Putri Kerajaan sering kita bayangkan hidup di balik gemerlap istana dan gaun indah, padahal sejarah mencatat mereka kerap terjebak dalam pernikahan politik, pengorbanan di ruang persalinan, hingga kehilangan kebebasan diri demi menjaga garis keturunan raja.

putri kerajaan
Gambar: Disney Princess

Dalam dunia anak-anak, kata putri sering kali identik dengan gaun indah, istana megah, dan kebahagiaan abadi. Tak heran, industri hiburan membangun citra princess bak mimpi manis yang dijual ke mana-mana — mulai dari film animasi hingga mainan dan pesta ulang tahun bertema kerajaan. Namun, di balik gemerlap mahkota, sejarah mencatat realitas yang justru jauh dari kata indah.

Sheila Ffolliott, profesor emerita sejarah dan sejarah seni dari George Mason University, menanggapi tulisan Arwa Mahdawi di The Guardian yang menceritakan putrinya terbuai pesona princess industrial complex. Menurut Ffolliott, seandainya saja anak-anak benar-benar memahami bagaimana kehidupan para putri di masa lalu, mungkin pesona ini tak akan segemerlap itu.

Kehidupan para putri di era kerajaan Eropa kuno (ancien régime) umumnya penuh dengan keterbatasan dan pengorbanan. Banyak putri dipaksa menikah di usia sangat muda, bahkan sebelum beranjak dewasa, dengan pria yang kerap berusia dua kali lipat dari mereka — seseorang yang bahkan belum pernah mereka temui sebelumnya. Pernikahan ini bukan soal cinta, melainkan strategi menjaga kekuasaan dan aliansi politik.

Baca Juga: Neanderthal: Kerabat Dekat Manusia yang Tidak Sekadar Pemburu Daging – Tinta Emas

Ketika waktunya melahirkan tiba, para putri harus menjalani proses persalinan di hadapan banyak saksi. Tujuannya? Untuk memastikan bayi pewaris takhta benar-benar anak kandung mereka, bukan hasil penipuan politik. Ironisnya, banyak dari mereka yang kehilangan nyawa di ranjang persalinan — beberapa di usia belasan tahun. Sejarah mencatat nama-nama seperti Isabel de Valois, Jane Seymour, Elizabeth dari York, Anne de Foix Candale, hingga Maria Leopoldine yang wafat terlalu muda demi melahirkan pewaris takhta.

Kalaupun selamat, kehidupan mereka di istana tak selalu berwarna mawar. Tak sedikit raja yang justru terang-terangan memiliki selir pilihan sendiri, meninggalkan sang permaisuri sekadar simbol di pinggir istana. Beberapa putri bahkan akhirnya menghabiskan sisa hidup di biara — kadang karena pilihan, kadang karena terpaksa.

Singkatnya, bagi kebanyakan putri, mahkota lebih mirip beban daripada anugerah. Kemandirian nyaris mustahil, sementara tubuh mereka ibarat ‘mesin’ untuk menghasilkan keturunan pewaris. Meski tentu ada pengecualian — segelintir putri yang berani menempuh jalannya sendiri — sejarah tetap menunjukkan sisi kelam di balik dongeng indah.

Jadi, sebelum membiarkan anak-anak larut dalam kilau kastil dan gaun pesta, mungkin sudah saatnya orang tua juga membisikkan sepenggal realita. Bahwa menjadi putri di dunia nyata tidak melulu tentang pesta dansa atau ciuman pangeran di ujung cerita, tetapi juga tentang bagaimana sistem patriarki di masa lalu menempatkan mereka sebagai pion politik. Mungkin dengan begitu, kita bisa mengajarkan mimpi yang lebih membebaskan: bahwa anak-anak perempuan bisa memilih jadi apa pun yang mereka mau — entah jadi putri, presiden, atau penjelajah bintang.


Eksplorasi konten lain dari Tinta Emas

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinta Emas https://tintaemas.net

Selamat datang di Tinta Emas! Kami menjadi sumber berita arus utama yang memotret berbagai peristiwa di seluruh belahan dunia dengan kecermatan, keadilan dan integritas.

Lainnya dari Penulis

+ There are no comments

Add yours

Tinggalkan Balasan