Tahun baru adalah momen perayaan yang dirayakan di berbagai belahan dunia, membawa harapan baru dan semangat untuk memulai lembaran baru. Tradisi ini ternyata memiliki akar sejarah yang panjang, jauh melampaui era modern. Salah satu festival tertua yang menjadi cikal bakal perayaan tahun baru adalah Akitu, sebuah tradisi dari Mesopotamia kuno yang menggabungkan aspek keagamaan, politik, dan budaya dalam ritual-ritualnya yang berlangsung selama 12 hari. Festival ini tidak hanya berfungsi sebagai perayaan religius, tetapi juga memainkan peran penting dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat Babilonia.

Perayaan Tahun Baru dalam Sejarah

Setiap pergantian tahun, umat manusia di belahan dunia manapun senantiasa merayakan perayaan tahun baru. Namun, bagaimanakah awalnya hingga budaya ini terus diterapkan setiap tahunnya?

Perayaan tahun baru, pertama kali dilakukan pada zaman Mesopotamia sejak pertengahan milenium ketiga SM. Bentuk perayaan tahun baru awalnya dikemas dalam bentuk festival (Akitu). Pada mulanya, Akitu digelar di sebuah kuil diluar ladang untuk merayakan penanaman dan memanen hasil ladang.

Transformasi Akitu Menjadi Festival Nasional

Berkembang dari perayaan pertanian setengah tahunan menjadi festival nasional tahun baru musim semi yang digelar di Ibukota, yang turut dihadiri oleh Raja serta Pendeta Kerajaan. Festival ini dirayakan pada bulan pertama yaitu bulan Maret sampai dengan April. Dalam kalender Babilonia, bulan ini disebut dengan Nisannu.

Makna Keagamaan Festival Akitu

Perayaan Akitu diidekasikan untuk kelahiran kembali Dewa Matahari Marduk (salah satu Dewa utama di jajaran Dewa Babilonia) yang diyakini telah menciptakan dunia dari kekacauan. Maka untuk mencegah kembalinya Dewa kekacauan, upacara tahun baru diulang untuk mengulang kembali kemenangan Marduk atas pasukan penghancur. Pada milenium pertama Masehi, di Babilonia, saat festival ini pada tahap berkembang, perayaannya dapat berlangsung selama 12 hari.

Rangkaian Ritual Festival Akitu

Pada hari pertama, festival dimulai dengan berdoa kepada para Dewa. Di hari kedua, sebelum matahari terbit, imam besar akan mandi di Sungai Eufrat, dan ketika dia keluar, dia akan mengenakan jubah putih untuk melambangkan kesucian. Lalu, dia memasuki kuil untuk berdoa kepada para Dewa agar memberkati dia dan memberkati bangsa. Kemudian pendeta lain memasuki kuil dan mulai berdoa.

Pada hari ketiga, sebelum matahari terbenam, para pendeta akan berdoa, kemudian umat akan turut berdoa. Kemudian raja akan membawa patung Nabu putra Marduk dan membawanya ke dalam kuil untuk disembah. Hari keempat, dilanjutkan dengan para Imam Besar mulai bercerita tentang penciptaan. Masyarakat umum akan menyanyi dan menari. Hari ini adalah hari peringatan dan perayaan. Di saat yang sama, raja pergi ke kuil Nabû, di mana imam besar memberinya tongkat kerajaan. Ia kemudian melakukan perjalanan ke Borsippa, sebuah kota 17 kilometer di hilir dari Babilonia yang memiliki kuil Nabû yang terkenal. Di sana, ia bermalam. Pada saat yang sama, šešgallu (Pendeta) membacakan kisah penciptaan Babilonia (Enûma eliš) di rumah Tahun Baru.

Pada hari kelima, masyarakat umum akan berkumpul di tepi sungai untuk memasak dan makan serta merayakannya sambil menunggu kedatangan raja. Di hari itu, raja dituntun ke kuil Marduk di Babilonia, tempat ia menjalani “penghinaan ritual.” Ini adalah ritual pribadi yang hanya melibatkan raja, imam besar, dan patung pemujaan Marduk. Ritual ini melibatkan imam besar yang menuntun raja ke kuil Marduk, melepaskan sementara lambang raja (tongkat kerajaan, lingkaran, gada, dan Mahkota Kerajaan), memukul pipi raja, menuntunnya ke ruang bawah tanah di depan Marduk, menarik telinga raja, dan membuatnya berlutut di tanah. Pada titik ini, raja menyampaikan protes atas ketidakbersalahannya kepada Marduk, dengan menegaskan bahwa ia tidak melakukan pelanggaran terhadap Marduk, Babilonia, Esagil (kuil Marduk di Babilonia), atau rakyat istimewa (kidinnu – warga negara) Babilonia.

Hari keenam, para Pendeta membawa masuk semua patung Dewa dari semua kota menuju ke dalam Kuil. Di hari ketujuh, Dewa Marduk akan menghilang dan tak diketahui keberadaannya oleh siapapun. Ini mengisyaratkan bahwa dia sedang bertarung melawan Tiamat (Dewa Air). Pada akhir pertarungan, dia terkurung di pegunungan alam semesta. Lalu, diselamatkan oleh Dewa Nabu bersamaan dengan Dewa lainnya.

Pada hari kedelapan, Raja memegang tangan Dewa Marduk untuk mengenalkannya kepada Dewa lain. Kemudian, para Dewa akan menyalurkan kekuatan kepada Marduk. Dengan begitu, Marduk menjadi Dewa yang tertinggi.

