Bashar Al-Assad memiliki beragam siasat demi menjaga kekuasaannya. Salah satunya ialah mengakali konstitusi agar syarat usianya terpenuhi untuk menjadi presiden Suriah.

Kepemimpinan Bashar Al-Assad telah tumbang setelah pihak oposisi Suriah Hayat Tahrir Al-Sham (HTS) berhasil menguasai pemerintahan. Kejatuhan rezim Bashar Al-Assad menutup kekuasaan partai Baath yang telah lama berkuasa lebih dari separuh abad.
Kemenangan oposisi mengubur segala macam siasat politik Bashar Al-Assad yang telah menimbulkan kesukaran di kalangan rakyat Suriah. Jalanan kota dipenuhi oleh sorak-sorai penduduk Suriah yang tidak lagi takut akan kekangan pemerintahan Bashar Al-Assad.
Bashar Al-Assad telah memimpin Suriah selama 14 Tahun. Bashar bersikap otoriter dalam memimpin negara Suriah. Kebengisannya itu berasal dari watak seorang ayahnya Hafez Al-Assad. Kedigdayaan politik Hafez Al-Assad sebagai presiden, memudahkan Assad untuk meneruskan kekuasaan rezim otoriter.
Warisan Kepemimpinan dari Sang Ayah
Pada tahun 1970 Hafez Al-Assad masih menjabat sebagai menteri Pertahanan Suriah. Hafez sukses melakukan kudeta internal partai Ba’ath. Ia menggulingkan Salah Jadid yang saat itu menjadi Ketua Komando Dewan Revolusi, dan Presiden Suriah Nur al-Din al-Atassi. Hafez al-Assad kemudian naik ke tampuk kekuasaan pada 14 Maret 1971, dan menjadi presiden Suriah.
Akibat dari kudeta tersebut, Hafez menempatkan orang-orang kepercayaannya di pemerintahan, sehingga ia bisa mengontrol politik, ekonomi, pendidikan, dan agama dengan caranya sendiri. Hal ini pula yang menghasilkan sistem Ba’athist.
Meski marak terjadi pemberontakan dari rakyat, Hafez masih sanggup mengendalikan Suriah selama 30 tahun. Ia pun tidak segan-segan menghukum lawan politiknya dan siapapun yang menentang pemerintah.
Hafez mempunyai latar belakang pemahaman militer yang kuat. Saat ia terjun ke dunia politik lewat partai Ba’ath, ia semakin tahu persis bagaimana permainan politik, kekuatan politik dan kekuasaan politik. Hafez dapat berbuat apa saja melalui pemahaman militer yang dikuasainya. Dari wataknya ini pula, mengalir jiwa kepemimpinan otoriter di negara Suriah.
Baca Juga: Invasi Israel ke Suriah 2024: Stabilitas mencekam di Timur Tengah – Tinta Emas
Siasat Bashar Al-Assad menjadi Presiden Suriah
Hafez Al-Assad meninggal tahun 2000. Perlemen mengamandemen konstitusi Suriah untuk memberikan jalan kepada Bashar menjadi presiden. Permasalahan muncul kala konstitusi masih menetapkan batas usia calon presiden adalah 40 tahun, sedangkan usia Bashar saat itu belum memenuhi persyaratan tersebut. Konstitusi kembali melakukan amandemen dengan mengubah batas usia minimum calon presiden adalah 34 tahun. Dengan demikian, Bashar telah memenuhi syarat untuk menjadi presiden.
Rekayasa politik bertaburan demi membumbui jalan Bashar dalam pemilihan umum. Hampir seluruh penduduk Suriah memilih Bashar sebagai presiden berikutnya, karena tidak ada kandidat tandingan. Proses pemilihan umum hanya mencantumkan satu kandidat saja yaitu Bashar. Sebanyak 97,29% suara memilih Bashar. Berarti, Bashar memperoleh suara sebanyak 8.689.871 suara dari 8.931.623 suara yang masuk.
Dari proses pemilihan umum semacam itu, Bashar Al-Assad berhasil mengambil kendali dari sang Ayah, dan tetap menjalankan nahkoda kepemimpinan dengan ciri khas rezim Assad. Pada mulanya Bashar tidak memiliki latar belakang politik yang mumpuni, namun akibat tuntutan ayahnya itu, Bashar sanggup mempertahankan estafet kepemimpinan ayahnya.
Krisis kepemimpinan yang terjadi di Suriah bersumber dari sikap otoriter Presiden Hafez Al Assad dan putranya Bashar Al Assad. Rezim Assad telah menciptakan suatu diskriminasi dan tidak adanya sebuah kebebasan dan independensi berbicara bagi warga Suriah.
Baca Juga:
Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.