Abdul Malik Bin Marwan menghadapi banyak tantangan, baik sebelum maupun sesudah pengangkatannya sebagai Khalifah. Tak hanya mencakup pertempuran fisik, tetapi juga ujian diplomasi, strategi, dan kemampuan untuk merangkul keberagaman di wilayah yang heterogen.
Abdul Malik menggunakan segala sumber daya dan keterampilannya untuk menaklukkan perpecahan yang mengancam kesatuan kekhalifahan. Di tengah pusaran tantangan dan konflik, keberanian serta ketangguhannya muncul. Ini akan menjadi faktor kunci dalam menjalani perjalanan menuju stabilisasi dan kembali mendominasi wilayah tersebut. Dengannya, dinasti Umayyah mencapai puncak kejayaannya, mencerminkan peran sentralnya dalam sejarah Islam.
Tantangan Abdul Malik Sebelum Menjadi Khalifah
Sebelum menjadi Khalifah, Abdul Malik Bin Marwan adalah penasihat dekat ayahnya. Ia berkantor pusat di Damaskus dan menjadi wakil gubernur selama ekspedisi Khalifah Marwan. Ekspedisi ini bertujuan untuk menaklukkan Kekhalifahan Ibnu Zubair atau Zubayriyah di Mesir. Zubayriyah merupakan Khalifah tandingan selama Fitnah Kedua (Perang Saudara Islam II) yang berpusat di Makkah. Adapun pemimpin Zubayriyah saat itu adalah Abdullah bin Zubair bin al-Awwam, pada akhir 684. Sekembalinya sang khalifah di tahun 685, ia mengadakan sebuah dewan di Sinnabra. Khalifah kemudian menunjuk Abd al-Malik sebagai gubernur Palestina dan menunjuknya sebagai penggantinya yang terpilih, kemudian saudara laki-laki Abdul Malik, Abd al-Aziz menjadi penggantinya. Penunjukan ini membatalkan kesepakatan pengaturan suksesi di Jabiya, yang menetapkan putra Yazid, Khalid, akan menggantikan Marwan, kemudian anggota Bani Umayyah lainnya, mantan gubernur Madinah, Amr bin Sa’id al-Ashdaq sebagai penerusnya. Meskipun demikian, Marwan mendapatkan sumpah setia kepada Abd al-Malik dari kaum bangsawan Yamani. Sementara sejarawan Gerald Hawting mencatat bahwa Abd al-Malik relatif tidak memiliki pengalaman politik selama pencalonannya. Dixon berpendapat bahwa pencalonan Abdul Malik “karena kemampuan politiknya dan pengetahuannya tentang ketatanegaraan dan administrasi provinsi”, seperti pembuktiannya pada “kemajuannya secara bertahap dalam memegang jabatan penting” sejak usia muda. Marwan meninggal pada bulan April 685 dan pengangkatan Abd al-Malik sebagai khalifah berlangsung secara damai oleh para bangsawan Yamani.Suksesi Kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan
Pengangkatan Abdul Malik sebagai khalifah berlangsung di Yerusalem. Menurut sebuah laporan dari sejarawan abad ke-9, Khalifah ibn Khayyat, yang oleh sejarawan modern, Amikam Elad, menganggapnya sebagai sumber yang “terpercaya”. Pada saat naik tahta, jabatan-jabatan penting dipegang oleh anggota keluarga Abd al-Malik. Saudaranya, Muhammad, mendapatkan tugas untuk menangani suku-suku Qaysi, sementara Abd al-Aziz menjaga perdamaian dan stabilitas sebagai gubernur Mesir hingga kematiannya pada tahun 705. Selama tahun-tahun awal pemerintahannya, Abd al-Malik sangat bergantung pada para bangsawan Yamani di Suriah, termasuk Ibn Bahdal al-Kalbi dan Rawh ibn Zinba al-Judhami. Mereka memainkan peran penting dalam pemerintahannya Abdul Malik. Mereka kadang juga menjabat sebagai menjabat sebagai setara dengan menteri utama atau wazīr pada kekhalifahan Abbasiyah selanjutnya. Selain itu, seorang Yamani selalu mengepalai shurṭa (pengawal keamanan elit) Abd al-Malik. Orang pertama yang memegang jabatan ini adalah Yazid ibn Abi Kabsha al-Saksaki dan bangsawan Yamani lainnya, Ka’b ibn Hamid al-Ansi akan meneruskannya. Ḥaras (pengawal pribadi) khalifah biasanya dipimpin oleh seorang mawlā (orang merdeka Muslim non-Arab; jamak: mawālī) dan dikelola oleh para mawālī.Penyatuan dan Stabilisasi Pemerintahan
Meskipun Umayyah berhasil memulihkan kekuasaan di Suriah dan Mesir, perjalanan Abdul Malik penuh tantangan. Provinsi-provinsi di kekhalifahan mayoritas masih bersikeras mengakui Ibn al-Zubayr. Sementara suku-suku Qaysi, pimpinan Zufar ibn al-Harith al-Kilabi, menyatukan kekuatan dan menantang dominasi Umayyah di Al-Jazira (Provinsi Kekhalifahan di Mesopotamia Hulu). Perlawanan ini berpusat di al-Qarqisiya (Circesium), sebuah benteng di tepi sungai Eufrat yang secara strategis mengontrol persimpangan antara Suriah dan Irak. Gejolak ini menguji ketangguhan Abd al-Malik. Meski Umayyah berhasil memegang kendali di beberapa wilayah, tantangan yang muncul menandakan ketidakstabilan politik pada masa itu. Konflik antara kekuatan Umayyah dan kelompok oposisi menciptakan dinamika seru di medan politik. Abd al-Malik harus menavigasi krisis dan menunjukkan kepemimpinan yang kuat untuk mengatasi perlawanan yang muncul. Sebagai pusat konflik, al-Qarqisiya menjadi panggung pertarungan penting antara kekuasaan sentral dan perlawanan lokal. Peristiwa ini mencerminkan ketegangan politik yang melanda wilayah tersebut. Dengan keahliannya dalam strategi militer dan kepemimpinan, Abd al-Malik berusaha untuk merestorasi otoritasnya dan merapatkan kekhalifahan di bawah bendera Umayyah. Baca Juga: Pelayaran Samudera Atlantik Kekaisaran Mali – Tinta Emas Tantangan ini melibatkan lebih dari sekadar pertempuran fisik; ini adalah ujian diplomasi, keterampilan strategi, dan kemampuan untuk merangkul keberagaman dalam wilayah yang heterogen. Abd al-Malik harus memanfaatkan segala sumber daya dan keterampilan nya untuk mengatasi perpecahan yang mengancam kesatuan kekhalifahan. Dalam pusaran tantangan dan konflik, keberanian dan ketangguhan Abd al-Malik muncul sebagai faktor kunci dalam perjalanan menuju stabilisasi dan kembali mendominasi wilayah tersebut. Bahkan membawa Umayyah berada di awal puncak kejayaannya.Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.