Pada hari ke sembilan, Raja akan berada di depan prosesi Agung bersama dengan para Dewa di atas kendaraan hias yang ditutupi dengan emas dan batu biru. Pada kendaraan pertama, akan membawa empat orang Pendeta untuk membantu Dewa Marduk. Diikuti oleh kendaraan kedua yang merupakan kendaraan Kerajaan dengan ditarik oleh tiga ekor kuda, kemudian diikuti oleh kendaraan hias lainnya.

Di hari ke sepuluh, Marduk mulai merayakan kemenangannya bersama para dewa Langit dan Bumi. Di akhir pesta dan perayaan, Marduk akan kembali ke ibu kota untuk memulai upacara pernikahan Suci. Perkawinan ini diperlukan untuk menjamin kesuburan tanah. Di hari berikutnya, para dewa akan melakukan ritual Penentuan Takdir bagi umat manusia di tahun mendatang. Di hari terakhir, para Dewa akan kembali menuju kuil. Sementara masyarakat melanjutkan perayaan.

Akitu dan Politik Babilonia

Akitu lebih dari sekedar upacara keagamaan, hal ini juga memiliki pengaruh besar terhadap politik yang signifikan bagi masyarakat Babilonia. Ritual yang dilakukan melibatkan upacara pergantian raja, peran penting imam besar dalam upacara-upacara, hari penentuan nasib untuk memperkuat ideologi dan agenda monarki serta imamat untuk menanamkan sentimen keagamaan.

Simbol Kesetiaan dalam Ritual Akitu

Esensi yang mesti dilakukan ketika festival berlangsung adalah ritual berpegangan tangan. Pentingnya ritual berpegangan tangan dalam tradisi Akitu memiliki makna yang mendalam, khususnya dalam pengakuan dan ikrar kesetiaan sang raja kepada rakyat Babilonia. Meski sang raja secara formal mengikrarkan kesetiaannya kepada rakyat, sebenarnya tindakan berpegangan tangan dengan Dewa menjadi penanda resmi sumpah tersebut. Ritual ini tidak hanya sekadar memimpin patung dewa dalam prosesi, seperti yang sering diasumsikan, tetapi juga berfungsi sebagai perjanjian kontraktual yang mengikat antara Raja (sebagai wakil rakyat) dan Dewa (pelindung).

Para cendekiawan sepakat bahwa tanpa kehadiran dan partisipasi aktif sang Raja, festival Akitu tidak dapat berlangsung. Elemen penting dalam ritual ini adalah kehadiran Raja dan Patung Marduk yang bersama-sama melaksanakan upacara berpegangan tangan, yang mengesahkan kontrak hukum antara keduanya. Kontrak ini menjadi kunci utama keberlangsungan Festival Tahun Baru yang sah. Ketidakhadiran salah satu pihak, baik Raja maupun Dewa, akan menyebabkan festival tidak dapat dilaksanakan.

Hal ini terbukti dari catatan dalam Kronik Asiria dan Babilonia, yang menunjukkan bahwa festival Akitu tidak dirayakan setiap kali ada gangguan politik, militer, atau jika salah satu elemen utama, seperti patung Dewa atau kehadiran Raja yang tidak terpenuhi. Sebagai contoh, pada tahun 689 SM, ketika patung Dewa Marduk dipindahkan dari Babilonia sebagai rampasan perang oleh bangsa Asyur, Festival Tahun Baru tidak dilaksanakan.

Akitu dalam Dunia Modern

Dewasa ini, menurut salah seorang aktivis Asyur, mengatakan bahwa Akitu adalah perayaan identitas Asyur. Meskipun pada tahun 1960-an terjadi kebangkitan intelektual Asyur, ketika rezim Baath berkuasa kebebasan budaya tersebut dikekang. Di bawah pemerintahan Saddam Hussein, orang-orang Asyur merayakannya di rumah, tetapi mulai tahun 1991 di Irak utara hari raya tersebut menjadi momen penting bagi orang-orang Asyur untuk menegaskan identitas mereka di depan umum dengan cara-cara yang secara historis dilarang. Dalam dunia modern, Akitu selalu menjadi awal tahun baru Asyur yang sekaligus April Mop, hal ini berarti bahwa meskipun merayakan merupakan hal serius, selalu ada banyak canda di dalamnya.


Festival Akitu adalah lebih dari sekadar perayaan tahun baru; ia adalah refleksi dari hubungan antara manusia, dewa, dan kekuasaan. Melalui ritual-ritualnya yang penuh makna, Akitu memperlihatkan bagaimana masyarakat Babilonia merayakan kehidupan, menegaskan identitas budaya, dan menjaga stabilitas politik. Meski waktu terus berlalu, semangat Akitu tetap hidup, baik sebagai bagian dari sejarah yang menginspirasi maupun dalam upaya komunitas modern seperti orang Asyur untuk menjaga warisan identitas mereka. Perayaan tahun baru yang kita kenal hari ini, dalam berbagai bentuknya, mungkin saja memiliki jejak yang tak terputus dari tradisi kuno ini.


Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tati Herawati https://tintaemas.net/author/tatiherawati285/

Tati Herawati adalah lulusan Program Studi Sejarah Peradaban Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Saat ini, ia aktif sebagai fasilitator di Hayat School, sebuah lembaga pendidikan non-formal. Memiliki minat yang mendalam terhadap ilmu sosial dan kemanusiaan, Tati juga terlibat aktif dalam komunitas yang fokus pada kebudayaan Asia Barat Daya, yang beroperasi di bawah naungan Museum Konperensi Asia Afrika.

Mungkin Kamu Juga Menyukai

Lainnya dari Penulis

+ There are no comments

Add yours

Tinggalkan Balasan