kekuasaan. Namun ia secara mengejutkan mengundurkan diri sebagai raja demi menjadi seorang pertapa, dan kekuasaan pun ia alihkan ke tangan anaknya pada tahun 1588.

Masa Keruntuhan Kerajaan Blambangan

Keruntuhan Blambangan sebagai kerajaan yang memiliki otoritas telah lama terasa ketika putra Santa Guna berkuasa. Ia tidak mampu menolak permintaan penguasa Pasuruan yang beragama Islam, agar menikahi putrinya itu di tahun 1596. Namun setelah pernikahan berlangsung ia menolak memeluk agama Islam, dan putri penguasa Pasuruan pun ia bunuh, sehingga memancing amarah peenguasa Pasuruan untuk menyerang Blambangan.

Seluruh keluarga raja terbunuh, dan menyisakan istri Santa Guna yang telah lanjut usianya. Ia merupakan putri Menak Cucu sehingga dianggap paling berhak menduduki otiritas kerajaan. Meskipun begitu, salah seorang raja bawahan Blambangan yang bernama Mas Krian membunuh Santa Guna dan merampas kedudukan sebagai raja Blambangan, ia pun memegang kekuasaan hingga tahun 1633.

Seiring dengan kolonialisme yang semakin massif masuk ke kepulauan Nusantara, kontrol dari kerajaan di wilayah nusantara bukan lagi pada satu pihak keluarga saja, terdapat intrik politik dalam menguasai daerah jajahan, termasuk mengontrol kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara, khususnya di Jawa.

Pengaruh tersebut juga dirasakan ketika Belanda dengan intrik politknya bekerja sama dengan kerajaan Blambangan demi meraih kesuksesan dalam mempengaruhi konflik kekuasaan dalam kerajaan. Saat itu, salah seorang cabang anggota keluarga raja-raja Blambangan bernama Mas Alit, saudara Nawangsari–istri Danuningrat, diangkat oleh Belanda sebagai bupati dengan gelar Tumenggung Banyuwangi I (1773–1782).

Temenggung Wiroguno I
(alias Mas Alit)
Temenggung Wiroguno I (alias Mas Alit)

Kemudian Ia digantikan oleh saudaranya, Mas Talib, selaku Tumenggung Banyuwangi II (1782–1818). Selanjutnya, para penguasa berikutnya adalah Raden Suranegara (putra Mas Talib, Tumenggung Banyuwangi III, 1820–1832), Raden Wiryahadikusuma (cucu Mas Alit, Tumenggung Banyuwangi IV, 1832–1867), dan Raden Pringgakusuma (putra Raden Suranegara, Tumenggung Banyuwangi V, 1867–1881). Pringgakusuma yang merupakan penguasa penghabisan dari dinasti tersebut.

Baca Juga: Amerika Serikat Kembalikan Artefak Asal Indonesia dan Kamboja – Tinta Emas


Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Avatar photo

Irvan Fatchurrohman

Irvan Fatchurrohman (Wakil Pemimpin Umum) adalah lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dari program studi Sejarah dan Peradaban Islam. Pernah bertugas di Museum Kasepuhan Cirebon. Memiliki minat mendalam pada kajian sejarah dan budaya, serta berkomitmen dalam penelitian yang berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan pelestarian warisan sejarah.

Dari Penulis

Amerika Serikat Kembalikan Artefak Asal Indonesia dan Kamboja

Masjid Kariye Kembali Digunakan Untuk Ibadah Umat Muslim